OLEH : Dr. Sahran Raden, S.Ag, SH. MH*
Saat mengajar mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum pada mahasiswa jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu, saya mendapatkan pertanyaan dari mahasiswa yang cukup menggelitik pada sesi dialog setelah presentase materi saya.
Pertanyaan tersebut adalah tentang bagaimana perbedaan antara kaidah kesusilaan dan kaidah hukum. Apakah orang yang melanggar kaidah kesusialaan juga melanggar kaidah hukum, atau sebaliknya?
Pertanyaan ini sebenarnya terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum kita saat ini. Di tengah modernisasi dan perkembangan masyarakat yang maju, hampir tidak bisa dibedakan antara pelanggaran kesusilaan yang berkaitan dengan moral yang sering diabaikan dan pelanggaran hukum yang bisa saja juga melanggar kaidah kesusilaan.
Kaidah atau norma yang berlaku dimasyarakat selain kaidah agama, kaidah kesopanan, kaidah kesusislaan juga kaidah hukum.
Menurut Prof Jimlly Assisdiqie bahwa tiga kaidah sebelumnya memiliki norma daya ikat yang bersifat volunter artinya daya lakunya tidak dapat dipaksakan, kecuali pada norma hukum yang bersifat imperatif dipaksakan pada setiap pelanggarnya.
Eksistensi Kaidah Kesusilaan dan Koidah Hukum
Dalam konteks bermasyarakat, posisi hukum dapat dilihat dalam 2 wujud, yaitu hukum sebagai kaidah/norma, dan hukum sebagai kenyataan masyarakat.
Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Kaidah dalam bahasa Arab disebut qo’idah, dalam bahasa latin disebut norma yang bermakna parameter atau ukuran-ukuran. Dalam bahasa Inggris kaidah disebut dengan atau norm.
Jadi dapat dikatakan bahwa apa yang disebut kaidah adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman untuk berperikelakukan atau bersikap tindak dalam hidup.
Kaidah kesusilaan adalah kaidah yang bersumber dari hati nurani sanubari yang menyangkut kehidupan pribadi manusia. Sebagai pendukung kaidah kesusilaan adalah nurani individu dan bukan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang terorganisir.
Pelanggaran terhadap kaidah kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat penyesalan.
Kaidah kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Salah satu ciri kaidah kesusilaan dibandingkan dengan kaidah hukum adalah sifat kaidah kesusilaan yang otonom. Artinya diikuti atau tidaknya aturan tingkahlaku tersebut tergantung pada sikap batin manusia tersebut.
Sebagai contoh: Mencuri itu perbuatan yang terlarang. Kaidah kesusilaan itu dituruti oleh manusia, bukan karena manusia tadi takut pada sanksi berdosa pada Tuhan, melainkan kata batinnya sendiri yang menganggap perbuatan itu tidak patut dilakukan.
Ciri-ciri kaidah kesusilaan atau moral adalah: a) Sumbernya diri sendiri/otonom. b) Saksinya bersifat internal, artinya berasal dari perasaan si pelaku sendiri. c) Isinya ditujukan pada sikap batin. d) Bertujuan demi kepentingan si pelaku, agar dia menyempurnakan diri sendiri, dan e) Daya kerjanya lebih menitikberatkan pada kewajiban menyangkut kehidupan pribadi manusia.
Penerapan Sanksi Kaidah Kesopanan dan Kaidah Hukum
Di samping kaidah kesusilaan atau/moral, kaidah kesopanan atau kebiasasan, juga tumbuh yang bernama kaidah hukum.
Kaidah hukum adalah peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama.
Hukum memiliki karakter mengatur kepentingan yang bersifat relasional antar manusia. Tujuannya untuk mencapai dan melindungi kepentingan bersama.
Kepentingan yang sifatnya relasional antara manusia ini akan menimbulkan permasalahan dan konflik apabila diserahkan kepada kaidah yang sifatnya subyektif. Keinginan individu dan kelompok yang akan menonjol, mengabaikan kepentingan dan tujuan bersama.
Oleh karena itu, kaidah hukum harus dijaga agar mendapatkan kepercayaan sebagai pengatur kepentingan bersama. fungsi kaidah hukum adalah memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia, menciptakan kedamaian dan mengatur ketertiban sosial serta melindungi manusia dari kegocangan sosial lainnya.
Permasalahannya, di Indonesia antara hukum dan penegaknya saat ini mengalami krisis, bangkrut dan degradasi.
Penguasa negara yang memiliki otoritas membentuk hukum juga tidak menunjukkan perilaku baik di depan hukum. Sebaliknya, banyak kejadian yang menggambarkan pembentuk hukum sedang bermasalah di hadapan hukum.
Kondisi kebangkrutan hukum ini harus menjadi tanggungjawab penguasa sebagai pembentuk dan penegak hukum. Tugas penguasa adalah memperbaiki hukum, penegakan hukum dan menjaga kaidah hukum dimasyarakat.
Penerapan kaidah yang bersifat kaidah hukum ini melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga kaidah lainnya dan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaidah yang lain.
Isi kaidah hukum itu ditujukan kepada sikap lahir manusia. Kaidah hukum mengutamakan perbuatan lahir. Pada hakekatnya apa yang dibatin, apa yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal.
Kaidah hukum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkrit, yaitu di pelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakat agar masyarakat tertib, agar jangan sampai jatuh korban kejahatan, agar tidak terjadi kejahatan.
Meskipun prinsip-prinsip tentang yang baik dan yang buruk, pada hakikatnya, sudah diatur dalam kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, dan kesopanan.
Namun, kaidah hukum, sebagai perlindungan kepentingan manusia kaidah kepercayaan atau keagamaan, kaidah kesusilaan dan kaidah sopan santuan atau adat dirasakan belum cukup memuaskan.
Maka terdapat dua alasan mengapa kaidah hukum menjadi penting, yaitu:
Pertama. Masih banyak kepentingan-kepentingan manusia lainnya yang memerlukan perlindungan, tetapi belum mendapat perlindungan dari ketiga kaidah sosial tersebut.
Kedua. Kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari ketiga kaidah sosial tersebut, belum cukup terlindungi, karena dalam hal terjadi pelanggaran kaidah.
Kaidah tersebut reaksi atau saksinya dirasakan belum cukup memuaskan disebabkan karena kaidah kesusilaan dilanggar hanyalah akan menimbulkan rasa malu, rasa takut, rasa bersalah atau penyesalan saja pada si pelaku.
Kalau ada seorang pembunuh tidak ditangkap dan diadili, tetapi masih berkeliaran, masyarakat akan merasa tidak aman, meskipun si pembunuh itu dicekam oleh rasa penyesalan yang sangat mendalam dan dirasakan sebagai suatu penderitaan sebagai akibat pelanggaran yang dibuatnya.
Kaidah sopan santun dilanggar atau diabaikan hanyalah menimbulkan celaan, umpatan atau cemoohan saja. Sanksi inipun dirasakan masih kurang cukup memuaskan, karena dikhawatirkan pelaku pelanggaran akan mengulangi perbuatannya lagi karena sanksinya, begitupulah dengan sanksi agama yang dianggap hanyalah sebagai sanksi yang diperoleh di akhirat kelak.
Meminjam istilah Hans Kelsen, bahwa kaidah atau norma hukum sebagai kaidah yang hirarkis dibentuk oleh lembaga atau badan hukum khususnya peradilan yang dapat ditegakan untuk menjadi penopang terhadap kaidah kesusilaan.
Maka, jika ada orang yang melakukan pelanggaran terhadap kaidah kesusilaan, pemberian sanksinya haruslah dapat dilindungi melalui kaidah hukum.
Jadi antara kaidah kesusilaan tidak dapat dipisahkan dengan kaidah hukum.
*Penulis adalah Dosen Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum Fakultas Syariah, UIN Datokarama Palu.