PALU – Dinas Pertanian dan Perkebunan (DPP) Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) memutus sepihak kontrak pengadaan bibit sawit dalam program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) tahun 2018 terhadap CV Bank Tani Maju (BTM) selaku perusahaan yang ditunjuk.
Diduga pemutusan terjadi lantaran perusahaan tidak menyanggupi permintaan fee dari proyek tersebut.
Program PSR yang dicanangkan Negara melalui Kementerian Pertanian dan Perkebunan RI di Kabupaten Morowali tersebut dibandrol senilai Rp3,2 miliar lebih.
CV BTM awalnya telah ditunjuk pihak Kementerian Pertanian melalui direktorat terkait untuk melakukan pengadaan bibit sawit dalam sebuah ikatan perjanjian kontrak. Lalu PT BTM melakukan kontrak bersama 8 Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) setempat untuk melaksanakan PSR tersebut. Dalam kegiatan ini PT BTM akan menerima dana pengadaan bibit sebesar Rp3,2 miliar lebih.
Namun dalam proses pengadaan bibit tersebut, tiba-tiba enam dari delapan Gapoktan memutus kontrak bersama PT BTM tanpa alasan jelas dan tidak prosedural. Sikap enam Gapoktan ini diduga karena intervensi dari pihak DPP Morowali.
Direktur PT BTM, Agustinus Palunsu, Ahad (31/01) mengaku, pemutusan kontrak yang dilakukan enam Gapoktan hanyalah sebuah rekayasa untuk dijadikan alasan oleh DPP agar bisa memutuskan kontrak tersebut.
Hal ini ia duga terjadi karena permintaan “fee” dari oknum DPP Morowali yang tidak bisa ia penuhi. Saat itu dia mengaku dimintai sebesar Rp2 ribu per polibag bibit sawit oleh Kepala Seksi DPP, bernama Fajrin pada akhir November 2019.
“Sebenarnya permintaan itu berat. Belum kami mulai pekerjaan, kami sudah dimintai, ini berat. Dan Fahrin memaksa kami untuk mencairkan bagiannya 100 persen, nominalnya Rp 67 juta, karena 33.779 polibag. Saya sampaikan pada waktu itu, bahwa pekerjaan ini baru kami mulai, kalau layaknya bermain bola, bola baru mulai digiring, Bapak (Fahrin) langsung tekel kami dari belakang, bagaimana bisa gol kalau begini caranya,”ungkap Agustinus.
Setelah itu beber Agustinus, Fahrin mengancam dengan mengatakan kalau permintaan ini tidak dipenuhi, maka kontrak PT BTM akan diputus oleh enam Gapoktan.
“Jadi saya sampaikan ke Fahrin pada waktu itu kalau mau putuskan kontrak, kita kan ada perjanjian kontrak, ada aturan main di dalamnya. Kalau tidak salah dia singgah di rumah itu 25 November 2019. Jadi Pak Fahrin ancam saya, dia mau putuskan kontrak saya dengan enam Gapoktan itu, karena pada waktu itu saya tidak penuhi seluruh permintaannya,” ungkapnya lagi.
Agustinus juga mengaku bahwa terdapat nota pesanan dari enam Gapoktan yang berisi ancaman.
“Ada nota pesanan dari enam Gapoktan itu, tapi dalam nota pesanan itu ada ancaman, kami (enam Gapoktan) akan membayar uang muka 30 persen apabila CV Bank Tani Maju telah menyemaikan kecambah itu kurang lebih seminggu. Apabila selama 12 hari Bapak Agus tidak laksanakan, kontrak putus,” katanya.
Menurutnya hal ini sudah melenceng dari kontrak awal. Ancaman Fahrin sebelumnya terbukti dengan putusnya kontrak enam Gapoktan tersebut.
”Analisa saya begitu, karena saya tidak bisa memenuhi keinginan pembayaran ke dinas atau Fahrin sebesar 100 persen, inilah hasilnya, putus kontrak,” katanya lagi.
Agustinus mengatakan, setelah pihaknya menjawab nota pesanan itu, pihak DPP Morowali memanggil nya bersama enam Gapoktan.
“Tiga kali mediasi, mediasi terakhir saya baru hadir. Pada mediasi pertama saya tidak hadir karena ada kegiatan di Mamosalato. Saya juga berpikir, seharusnya ini adalah urusan enam gapoktan dengan CV BTM, dan pihak dinas saya anggap tidak akan adil menilai masalah ini,” ungkapnya.
Dia mengaku, rapat digelar di ruang Kepala DPP Morowali, Andi Irman bersama enam Gapoktan.
“Dalam rapat ini, Pak Kadis bilang ke saya untuk legowo saja melepas enam Gapoktan itu. Dengan alasan perusahaan tidak punya dana. Jadi pada pertemuan itu saya dicerca pertanyaan agar saya legowo putus kontrak dengan enam gapoktan itu,” katanya.
Lanjut dia, kemudian ada mediasi lagi yang digelar DPP Morowali di Kantor Bupati. Kala itu ia berharap, Pemkab Morowali memahami keadaan.
“Dalam pertemuan itupun memang seakan-akan kami dipaksakan untuk memenuhi kemauan mereka, yakni datangkan kecambah tiga tahap,”paparnya.
Pemenuhan kecambah tiga tahap inipun ia akui telah berusaha dipenuhi. Meski 18 Februari 2020 batasan penyediaan kecambah dari dinas pada waktu itu.
“Karena pandemic Covid-19 ini, bandara tiba-tiba lockdown, ada keterlambatan pengiriman dari Medan. Sementara batas waktu itu 18 Februari 2020. Tetapi kami tetap berupaya datangkan, karena kecambah ini sudah terlanjur kami bayar di Medan. Bibit ini datang, kami undang enam Gapoktan ini untuk melihat bibit di penangkaran Beteleme, tetapi enam Gapoktan ini tidak datang,”sebutnya.
Belakangan baru ia ketahui bahwa 6 Gapoktan telah menandatangani kontrak dengan PT BHS di Witaponda tanpa ada pemberitahuan. Enam Gapoktan bahkan sudah menerima terima kecambah tersebut.
“Gapoktan ini bilang mereka beli bibit bukan kecambah. Tapi dalam kontrak tidak seperti itu. Memang beli bibit tapi dari kecambah dulu, disemaikan selama kurang lebih dua minggu baru jadi bibit.Tapi saya lihat yang dari BHS itu ternyata juga bukan benih yang siap tanam, kecambah juga,” ungkapnya.
Hal ini menurut Agustinus juga sudah sempat berkomunikasi ke pihak Dirjen Perkebunan RI, bernama Firman. Dari Firman ujarnya ia mendapat jawaban bahwa CV BTM tidak pernah mengajukan surat pernyataan mundur dari pekerjaan itu.
“Saya tanyakan bagaimana status perusahaan saya di PSR ini, apakah masih dipakai di pusat. Firman katakan, sampai saat ini Bapak tidak pernah mengirimkan surat ke kami menyatakan mundur dari PSR,”akunya. (YAMIN)