Donggala. Salah satu wilayah di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) ini, selain merupakan wilayah induk dari beberapa daerah yang ada, juga memiliki banyak kisah dan peninggalan sejarah.

Jika ingin menggali lebih dalam sejarah perkembangan syiar Islam di Sulawesi Tengah, maka napak tilasnya bisa ditelusuri dari daerah ini.

Ceritanya yang mendunia membuat daerah ini banyak dikunjungi saudagar dari negara luar, termasuk dari Melayu dan Timur Tengah yang datang berdagang sekaligus menyebarkan ajaran Islam.

Salah satu jejak syiar Islam yang bisa ditemui di Donggala adalah bangunan masjid yang ada di beberapa tempat. Masjid-masjid tua itu masih berdiri kokoh hingga saat ini dan tetap lestari menjadi tempat ibadah.

Penanda siar Islam yang berdiri sejak ratusan tahun silam ini bisa dilihat, baik di dalam Kota Tua Donggala, hingga ke pelosok desa, mulai dari selatan hingga utara yang berbatasan dengan Kabupaten Tolitoli.

Corak dan arsitektur masjid juga cukup beragam. Perpaduan khas Timur Tengah, model masjid di Jawa, hingga arsitektur lokal.

Dari sejumlah masjid tua di Donggala, baru Masjid Al-Amin di Desa Wani I, Kecamatan Tanantovea ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Yang lainnya baru sebatas diinventarisir dan akan diusulkan melalui hasil riset Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) baik kabupaten maupun provinsi.

Keberadaan masjid ini bisa dilihat dari data hasil inventarisasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Donggala, di antaranya adalah Masjid Al-Amin yang didirikan tahun 1906.

Dari catatan sejarah, masjid ini diprakarsai Pua Bulu atau Said Agil, seorang tokoh agama yang berpengaruh di masa itu. Walaupun beberapa kali mengalami renovasi, namun bentuk atau model asli bangunan masjid tersebut masih terlihat.

Bangunan masjid tua lainnya bisa dilihat di wilayah kecamatan yang bersebelahan dengan Tanantovea, yaitu Labuan. Masjid itu dinamai Al-Huda, yang juga memiliki sejarah panjang dalam syiar Islam di Donggala.

Dari arah Labuan menuju ke arah utara tepatnya di Desa Toaya, Kecamatan Sindue, bisa dijumpai bangunan masjid yang berdiri tak jauh dari tepi sungai.

Namanya Masjid Jami. Arsitekturnya menunjukkan gaya bangunan tua yang sampai saat ini masih dimanfaatkan untuk sholat setiap waktu. Cuma saja telah mengalami perubahan bentuk asli setelah direnovasi.

“Ada banyak bangunan masjid tua di Kabupaten Donggala. Setelah adanya TACB, Insya Allah akan melakukan inventarisasi dan kajian untuk menentukan statusnya sebagai cagar budaya,” kata Kabid Kebudayaan, Disdikbud Donggala, Rosmawati, beberapa waktu lalu.

Selain itu, beberapa desa di pesisir Pantai Barat Kabupaten Donggala juga memiliki bangunan masjid yang ditengarai telah ada sejak ratusan tahun silam.

Di antara yang cukup tua terdapat di Desa Talaga, Kecamatan Dampelas, yakni Masjid Nurul Iman. Bentuk arsitektur bangunan merupakan perpaduan khas Melayu dan corak lokal.

Sedangkan di Kecamatan Banawa Tengah, masjid yang dikategorikan paling tua terdapat di Desa Towale, Masjid Aulia.

“Masjid ini merupakan yang tertua di desa ini, bahkan saya mendapat informasi paling tua di kecamatan ini. Menurut penuturan dari orang-orang tua di desa ini, masjid ini sudah ada sejak dua ratus tahun lalu. Telah beberapa kali direnovasi tapi bentuknya tetap dipertahankan,” jelas Kepala Desa Towale, Subhan Tahir.

Berdasarkan catatan sejarah, sejak abad ke-18, Desa Towale memang sudah dikenal dengan perkembangan agama Islam.

Hal itu merujuk pada kesaksian kapten kapal, David Woodard yang mengalami penyanderaan bersama anak buahnya tahun 1793-1795. Dikisahkan dalam The Narrative of Capiten David Woodar yang ditulis William Vaughan terbitan tahun 1804. Kampung Towale (ketika itu disebut Travalla) terdapat banyak penganut agama Islam. Mereka taat menjalankan ibadah shalat setiap waktu dan sudah ada seorang haji, yang akrab disapa Tuan Haji.

Bukti lain di Towale adalah adanya tokoh Islam yang cukup terkenal, diperkirakan ada sejak abad ke-18. Ia dikenal dengan nama Syech Lokiyah, makamnya di Desa Limboro yang dipercaya sebagai tokoh penyebar Islam pertama di Towale. Namanya diabadikan menjadi lembaga pendidikan di desa tersebut.

Pada umumnya, masjid-masjid tua baik di Kota Palu maupun di Donggala, pada bagian halaman belakang pasti terdapat makam tokoh-tokoh agama Islam.

Hal tersebut merupakan bentuk penghargaan masyarakat setempat terhadap peran tokoh yang berperan dalam pembangunan masjid.

Hal ini bisa disaksikan di halaman belakang Masjid Raya Donggala, di mana terdapat beberapa makam tokoh penting terkait dalam pembangunan awal masjid.

Satu di antaranya adalah makam Haji Mohammad Saleh yang dikenal dengan sapaan Pettalolo yang meninggal dunia tahun 1904 dalam peristiwa Perang Donggala.

Pada akhir abad ke-19 ke abad 20, Pettalolo termasuk tokoh penting dalam pembangunan sosial di Kota Donggala.

Dalam sejarah Kota Donggala, Masjid Raya Donggala yang berdiri kokoh saat ini termasuk masjid tua yang telah mengalami beberapa kali renovasi.

Diperikirakan berdiri pada abad ke-19 yang ketika itu dinamai Masjid Jami dengan bahan bangunan terbuat dari papan kayu beratap rumbia, kemudian diganti dengan atap sirap.

Kemudian pada tahun 1960-an, dilakukan perubahan besar-besaran dengan perluasan bangunan seperti yang terlihat saat ini.

Masjid Raya Donggala bukan hanya digunakan untuk ibadah, tapi menjadi pusat berbagai kegiatan perayaan hari-hari besar Islam maupun festival seni Islam, termasuk kegiatan pawai anak-anak sekolah untuk peringatan hari-hari besar nasional.

Halaman Masjid Raya Donggala biasanya menjadi tempat berkumpul untuk start atau finish.

Penulis : Jamrin AB
Editor : Rifay