OLEH : Abdul Rasyid*
Hiruk Pikuk Pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 sudh mulai terasa. Berbagai tokoh mulai nampak memasang wajah untuk memperkenalkan dan diperkenalkan. Dari yang masih malu-malu hingga yang sudh tampak mendeklarasikan diri sebagai bakal calon Bupati/wakil bupati Donggala.
Oleh karena itu, sudah saatnya berbagai pihak yang berkepentingan untuk mulai melakukan penelusuran baik dari rekam jejak dan isi kepala (kapasitas) dari sang calon yang hadir itu.
Mengapa demikian? Karena untuk konteks kabupaten Donggala dalam kurun waktu terakhir menghadapi 2 kondisi yang cukup serius. Yang pertama : revitalisasi di semua sektor pasca bencana 2018, dan yang kedua : iklim birokrasi yang terwariskan.
Banyak yang berfikir bahwa membangun Donggala adalah pekerjaan mudah dan cukup dengan slogan dan teriak-teriak. Menampilkan citra merakyat tapi miskin ide dan kreativitas. Sudah cukuplah kita menyuguhkan selama ini tampilan yang melenakan dan endingnya hanya akan menghasilkan kecewa yang berkepanjangan.
Kondisi hari ini dan masa yang akan datang tidaklah bisa dipisah begitu saja dengan hadirnya Pilkada, atau dengan bahasa sederhana bahwa dengan hadirnya calon pemimpin baru akan secara tiba-tiba “simsalabim” dapat merubah total kondisi hari ini.
Tentu hal ini bukanlah sebuah ungkapan pesimistis melainkan lebih realistis, agar para pemangku kepentingan tidak lagi membuat “jualan-politis” yang bombastis.
Sudah terlalu lelah para calon kandidat, pemilih dan parpol “dipaksa” untuk mengikuti frame berfikir yang sama yaitu elektabilitas dan isi tas, yang akhirnya sudah dapat diprediksi apa yang akan terjadi jika telah mendapat jabatan tersebut.
Cobalah semua pihak menggeser paradigma Pilkada yang lebih menyehatkan dan menghadirkan kontestasi isi kepala (kapasitas) dan rekam jejak prestasi.
Kabupaten Donggala dengan segala hiruk pikuknya akan meninggalkan kondisi yang luar biasa berat. Iklim birokrasi, etos kerja non prestasi dan lebih mementingkan relasi akan menjadi pekerjaan berat jika tidak dipahami oleh sang pemimpin baru.
Yang dikhawatirkan terjadi jika kelak pemimpin tidak kuat dalam pemahaman, maka dipastikan hanya akan terikut arus dalam lingkar kuasa yang sudah lama menjadi budaya. Bahkan ironinya hanya akan menjadi ajang “balas dendam” lanjutan sebagaimana pendahulu-pendahulunya.
Kemudian berikutnya yang mesti dipahami pula adalah jabatan 5 tahunan merupakan periodisasi singkat dan memerlukan gerak cepat yang cerdas. Sehingga pemimpin masa depan itu harus berkarakter pemikir kuat dan bertindak cepat.
Hal ini tidak lain dikarenakan sang pemimpin masa depan harus lugas menyesuaikan diri dengan ikatan-ikatan peraturan yang membatasi serta ruang gerak yang telah diatur sedemikian rupa dalam UU.
Kreativitas dan imajinasi sang pemimpin harus benar-benar dapat terealisasikan dalam langkah kongkrit birokratis yang harus dapat memangkas prosedur berbelit-belit.
Sungguh sangat disayangkan jika sudah hampir 3 kali Pilkada di Kab. Donggala (sejak tahun 2008) kita tidak pernah mengambil pelajaran untuk perbaikan bersama.
Lihatlah daya rusak yang telah ditinggalkan akibat residu Pilkada hingga saat ini, lihatlah bagaimana Kabupaten Donggala meninggalkan cerita pilu yang entah kapan akan berlalu.
Inilah momentum untuk berbenah, Pilkada serentak sejatinya ingin melahirkan pemimpin daerah yang ingin menyelesaikan problem daerahnya, bukan malah menjadi sumber masalah baru yang terwariskan turun temurun.
Pilkada janganlah dijadikan hanya seperti ajang pencarian bakat di TV dan di Media Sosial. Berfikirlah apa yang akan terjadi jika dia menjadi Bupati atau wakil bupati. Wallahu a’lam bisshawab.
*Penulis adalah Ketua DPD PKS Kabupaten Donggala