Gunung, tiang pasak bumi di wilayah sepanjang Palu-Donggala, sudah lunglai. Isi perut gunung itu dikeruk habis-habisan oleh keserakahan anak manusia. Tak ada lagi pemandangan apik di wilayah itu, yang ada adalah bentangan alam bak kapal pecah.
Tentu kekacauan lingkungan menjadi resiko logis. Lihat saja air bercampur lumpur pekat menggerayangi rumah-rumah warga Kelurahan Watusampu, Kota Palu dan sekitarnya dua pekan silam. Dari takaran kemanusiaan, tak ada hati yang mampu menahan lirih jeritan suara lengkingan kaum ibu-ibu melihat derasnya banjir lumpur memenuhi sudut-sudut ruangan rumahnya.
Banjir lumpur pekat di wilayah Watusampu dan sekitarnya secara nyata dan terang benderang telah mengganggu kehidupan warga. Selain aktifitas nelayan yang sudah sejak lama tak normal akibat tercemarnya laut di sekitar wilayah itu, melainkan juga ladang kebun warga makin terhimpit bahkan menjadi hilang dalam peta lanskap Kota Palu.
Pengguna jalan negara di kawasan itu mengalami nasib yang sama, selain macet kalau musim kering, debu dan abu menjadii santapan. Saban hari penduduk sepanjang Palu-Donggala, kalau musim kemarau, mereka makan debu, kalau musim hujan akan kebanjiran lumpur pekat.
Dengan begitu, di masa mendatang banjir sedikit saja ditengarai akan merusak daerah itu dalam skala yang lebih besar. Ini semua karena pertambangan di kawasan pesisir Kota Palu dan Donggala itu kian hari kian massif merajalela.
Memang belakangan ini terjadi curah hujan yang cukup tinggi dan perubahan iklim namun senyatanya pembongkaran habis-habisan gunung di kawasan itu menjadi andil besar dalam memperburuk keadaan.
Morfologi dan kontur wilayah menjadi berubah akibatnya. Watusampu sudah tak mampu menjadi daerah tangkapan air dan hutan pegunungan. Kawasan Watusampu dan sekitarnya karena eksploitasi membabi buta akibatnya vegitasinya menjadi gundul dan menganga.
Maka Watusampu kini menjelma menjadi sebuah kemanusiaan yang menggantung. Agar tak memakan korban yang lebih banyak, tidak bisa tidak, pihak yang berkompoten, pengambil kebijakan di Provinsi Sulawesi Tengah untuk segara mencairkan soalan pengrusakan lingkungan yang sudah menyata.
Kita menziarahi batin gubernur, wali kota, bupati dan legislator di daerah ini untuk segera mengambil tindakan darurat guna menyelamatkan belasan ribu nyawa manusia di kawasan itu. Dalam amatan kita, selama ini belum ada belive apa pun soal upaya langkah langkah serius kearah pemihakan lingkungan.
Para calon gubernur atau wali kota dan bupati ogah-ogahan bicara penyelamatan wilayah Watusampu dan sekitarnya.
Jika selama ini dalam hal perumusan tata ruang dan proyek pembangunan atas kepentingan umum (baca penyedia bahan meterial ibukota Nusantara) tak melibatkan warga kebanyakan, maka saatnya kini perlu moratorium aneksasi gunung di kawasan Watusampu dan sekirabta. Warga sejatinya dilibatkan sejak awal dalam negoisasi perundingan.
Adalah sebuah keharusan bagi pengambil kebijakan untuk mendengar suara warga, karena mereka punya hak terhadap kota dimana ia hadir dengan segala kerumitannya untuk kemudian mentrasformasikan dan memprbaharui kota sesuai dengn konteks ekonomi politik kekinian.
Kita amat berharap agar pemerintah provinsi, kota dan Kabupaten bahkan juga pemerintah pusat untuk melakukan kajian rutin terhadap dampak dari penggerukkan besar besar gunung d kawasan Watusampu dab sekitarnya.
Apakah dengan adanya perubahan kondisi lahan dan lingkungan punya makna signifikan terhadap aktifitas pertambangan di kawasan itu. Ini butuh jawaban.
Banjir d Watusampu kemarin, boleh jadi ini perigatan alam, agar manusia tidak semena-mena dan egois mengeruk kekayaan alam dan abai terhadap kelestarian lingkungan,
Sudah saatnya kita semua bekerjasama merawat dan memperbaiki lingkungan dan lebih bertanggungjawab. Semoga!
Darlis Muhammad (Redaktur Senior Media Alkhairaat)