Dinamika Pemilu 2024: Gibran VS Abdin, Antitesa yang Apik

oleh -

OLEH : Moh Sahril*

Pesta demokrasi 2024 nyaris rampung, sekalipun belum sepenuhnya selesai. Tentu banyak di antara masyarakat kecewa atau sebaliknya; merasa puas dengan hasil dari pesta demokrasi lima tahunan ini.

Bagi mereka yang menang, baik calonnya yang terpilih atau mereka sendiri yang terpilih, pasti akan menyambut gembira hasil Pemilu.

Sementara bagi mereka yang belum berkesempatan karena perolehan suaranya tidak memenuhi syarat, maka bisa jadi kecewa atau bahkan keberatan dengan hasil Pemilu. Ini hal yang wajar, terutama di level Pemilihan Presiden (Pilpres).

Tapi mari kita melihat satu sempilan dari dinamika demokrasi di level lokal yang punya dinamika sendiri, khususnya pada pemilihan legislatif di kabupaten. Ya, kita akan mengulik salah satu calon legislatif yang lolos di DPRD Kabupaten Parigi Moutong-Provinsi Sulawesi Tengah.

Dalam skala yang lebih kecil dalam perebutan hati rakyat, sosok ini perlu kita apresiasi keberadaannya, segala tantangan yang berhasil ia pecahkan dalam rangka memastikan; bahwa masih ada harapan bagi demokrasi kita hari ini. Politik dalam demokrasi kita tidak melulu soal ‘duit’.

Sekalipun dalam kenyataannya, ongkos politik memang mahal, kalau dilihat dari cara pandang merebut hati rakyat dengan pola-pola lama, mempraktikkan politik uang, yang justru mencederai secara langsung demokrasi kita.

Namanya Abdin. Ikut Pileg pada Pemilu 2024 melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Usianya masih muda, kelahiran 1987, seusia dengan Gibran Raka Buming Raka, Calon Wakil Presiden RI yang berpasangan dengan Prabowo Subiyanto.

Baik Abdin maupun Gibran, sama-sama adalah generasi Milenial, yang lahir pada 1981-1996 (saat ini berusia 24-39 tahun).

Mereka punya kesempatan yang sama secara politik, bertarung untuk mengambil peran dalam sistem demokrasi Indonesia. Gibran memilih bertarung melalui jalur eksekutif untuk mencapai kursi nomor 2 Capres RI, sementara Abdin, memilih kursi legislatif di level paling bawa, DPRD Kabupaten Parigi Moutong.

Jika dilihat dari profilnya, Gibran punya peluang besar untuk mencapai mimpinya. Ia anak presiden, dengan segala privilege yang mengalir atas kekuasaan Ayahnya.

Beda halnya dengan Abdin yang bukan siapa-siapa. Ayahnya, semasa hidup pun bukan siapa-siapa. Abdin tumbuh besar atas kerja serabutan almarhum ayahnya menjadi penyulam atap rumbia, ‘makang gaji’ ikut membantu panen para petani di kampung, dan atau pekerjaan apa pun yang bisa dilakukan untuk menafkahi kehidupan mereka.

BACA JUGA :  Menakar Starting Point Posisi Elektabiltas Paslon Gubernur dan Wagub Jelang Kampanye 2024 di Sulteng

Tapi sebagai warga negara, Gibran dan Abdin punya kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan dan hidup layak. Dengan latar belakang berbeda, tentu jalan hidup mereka pun tak sama satu sama lain.

Sepeninggal Ibunya pada 2002, Abdin diserahkan ke pondok Pesantren Alkhairaat di Parigi. Di sanalah ia mondok hingga menamatkan sekolah menengah.

Lantas bagaimana Gibran? Anda tak perlu kaget, ia lahir dari keluarga berkecukupan, meskipun tidak bisa dibilang kaya raya.

Sejak SMP ia pindah ke Singapura untuk melanjutkan sekolah setingkat SMA pada tahun 2002 di Orchid Park Secondary School, Singapura. Mungkinkah Abdin bisa sekolah seperti Gibran, jawabannya mungkin.

Kita punya sistem bernegara yang demokratis, yang menjamin seluruh hak masyarakat untuk memperoleh pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang baik. Makanya, kita harus bersyukur sebagai bangsa yang merdeka, bisa menentukan nasib sendiri. Termasuk untuk menentukan pilihan pada perhelatan Pemilu lalu.

Gibran bisa mencapai pendidikan tinggi, demikian pula Abdin. Meskipun lagi-lagi, jalanya berbeda. Jalan Gibran adalah karpet merah, sedang Abdin melangkah di jalur terjal berliku penuh rintangan.

Setelah menamatkan pendidikan di SMK Alkhairaat pada 2009 awal, ia harus menunda keinginan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi. Kesempatan baru datang di penghujung tahun. Ia diterima di Jurusan Ekonomi Manajemen Universitas Alkhairaat Palu pada akhir 2009.

Lalu bagaiman Gibran pada masa itu? Ayahnya sudah menjabat Walikota Solo sejak 2005. Sekolahnya tidak mungkin kembali ke Indonesia. Pada 2007 ia lulus dari Management Development Institute of Singapore (MDIS) dengan gelar B.Sc (Hons) dan melanjutkan studinya ke program Insearch di Universitas Teknologi Sydney (UTS Insearch), Sydney, Australia hingga lulus pada tahun 2010.

BACA JUGA :  Etika dan Perilaku Politik dalam Menghadapi Pilkada

Apa kita harus bilang Wow! Tidak, itu hal yang wajar. Dan apakah kita perlu menaruh prihatin atas Abdin yang sempat nganggur, mengambil nafas sejenak untuk bisa lanjut perguruan tinggi? Tak perlulah.

Abdin mengukir jalan hidupnya sendiri, tanpa bantuan langsung dari orang-orang yang ia sayangi. Ibunya tak lagi tau apakah Abdin bisa kuliah atau tidak, sebab ia telah pindah alam. Almarhun ayahnya, sekalipun masih hidup hingga penghujung 2012, juga belum tentu mampu menyekolahkan anaknya dengan modal kerja serabutan. Di masa menjelang ajalnya, Ayahnya sudah memasuki usia 70an.

Lantas, apa modal Abdin hingga bisa masuk pendidikan tinggi? Ini sebuah hal menarik. Abdin dibesarkan di lingkungan pesantren, tumbuh bersama dengan orang-orang yang selalu optimis. Abdin yakin, seperti doktrin yang ia dapatkan di pondok, bahwa akan selalu ada jalan bagi mereka yang ingin sekolah. Semesta akan mendukung niat luhur itu. Dan akhirnya ia bisa menamatkan kuliah dalam masa empat tahun, sekalipun bukan cumlaude.

Waktu berjalan paralel menghantarkan kedua orang muda ini pada realitas kehidupan di abat 21. Mereka, seperti disinggung di awal, adalah generasi milenial yang kebetulan dekat dengan urusan politik dalam pergaulannya.

Sekalipun Abdin baru mengenal dunia politik praktis pada 2019, ketika ia mengambil peran sebagai bagian dari tim pendukung salah satu Caleg DPRD Sulawesi Tengah. Sementara Gibran, pada masa itu Ayahnya sudah memasuki periode kedua untuk jabatan Presiden. Dan ia sendiri terpilih sebagai Walikota Solo pada 2020.

Nah, mari kita masuk pada apa yang terjadi belakangan ini. Fenomena politik 2024 yang bagi banyak kalangan dipenuhi berbagai intrik politik busuk dan praktik-praktik yang mencederai demokrasi.

Pencalonan Gibran sebagai calon Wapres sempat menuai banyak reaksi, bahkan protes dari banyak kalangan. Bagi kelompok pro demokrasi, langkah Gibran dianggap sebagai bentuk pelanggaran etik dalam sistem politik dan bernegara. Tapi apakah Gibran memedulikan kritik-kritik itu? No! Ia justru melangkah seolah tanpa beban setelah keputusan MK 90 yang mengabulkan hak pemohon, yakni mahasiswa UNS Solo, Almas Tsaqibbirru pada Oktober 2023 terkait usia Capres Cawapres.

BACA JUGA :  Anwar Hafid: Pilkada Berkualitas akan Melahirkan Pemimpin Amanah

Dan dengan dukungan dari berbagai macam kepentingan, partai politik, pemodal dan kelompok penguasa, Gibran masih mengungguli hasil perhitungan KPU RI untuk Calom Presiden dan Wakil Presiden 2024 hingga hari ini.

Mereka bahkan membuat acara gegap gempita beberapa jam setelah voting day pada 14 Februari 2024, untuk merayakan kemenangan berdasarkan hasil perhitungan cepat (quick count) dari berbagai lembaga survey.

Terus bagaimana dengan Abdin, yang sudah pasti luput dalam sorotan media di daerah, apalagi nasional. Ia melakukan kampanye seadanya, semampu apa yang bisa ia kerjakan. Tak ada yang menaruh perhatian padanya. Tak ada perayaan, kecuali syukuran alakadarnya yang mengundang keluarga dekat.

Abdin memilih jalannya sendiri, yang belakangan banyak orang bertanya-tanya, sekaligus haru, setelah namanya masuk dalam daftar 40 para Caleg yang layak duduk di kursi DPRD Kabupaten Parigi Moutong, berdasarkan Rapat Pleno KPU Parigi Moutong pada 2 Maret lalu.

Saya mencoba menanyakan lebih dalam dan serius pada Abdin, apa yang ia lakukan sehingga bisa meraih suara yang cukup untuk masuk ke gedung DPRD Parigi Moutong. Ia akhirnya buka suara, sekaligus curhat tentang usaha-usaha sederhana tanpa money politic yang ia lakukan selama beberapa tahun sebelum 14 Februari 2024. (Bagian ini akan dibahas khusus nantinya).

Jalan Abdin dalam memulai langkah politik dalam konteks Pemilu 2024 adalah sebuah harapan. Sekaligus menunjukkan pada kita, pada generasi Milenial, bahwa masih ada cara yang bisa dilakukan untuk meraih hati pemilih tanpa harus menggunakan modal besar.

Abdin percaya bahwa popularitas sangat mempengaruhi elektabilitas. Tapi bagaimana membangun popularitas yang baik tanpa harus mengeluarkan biaya besar? Abdin punya resepnya. (Akan dibahas khusus)

Sementara di jalur yang berbeda, Gibran makin mengukuhkan pendapat bahwa dengan modal besar, termasuk kekuasaan, seseorang dapat dengan mudah mencapai tujuan politik, sekalipun ada resiko yang harus diterima di belakang hari.

_Untuk mengikuti lebih dalam balada politik Abdin, pantau terus media ini untuk mendapatkan penggalan cerita terbaru.

*Penulis adalah Pemerhati Politik