PALU- Seorang wanita paruh baya, dengan cekatan memukul-mukul kulit kayu seukuran kertas HVS. Kulit kayu itu tampaknya, sudah akan menjadi kain, yang nantinya akan dijadikan baju olehnya.
Hal itu ditunjukkan pada acara Festival Tampolore, Lembah Behoa, Desa Bariri, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso.
Namanya Sensi Tomberi. Wanita berusia 63 tahun ini adalah pengrajin kain tradisional kulit kayu.
Di balik profesi ini, Sensi mengisahkan bahwa sesungguhnya dahulunya ia tidak terfikir untuk menjadi pengrajin kain kulit kayu. Cita-citanya saat kecil justru ingin menjadi seorang guru. Namun apa daya, keluarganya menghadapi kendala ekonomi yang membuatnya tidak dapat melanjutkan pendidikannya kala itu di sekolah SD.
Dari kondisi itulah dia berusaha untuk tetap survive, dan menemukan cara untuk mengasah keterampilan dan kreativitasnya. Dia memutuskan menjadi seorang pembuat baju dari kulit kayu.
Kerajinan tangan ini merupakan tradisi turun-temurun dari neneknya yang bernama Linge Tanggeru, yang juga salah satu pengrajin kebanggaan di kabupaten Poso.
“Menghasilkan satu baju dari kulit kayu membutuhkan waktu selama dua minggu. Dan untuk menjadikan kayu menjadi selembar kulit, membutuhkan waktu selama satu minggu. Kalau orang tidak biasa membuat baju dari kulit kayu memang susah, tapi saya sudah biasa sejak saya kecil nenekku sudah mengajari saya ba peede atau ba pukul kayu menjadi selembar kulit bahan baju,” aku Sensi kepada Media Alkhairaat, di arena Festival Tampolore, Lembah Behoa, Sabtu (17/6).
Sensi dengan penuh kesabaran dan dedikasi menggabungkan keahliannya merajut, dengan teknik pengolahan kulit kayu yang unik, menjadi baju yang indah dan bernilai seni tinggi.
Sensi menikah dengan seorang lelaki yang bekerja sebagai seorang petani jagung dan coklat. Meski hidup sederhana, mereka berdua berjuang keras untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi keempat anak mereka. Mereka menyadari bahwa pendidikan adalah kunci untuk mewujudkan impian anak-anak mereka.
“Meski saya tidak punya sekolah dan suami saya seorang petani, tapi badannya agak cacat, tapi empat orang anak saya semua kami kasi sekolah. Cukup kami yang tidak punya sekolah, jangan lagi anak-anak kami,” ujar Sensi .
Anak pertama Sensi, berhasil mengikuti jejak ibunya dan berhasil menjadi seorang guru, di Desa Behoa.
Anak kedua meski masih kuliah tetapi masyarakat memberikan kepercayaan, menjadi kepala dusun di Desa Behoa.
Anak ketiga berhasil meraih gelar Sarjana Keperawatan. Dan kini mendidikasikan keprofesiannya di desa mereka.
Sementara itu, anak bungsu Sensi, saat ini masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Aku Sensi, anaknya itu memiliki impian untuk mengembangkan desa mereka melalui inovasi teknologi dan pertanian yang berkelanjutan.
Reporter: IRMA
Editor: NANANG