PALU – Memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang jatuh 1 Juli 2025, Yayasan Masyarakat Madani Indonesia (YAMMI) Sulawesi Tengah (Sulteng) menyampaikan catatan kritis terhadap kinerja Polri, khususnya Polda Sulteng, dalam penegakan hukum di sektor Sumber Daya Alam (SDA).

Melalui Direktur Kampanyenya, Africhal, YAMMI menyoroti sejumlah persoalan hukum yang dinilai belum ditangani secara tegas dan adil, khususnya terkait kerusakan lingkungan dan aktivitas pertambangan ilegal.

“Usia 79 tahun adalah usia matang bagi Polri, dan sudah semestinya institusi ini menjadi lebih profesional, bersih, transparan, serta benar-benar dicintai oleh rakyat,” ujar Africhal dalam keterangannya, Selasa (1/7).

Empat catatan kritis disampaikan Africhal. Pertama, YAMMI menyoroti masih maraknya kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang dan perkebunan skala besar yang tidak tersentuh hukum.

Jalur Palu-Donggala disebut sebagai salah satu contoh, di mana sejumlah perusahaan tambang pasir diduga beroperasi tanpa izin reklamasi laut. Akibatnya, ekosistem pesisir rusak, air laut menjadi keruh, dan nelayan kehilangan mata pencaharian.

“Sudah hampir 10 tahun kondisi jalan poros Palu-Donggala menjadi kubangan debu saat kemarau dan lumpur saat hujan. Ini dampak langsung dari aktivitas pertambangan di pegunungan,” tegas Africhal.

Kedua, maraknya praktik illegal mining sejak 2019 yang kini berubah menjadi penambangan skala besar.

Africhal mencontohkan metode perendaman menggunakan sianida yang dilakukan oleh PT Adijaya Karya Makmur (AKM) di kawasan Poboya.

Menurutnya, perusahaan tersebut beroperasi tanpa izin dan melanggar UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Yang lebih mengejutkan, aktivitas ini terjadi hanya sekitar 7 kilometer dari Markas Polda Sulteng. Merujuk hasil investigasi JATAM Sulteng yang menyebut potensi keuntungan hingga Rp60 miliar per bulan dari 9 bedeng perendaman emas ilegal tersebut,” ungkap Africhal.

Ketiga, YAMMI meminta Polri melakukan pembenahan internal. Laporan JATAM Sulteng menyebutkan bahwa hampir seluruh lokasi pertambangan, baik legal maupun ilegal, dijaga oleh oknum anggota Polri. Bahkan, disebutkan ada mantan Kapolda Sulteng yang kini duduk sebagai komisaris di perusahaan tambang tanpa izin.

“Jika benar, ini preseden buruk. Bisa jadi itulah alasan lemahnya penindakan,” tambahnya.

Keempat, YAMMI menyoroti ketimpangan dalam penegakan hukum. Africhal menyebut seorang petani bernama Andrias dari Desa Lindu ditahan oleh Polres Sigi karena dituduh memuat hasil tambang.

Namun di sisi lain, aktivitas tambang ilegal di Poboya yang melibatkan ratusan truk dan ekskavator disebut berjalan tanpa gangguan.

“Dua cerita ini menunjukkan ketimpangan hukum. Di satu sisi rakyat kecil ditindak, sementara penambangan ilegal berskala besar dibiarkan,” ujar Africhal.

YAMMI Sulteng berharap, di usia ke-79 ini, Polri semakin menjiwai nilai keadilan dalam penegakan hukum dan tidak lagi bersikap tebang pilih.

“Polri harus berani menangkap dan mengadili pemodal besar yang merampas kekayaan alam rakyat. Ini momentum untuk berbenah,” tutup Africhal.