Dilema Penyelenggara Pemilu, Setia pada Kode Etik atau Menyerah kepada Intervensi Partisan

oleh -
Dosen UIN Datokarama Palu, Dr. Sahran Raden, saat menjadi narasumber bimtek anggota PPK, se-Kabupaten Poso, Rabu (12/06). (FOTO: IST)

POSO – Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Dr. Sahran Raden, menjadi narasumber bimbingan teknis (bimtek) Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), se-Kabupaten Poso, Rabu (12/06).

Pada kesempatan itu, Sahran Raden menyampaikan materi “Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan Kinerja Badan Adhoc Pilkada 2024”.

Sahran mengatakan, penyelenggara pemilu mengemban tanggung jawab besar untuk bersikap netral dan imparsial.

“Integritas tanpa cela dan bekerja dengan profesionalitas merupakan manifestasi karakter yang tak bisa ditawar,” katanya.

Namun, kata dia, penyelenggara pemilu, termasuk badan adhoc, adalah manusia biasa yang sering menghadapi dilema ketika bertugas. Penyelenggara pemilu juga manusia biasa yang berada di dalam struktur kekeluargaan, pertemanan, dan kapital yang berjalin kelindan dengan kepentingan-kepentingan partisan.

Maka sebagai individu yang independen, lanjut dia, penyelenggara Pemilu rentan terjebak dalam dilema antara setia kepada disiplin kode etik atau menyerah kepada intervensi partisan.

“Dari berbagai pengalaman penyelenggaraan pemilu, ditemukan bahwa penyelenggara pemilu mampu berkomitmen setia kepada kode etik, tetapi juga mampu melanggarnya. Hal ini tergantung pada apakah penyelenggara pemilu sebagai agen berdaulat terhadap banalitas partisan yang bermain di dalam struktur kepemiluan kita,” kata Ketua KPU Provinsi Sulteng periode 2013-2018 itu.

Untuk itu, kata dia, dalam rangka meminimalisir terjadinya pelanggaran kode etik, maka yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu antara lain dengan meluruskan niat dengan menjadi penyelenggara pemilu yang baik, professional dan berintegritas untuk mengabdi kepada bangsa dan mewujudkan pemilu berintegritas.

“Siapkan mental, pahami tugas pokok dan fungsi sebagai penyelenggara pemilu. Jaga perilaku. Selama menjabat penyelenggara pemilu harus menjaga senyum, gesture tubuh, pendapat dan pernyataan,” jelasnya.

Sahran Raden mengingatkan agar para penyelenggara adhoc menjaga jarak dengan peserta pilkada, maupun dengan tim suksesnya.

“Saling mengingatkan antar anggota badan adhoc dan saling berkoordinasi dengan pengawas. Senantiasa berkoordinasi dan melaporkan kepada KPU kabupaten/kota,” katanya.

Kata dia, dalam melaksanakan tugasnya, badan adhoc perlu membangun kesadaran dalam memastikan langkah yang dilaksanakan, apakah sudah sesuai dan menjaga etika yang berlaku.

Hal ini, kata dia, penting dilakukan untuk menghindari terjadinya pelanggaran oleh badan adhoc itu sendiri, baik saat tahapan maupun non tahapan.

Ia mengatakan, pelanggaran yang biasa terjadi pada saat tahapan, antara lain terjadinya pencoblosan surat suara sisa dan milik pemilih yang tidak hadir, penggelapan honor dan pelaporan keuangan, memihak/tidak netral, tidak aktif dan tidak koordinatif.

“Ada yang menutup TPS lebih awal, membuka kotak suara tanpa saksi dan pengawas, ikut berkampanye dan terdaftar sebagai pengurus parpol, manipulasi perolehan suara dan lainnya,” ungkap Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UIN Datokarama Palu periode 2023-2027 itu.

Selain itu, kata dia, ada juga pelanggaran yang terjadi pada non tahapan yang dilakukan oleh badan adhoc, seperti asusila terkait dengan relasi kuasa dan moral penyelengagara, perbuatan tercela berupa minum khamar, judi dan kawin siri, atau menerima gaji dobel dan tidak mengundurkan diri dari ASN. (RIFAY)