PALU- Kuasa Hukum dari Bupati Tojo Una-Una membantah adanya perkawinan siri antara Mohammad Lahay dan Sitti Hajar serta pengancaman terhadap yang bersangkutan.
Berdasarkan Surat Tanda Terima Laporan Polisi Nomor : STTLP /17/ 1/2022/ SPKT, Rabu 19 Januari 2022, pelapor Sitti Hajar melaporkan Mohammad Lahay ke Polda Sulteng atas pengancaman melalui Informasi Transaksi Elektronik (ITE), terjadi 16 Oktober 2020 silam.
“Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan maupun kompilasi hukum Islam perkawinan siri itu tidak dikenal,” kata Kuasa Hukum Bupati Touna, Ishak Adam dalam konferensi pers di Kantor hukum “Law Firm ” Ishak Adam & Partners, Jalan Tavanjuka Mas Blok A No.7 , Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (22/3).
Ia menjelaskan, yang dikenal di perkawinan itu adalah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang nomor 1 tahun 1974. Pertama dilakukan menurut agama masing-masing dan tercatat.
“Jadi frasa perkawinan siri saya bantah,” kata mantan Komisioner KPU Touna ini.
Ia mengatakan, mereka itu tidak kawin, karena mereka tidak kawin maka hak dan kewajiban sebagai pasangan suami/istri tidak ada. Dirinya lebih cocok menggunakan mereka berteman antara Bupati Tojo Una-una dan Sitti Hajar.
Lebih lanjut, kata dia, Oktober 2020 saat tahapan Pilkada Touna, Sitti Hajar meminta bantuan uang Rp200 juta kepada Bupati (kliennya).Oleh kliennya kala itu meminta yang bersangkutan untuk sabar, soalnya lagi hadapi Pilkada membutuhkan banyak dana finansial.
” Tapi Sitti Hajar mengancam kliennya untuk turun ke desa-desa di Ampana guna mengampanyekan bahwa jangan pilih musang berbulu domba maksudnya Mohammad Lahay,” bebernya.
Hal ini membuat berang Bupati, dan menyampaikan kepada yang bersangkutan coba kau turun , saya akan membuat perhitungan juga. Lalu Sitti Hajar melapor Mohammad Lahay ke Polda Sulteng sekitar Desember 2020 laporan pertama. Dan yang 19 Januari 2022 ini sebagai laporan kedua.
Artinya kata dia, dari sisi hukum kita mencoba merumuskan delik laporan tersebut ke pengancaman pasal 29 Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Ada Surat Kesepakatan Bersama (SKB) beberapa menteri.
Ia menjelaskan, pengancaman dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 335 frasa perbuatan tidak menyenangkan sudah dihapus oleh Mahkamah Kontitusi (MK).
“Yang ada pengancaman,” ucapnya.
Ia menambahkan, pengancaman dalam pemahaman sederhananya orang sudah punya niat, didahului dengan tindakan permulaan, sehingga ada aktus reus (kejadian dia inginkan).
“Ada kehendak dibuktikan dengan ucapan, tapi perbuatan pendahuluan tidak ada,” katanya.
Menurut pendapatnya, laporan pengancaman ITE dilaporkan Sitti Hajar adalah perbuatan tidak selesai, perbuatan tidak selesai tidak boleh dihukum.
Terkait UU ITE, jelas dia, harus dia ancam orang di hadapan publik misalnya whatsapp group, IG. Tapi ini dua arah.
Olehnya, dalam SKB Menteri, pengancaman itu harus menimbulkan ketakutan, dengan rentan waktu cukup lama. Bila ditarik delik laporannya, tidak ada ketakutan dari Sitti Hajar.
Selanjutnya, adanya rekaman beredar percakapan antara dua orang, Ia menegaskan, rekaman yang diambil bukan oleh seorang penyidik (aparat penegak hukum) tidak bisa dijadikan barang bukti.
“Untuk membuktikan, siapa orang di balik percakapan itu apakah bupati, harus mengunakan saintifik evidence,” pungkasnya.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG