OLEH: Muhammad Qadri*
Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan komponen terdepan dalam pelayanan publik. Dari segi jumlah, ASN adalah aparat negara dengan jumlah terbesar melebihi personel TNI dan Polri.
ASN ini meliputi seluruh lembaga negara dari tingkat pemerintah pusat maupun daerah, juga lembaga-lembaga Non Kementerian beserta BUMN.
Hal ini tentunya merupakan potensi besar untuk disalahgunakan dalam hal politik kepentingan karena memiliki indikasi dapat dimobilisasi secara tersuktrur, masif dan sistematis.
Terkait dengan ASN, hal ini telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, di mana ASN diperintahkan oleh undang-undang untuk bersikap netral.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata netral adalah tidak berpihak (tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak). ASN adalah konstituen terbesar yang berpotensi mendulang dukungan untuk kepentingan kelompok tertentu jika disalahgunakan.
Di Tahun 2022 saja rencana usulan calon ASN adalah 1.086.128 orang (sumber : detikjatim.com), jumlah yang bukan sedikit jika disalahagunakan.
Ada banyak regulasi yang mengatur tentang ASN, salah satunya terdapat dalam Pasal 4 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Displin Pegawai Negeri Sipil, sangat terang menjelaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) “dilarang” untuk menunjukkan atau memberikan dukungannya secara bebas kepada kandidat calon yang sedang berkompetisi di dalam Pemilu bahkan mengikuti langsung setiap tahapan kampanye Pemilu.
Dalam penjabaran Pasal 4 angka 12 yaitu, PNS dilarang ikut serta sebagai pelaksana kampanye, PNS dilarang untuk menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS, PNS dilarang sebagai peserta kampanye dengan mengarahkan PNS lainnya, dan PNS dilarang sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara.
Seorang ASN, selama dia masih menjadi ASN, maka terhadapnya tidak diperbolehkan untuk mencalonkan diri di dalam kontestasi Pemilu, kecuali ia telah menyatakan pengunduran diri dan menjadi wajib baginya untuk menyatakan pengunduran diri sebagai ASN secara tertulis (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, pasal 123 ayat (3).
Sekalipun dalam peraturan perundang-undangan lain juga disebutkan akan hak memilih yang dimiliki oleh ASN dalam kontestasi Pemilu, namun terdapat batasan untuk dapat mengikuti setiap proses tahapan Pemilu lainnya, seperti mendaftarkan diri sebagai peserta Pemilu atau terlibat (secara pasif maupun aktif) di dalam tahapan kampanye Pemilu yang menjadi dinding penghambat bagi ASN untuk dapat menggunakan hak politiknya.
Pembatasan hak politik ASN untuk mengikuti setiap proses tahapan Pemilu merupakan amanat dari Undang-undang ASN itu sendiri. Undang-undang tersebut dibuat pada prinsipnya agar ASN dapat melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
Seperti yang sudah dijabarkan di atas bahwa Undang-undang ASN mewajibkan seluruh ASN untuk menjaga netralitas dalam proses Pemilu yang diselenggarakan di Indonesia. Konsep netralitas inilah yang kemudian menjadi isu yang kerap diperdebatkan dan menjadi dinamika tersendiri dalam proses mencari titik temu kesepahaman antara konsep netralitas ASN dan konsep hak politiknya.
Dilema yang terjadi adalah ASN, di satu sisi dituntut netral agar fokus pada pelayanan publik, sebagai abdi negara juga dituntut tunduk pada birokrasi yang begitu ketat, namun ketatnya birokrasi juga tidak terlepas daripada tuntutan hirarki yang tanpa sadar menyiratkan pesan-pesan politik.
Lebih nyatanya adalah ASN diperhadapkan antara taat pada Undang-undang atau taat pada perintah atasan yang mengandung unsur-unsur mobilisasi yang syarat akan politisasi.
ASN berdiri di antara dua pintu yaitu hirarki karir dan hirarki politik. Hirarki karir yang dimaksudkan oleh penulis adalah ASN secara undang-undang telah diatur perihal jenjang karir dan kepangkatan, tetapi kemudian ASN harus tunduk pada pimpinan yang kemudian berasal dari ranah politik praktis, sebut saja bupati hingga tingkat Gubernur dan jauh lebih tinggi yaitu tingkatan Menteri.
Para pejabat itu dipilih secara politik berdasarkan dukungan partai pengusung (koalisi) penguasa yang mayoritas setelah dipilih tidak memahami jenjang hirarki struktural karir karena tidak mempunyai dasar birokrasi yang mumpuni.
Sehingga di satu sisi ASN dituntut untuk berpikir secara prosedural sedangkan pimpinan mereka yang berasal dari non jenjang karir (politik) berpikir secara substansi, tentu hal ini adalah dua arus yang memiliki muara yang berbeda.
Kenetralan ASN juga secara hukum terjadi sebuah pertentangan norma, di satu sisi dituntut untuk netral tetapi di sisi lain memiliki hak memilih atau dipilih sesuai Pasal 43 Undang-undang 39 Tahun 1999 Tentang HAM “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Inilah kemudian yang menjadi fenomena benturan norma yang membuat dilema netralitas ASN sehingga membuka peluang propaganda Politik untuk masuk menciderai profesionalitas kinerja ASN.
Pertentangan norma tersebut membuat ASN pada posisi yang sangat rawan menjadi objek ataupun pelaku propaganda, dalam wikipedia disebutkan kata propaganda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai penerangan berupa paham, pendapat, dan sebagainya yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu.
Propaganda dalam bahasa Latin modern yakni “propagare” diartikan mengembangkan atau memekarkan. Jadi, propaganda berarti apa yang akan disebarkan.
Penggunaan secara istilah, propaganda diartikan sebagai suatu usaha dalam membentuk persepsi, manipulasi pikiran bawah sadar atau kognisi, dan memiliki pengaruh langsung terhadap perilaku dengan memberikan respon sesuai yang dikehendaki pelaku propaganda baik secara disengaja dan sistematis.
Secara umum, propaganda didefinisikan sebagai jenis komunikasi yang dirancang untuk mempengaruhi opini dan reaksi, terlepas dari apakah informasi itu benar atau salah. Propaganda berusaha membujuk opini tanpa memberikan alasan yang relevan.
Orang cenderung mengartikan propaganda sebagai pengartian negatif karena dapat melibatkan agresi militer, tindak kriminal publik, politik tidak sehat dan lain sebagainya.
Fenomena ini seharunya mendapatkan perhatian bagi pemangku kepentingan khususnya yang mempunyai kewenangan dalam membuat aturan perundang-undangan selama masih terjadi pertentangan norma yang memerintahkan ASN untuk netral tetapi di satu sisi ASN diberikan hak untuk memilih dan dipilih.
Maka akan terus terjadi potensi tarik ulur kepentingan yang membuat ASN tidak dapat bekerja secara profesional, bahkan berpotensi besar untuk melanggar aturan, terutama bagi ASN yang secara hirarki berada di bawah komando kepala daerah yang dipilih secara politik.
Kemudian yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana agar ASN tidak terperangkap dalam propaganda Politk kepentingan? Tentu jawabannya adalah kembali pada konstitusi yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan negara politik (machtstaat) maka penegakan hukum harus menjadi prioritas.
Kemudian bagaimana agar hukum dapat tegak? merujuk pada teori sosiologi hukum Lawrence M. Friedman menjelaskan ada tiga unsur atau komponen dalam sistem hukum, atau biasa disebut Three Elemens of Legal Sistem, merupakan faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu komponen struktur, komponen substansi, dan komponen kultur atau budaya hukum.
Ketiga komponen tersebut membentuk satu kesatuan yang bulat dan utuh, serta saling berhubungan, atau biasa disebut dengan sistem.
Secara singkat struktur, hukum diartikan sebagai undang-undang, substansi hukum adalah aparat penegak Hukum atau pelaksana undang-undang yang dapat kita perkecil maknanya dalam hal ini adalah ASN sedangkan kultur hukum adalah masyarakat luas.
Maka yang perlu dibenahi disini adalah struktur hukumnya atau Undang-undang yang perlu mempertegas bagaimana perilaku dan sikap ASN yang seharusnya dalam menyikapi propaganda politik kepentingan, jika memang tidak diperbolehkan diharapkan ada aturan yang jelas untuk menutup cela bagi ASN untuk tidak terperangkap dalam propaganda politik kepentingan sehingga jelas bagaimana ASN harus bersikap dalam menghadapi kontestasi Pemilu Tahun 2024 juga akan mempermudah lembaga penyelenggara dalam hal ini Bawaslu untuk mengawasi netralitas ASN.
Sangatlah berat memang, untuk menjaga netralitas bagi seorang ASN dalam Negara Demokrasi yang akan menuju kontestasi Pemilihan Umum Tahun 2024.
Aktivitas yang sesungguhnya di satu sisi adalah haknya namun harus dibatasi secara kewenangannya atas perintah Undang-undang untuk mengontrol tubuh dan pikiran, untuk tidak berkomentar, like, posting di media sosial, ASN harus dapat berperan dalam membangun suasana kondusif di media sosial, saling mengingatkan dan mengawasi agar tidak melakukan kesalahan dalam memanfaatkan teknologi informasi maupun penggunaan media sosial, sekaligus menghalau tersebarnya paham radikal karena mendapatkan pengawasan baik itu Komisi Aparatur Sipil Negara secara internal dan Bawaslu secara eksternal.
*Penulis adalah Staf Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah