Derita Orang Katu, kepada Cudy Mereka Mengadu

oleh -
Masyarakat Katu meminta perhatian serius dari Gubernur Sulteng, Rusdy Mastura untuk melepaskan wilayah kelola masyarakat Katu, seluas 8.565 hektare dari kawasan Tuntutan itu mereka sampaikan, saat melakukan aksi unjuk rasa depan Kantor Gubernur Sulteng, Jalan Sam Ratulangi, Kota Palu, Rabu (23/6). (FOTO: IST)

PALU- Masyarakat Katu meminta perhatian serius dari Gubernur Sulteng, Rusdy Mastura untuk melepaskan wilayah kelola masyarakat Katu, seluas 8.565 hektare dari kawasan TNLL.

Tuntutan itu mereka sampaikan, saat melakukan aksi unjuk rasa depan Kantor Gubernur Sulteng, Jalan Sam Ratulangi, Kota Palu, Rabu (23/6).

Konflik lahan antara Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) dan Masyarakat Katu telah berlangsung puluhan tahun, sejak Pemerintah Indonesia menetapkan kawasan Lore Kalamanta sebagai Cagar Alam Biosfir UNESCO 1977.

Koordinator Lapangan Masyarakat Katu Menggugat, Reinaldi Pantoli, mengatakan, pengusikan terhadap orang Katu tak putus-putus, bahkan sejak kolonialisme.

“Di era kolonialisme pemindahan paksa terhadap orang Katu dilakukan sebanyak tiga kali,” katanya.

Setelah Indonesia merdeka, orang Katu kembali dipindah karena agenda TNLL.

“Pada 1993, ketika kongres Taman Nasional di Bali, pemerintah Indonesia memindahkan penduduk Katu Tujuh kilometer dilingkar dalam di bagian tenggara Taman Nasional Lore Lindu,” tutur Reinaldi, kepada MAL Online, Rabu (23/6).

Sejak saat itu, kata Reinaldi, orang Katu mulai berurusan dengan TNLL dan berulang kali diancam oleh Polisi Kehutanan dan pejabat pemerintah lokal, karena menolak pindah.

Lebih lanjut, tutur Reinaldi pada 1997 pemerintah Indonesia kembali memindahkan masyarakat Katu melalui program resettlement di lembah Behoa. Saat ini dikenal dengan Desa Baleura. Program ini didanai oleh Asian Development Bank (ADB).

BACA JUGA :  Titip Pesan kepada Anggota DPRD Periode 2024-2029, Nilam Sari Lawira Kutip Surah Luqman

Namun, kata Reinaldi, program ini tidak berhasil, sebab menuai penolakan dari masyarakat Katu yang didukung oleh sejumlah aktivis lingkungan, kemanusiaan dan mahasiswa masa itu.

Sehingga April 1999, jelas Reinaldi, Kepala Balai TNLL, Banjar Yulianto Laban, mengeluarkan surat pernyataan Nomor 35/VI-BTNLL.1/1999 yang mengakui keberadaan masyarakat Adat di Desa Katu.

Meski demikian jelas Reinaldi, status wilayah Katu, sepenuhnya masih areal TNLL. Artinya sertifikasi tanah dan perluasan pembangunan tidak dapat dilakukan.

“Sampai hari ini, masyarakat Katu tidak dapat melakukan sertifikasi tanah dan perluasan pembangunan seperti percetakan sawah baru karena wilayah Katu masih bagian dari TNLL,” tuturnya.

Menurutnya, keberadaan TNLL berdampak pada kesejahteraan dan ketidakpastian hukum terhadap hak atas pemilikan, dan penguasaan tanah bagi masyarakat Katu mayoritas bekerja sebagai petani.

“Kami jadi ragu dan was-was menggarap lahan karena keberadaan TNLL yang mengklaim seluruh tanah leluhur kami,” ujarnya.

BACA JUGA :  Pilkada Serentak 2024, Tahap Pungut Hitung di Sulteng Paling Rawan

Pengalaman masa lampau kata Reinaldi, telah menjadi bekal bagi orang Katu. Buktinya April 2017, petugas Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) wilayah XVI Palu tiba-tiba datang memasang tapal batas di dalam kebun dan sawah warga tanpa sosialisai.

Sehingga sebut Reinaldi, masyarakat Katu melalui aksi demonstrasi ini menuntut Pemerintah Indonesia melalui Gubernur Sulawesi Tengah sebagai perpanjangan tangan Presiden Republik Indonesia untuk melepaskan wilayah kelola masyarakat Katu seluas 8.565 hektare dari kawasan TNLL.

Ia juga menyatakan 6 tuntutan lainnya untuk menjadi perhatian Gubernur terpilih di Desa Katu. Pertama kata Reinaldi, petani Katu butuh sawah dan irigasi. Selama ini, petani Katu hanya menggarap 31 hektare lahan sawah dari jumlah penduduk 419 jiwa atau 120 kepala keluarga. Kebanyakan sawah di Katu hanya menunggu tada hujan.

“Jadi kalau tidak hujan, selama itu lahan sawah menganggur sampai musim penghujan tiba, ” kata Reinaldi.

Tuntutan kedua, sebut Reinaldi, masyarakat Katu butuh input pertanian modern dan pengetahuan mengelola lahan secara produktif. Hal ini, merupakan persoalan mendasar yang selalu menjadi hambatan petani di Katu.

Tuntutan ketiga yang juga menjadi hambatan masyarakat adalah, akses jalan yang buruk masuk ke Katu, yang berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat karena sulitnya memasarkan hasil pertanian keluar dari Katu. Selain itu, masyarakat Katu juga membutuhkan pendidikan dan kesehatan murah.

BACA JUGA :  Kemenkumham Perkuat Pengawasan WNA di Morowali

“Kemiskinan membuat anak-anak petani di Katu tidak mampu mengakses pendidikan hingga perguruan tinggi. Tahun 2020 tercatat hanya 7 persen anak-anak Katu yang bisa mengenyam pendidikan menengah atas hingga perguruan tinggi,” tandasnya.

Begitu juga kesehatan, angka kematian bayi cukup tinggi di Katu. Hal ini kata dia, karena kualitas kesehatan yang buruk dan ketidakmampuan masyarakat melahirkan di Rumah Sakit (RS).

Lanjut dia, tuntutan masyarakat Katu yang ke lima adalah akses terhadap jaringan telekomunikasi, masyarakat Katu tidak pernah merasakan jaringan telekomunikasi. Sehingga sulit menyesuaikan dengan perkembangan terutama bagi anak-anak yang melaksanakan sekolah daring.

Tuntutan terakhir kata dia, masyarakat Katu meminta jaminan keamanan dari aksi-aksi terorisme di wilayah lore dan sekitarnya. Selama ini, petani di Lore terganggu karena takut berpergian keluar apalagi pergi menggarap kebun.

“Hal ini harus menjadi perhatian serius Gubernur Sulawesi Tengah, H. Rusdi Mastura, karena kami sebagai petani hidup dari menggarap lahan. Kalau tidak bisa menggarap lahan, maka kami tidak akan makan artinya kalau tidak makan maka kami akan mati,” pintanya.

Reporter: Ikram
Editor: Nanang