Oleh: Mohsen Hasan A.

Sejarah Indonesia pra-kemerdekaan tidak hanya dibentuk oleh pidato politik, rapat besar, atau letupan senjata. Ada kerja sunyi yang bergerak melalui jalur lain: pendidikan, ekonomi, dan jaringan kepercayaan lintas negeri. Di wilayah timur Nusantara, salah satu aktor terpenting dari kerja sunyi itu adalah Sayid Idrus bin Salim Al-Jufri, ulama Hadrami yang berperan sebagai pendidik, saudagar, da’i, dan diplomat informal sebelum republik ini lahir.

Ia tidak tercatat sebagai anggota partai politik. Tidak pula dikenal sebagai juru runding resmi dengan kekuasaan kolonial. Namun jejaringnya melintasi Hadhramaut, Hijaz, Afrika Timur, Singapura, dan Nusantara, menjadikannya simpul penting komunikasi umat Islam dan nasionalisme religius di Indonesia Timur.¹

Ulama Kosmopolit dari Tarim

Sayid Idrus lahir di Tarim, Hadhramaut, pada 1891, sebuah kota yang selama berabad-abad melahirkan ulama-saudagar dengan mobilitas lintas samudra. Dari Tarim, ia mewarisi dua tradisi sekaligus: disiplin ilmu agama yang ketat dan etos kemandirian ekonomi.²

Sejak muda, ia telah terbiasa berpindah dari satu pusat Islam ke pusat lain—Aden, Mombasa, Zanzibar, Singapura—membangun relasi dengan ulama, pedagang, dan pemimpin komunitas Muslim. Mobilitas ini membentuknya sebagai ulama kosmopolit, yang memahami politik kolonial bukan dari buku, melainkan dari pengalaman lapangan dan percakapan lintas jaringan.³

Saudagar sebagai Basis Kemandirian

Tidak seperti sebagian ulama yang bergantung pada patron politik, Sayid Idrus membangun kemandirian ekonomi melalui perdagangan. Ia terlibat dalam jaringan bisnis tekstil, hasil bumi, dan distribusi barang kebutuhan komunitas Muslim—model khas diaspora Hadrami yang berbasis kepercayaan (trust-based networks).⁴

Ekonomi baginya bukan tujuan akhir. Ia adalah alat strategis. Dengan kemandirian finansial, Sayid Idrus memiliki ruang gerak yang luas:

  • tidak mudah ditekan kolonial,
  • tidak bergantung pada kekuasaan,
  • dan bebas menentukan arah dakwah serta pendidikan.

Dalam konteks pra-kemerdekaan, kemandirian semacam ini adalah modal politik yang nyata, meski tidak disebut sebagai politik.

Diplomasi Tanpa Jabatan

Peran paling menarik dari Sayid Idrus adalah fungsinya sebagai diplomat informal umat. Melalui jejaring ulama dan saudagar Hadrami di Timur Tengah dan Afrika Timur, ia:

  • menyampaikan kondisi umat Islam di Indonesia kepada dunia luar,
  • menjaga arus masuk buku, guru, dan gagasan Islam moderat,
  • memfasilitasi hubungan antara tokoh lokal Indonesia Timur dan jaringan Islam internasional.⁵

Dalam era ketika negara Indonesia belum ada, diplomasi semacam ini menjadi saluran legitimasi moral dan intelektual. Dunia Islam mengenal Indonesia bukan hanya sebagai koloni, tetapi sebagai komunitas Muslim yang hidup dan bergerak.

Politik Tanpa Partai

Sayid Idrus tidak pernah mendirikan partai politik. Ia memahami bahwa di Indonesia Timur, politik frontal justru berisiko memecah masyarakat. Strateginya berbeda: membangun manusia dan institusi.

Pendekatan ini terlihat jelas ketika ia mendirikan Alkhairaat di Palu pada 1930. Secara kasat mata, Alkhairaat adalah lembaga pendidikan. Namun secara strategis, ia adalah proyek sosial-politik jangka panjang: mencetak kader Muslim berilmu, berakhlak, dan memiliki kesadaran kebangsaan.⁶

Jaringan Alkhairaat yang kemudian menyebar ke Sulawesi, Maluku, Kalimantan, hingga Papua, menjadi salah satu fondasi integrasi sosial Indonesia Timur ke dalam republik.

Da’i yang Cerdas, Ulet, dan Tegas

Dalam dakwah, Sayid Idrus dikenal cerdas membaca konteks dan tegas dalam prinsip. Ia menolak sinkretisme yang mengaburkan akidah, tetapi juga menentang puritanisme kaku yang memutus tradisi. Dakwah baginya harus berlandaskan ilmu, disampaikan dengan akhlak, dan diarahkan pada kemaslahatan sosial.⁷

Ketegasannya tidak lahir dari emosi, melainkan dari argumentasi ilmiah. Ia mendidik dengan kesabaran, membangun dengan ketekunan, dan menegur dengan kewibawaan.

Mengapa Ia Jarang Disebut?

Ada alasan mengapa nama Sayid Idrus tidak sering muncul dalam buku sejarah nasional:

  • Ia bekerja di luar Jawa—wilayah yang lama terpinggirkan dalam historiografi.
  • Ia tidak meninggalkan manifesto politik, melainkan jaringan pendidikan.
  • Ia beroperasi sebagai “diplomat sunyi”, bukan aktor panggung.⁸

Namun justru di situlah kekuatannya. Ia adalah arsitek sosial yang fondasinya tidak terlihat, tetapi menopang bangunan besar bernama Indonesia.

Pesan untuk Abnaul Khairaat

Bagi Abnaul Khairaat, kisah Sayid Idrus bukan sekadar nostalgia. Ia adalah cermin tanggung jawab sejarah.

Guru Tua mengajarkan bahwa:

  • ilmu harus melahirkan keberanian moral,
  • ekonomi harus menopang dakwah,
  • dakwah harus membangun peradaban,
  • dan politik tidak selalu hadir dalam bentuk jabatan.

Abnaul Khairaat hari ini hidup di zaman berbeda, tetapi tantangannya sama: bagaimana menjaga Islam tetap berilmu, moderat, dan berwibawa di tengah perubahan dunia.

Warisan Guru Tua bukan hanya ribuan sekolah. Warisannya adalah etos berpikir dan bekerja: cerdas membaca zaman, ulet membangun umat, dan tegas menjaga prinsip.

Jika dulu Sayid Idrus berdiplomasi dengan jaringan ulama dan saudagar lintas samudra, maka hari ini Abnaul Khairaat berdiplomasi dengan ilmu, integritas, dan kontribusi nyata bagi bangsa.

*Penulis adalah Direktur Studi Islam & Ilmu Filsafat/Pemerhati Sosial, Politik, Budaya, dan Isu Global Indonesia.


Catatan Kaki

  1. Natalie Mobini-Kesheh, The Hadrami Awakening (Cornell University Press, 1999), hlm. 112–118.
  2. Engseng Ho, The Graves of Tarim (University of California Press, 2006), hlm. 67–73.
  3. Ulrike Freitag, “Hadhrami Traders, Scholars and Statesmen,” Journal of Asian Studies 58, no. 4 (1999).
  4. Ulrike Freitag, Hadhrami Traders and Networks in the Indian Ocean (Leiden: Brill, 2003).
  5. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 245–252.
  6. Ahmad Bahran, Sejarah Alkhairaat (Palu: Alkhairaat Press, 1993), hlm. 41–55.
  7. Mark Woodward, Islam in Sulawesi (Canberra: ANU Press, 2014).
  8. Natalie Mobini-Kesheh, The Hadrami Awakening, hlm. 189–193.

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara. Jakarta: Kencana, 2010.
Bahran, Ahmad. Sejarah Alkhairaat. Palu: Alkhairaat Press, 1993.
Freitag, Ulrike. Hadhrami Traders and Networks in the Indian Ocean. Leiden: Brill, 2003.
Ho, Engseng. The Graves of Tarim. Berkeley: University of California Press, 2006.
Mobini-Kesheh, Natalie. The Hadrami Awakening. Ithaca: Cornell University Press, 1999.
Woodward, Mark. Islam in Sulawesi. Canberra: ANU Press, 2014.