PALU – Komandan Resort Militer (Danrem) 132/Tadulako, Brigjen TNI Farid Makruf, mengungkap salah satu alasan sehingga pihaknya bersama aparat kepolisian belum bisa menangkap seluruh kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora.
Menurut Danrem, salah satu penyebabnya karena kelompok tersebut selalu mendapatkan logistik berupa makanan dari masyarakat.
“Salah satu sumber logistik dari kelompok MIT ini adalah penambang di Desa Salubanga, Kecamatan Sausu. Ini salah satu sebab kami mengejar Ali Kalora itu tidak selesa-selesai. Kami berharap Ali Kalora dan kawan-kawannya kelaparan di atas sana, tapi ternyata disuplai terus sama para penambang,” tutur Danrem saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama komisi gabungan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Senin (15/03).
Dulu, kata dia, pihaknya sama sekali belum mengetahui modus para penambang ini untuk menyuplai logistik kepada kelompok MIT tersebut.
“Tapi sekarang kita sudah tahu pasti. Mereka (penambang) naik hanya untuk seminggu membawa lebih dari 20 kilogram beras, sisanya diberikan kepada Ali Kalora Cs,” ungkapnya.
Pihaknya, kata dia, sudah membuktikan keterlibatan para penambang dengan kelompok MIT, saat kontak tembak di daerah Andole, Tambarana, beberapa waktu lalu.
“Di sana hidup beberapa penambang yang memang mendukung kelompok Ali Kalora ini, jadi di antarkan logistik dan sebagainya,” terangnya.
Pada kesempatan itu, Danrem juga membeberkan temuan mereka terkait keberadaan sejumlah peti di wilayah Sulteng.
“Kami mulai dari Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), di Desa Kayuboko, Kecamatan Parigi Barat itu luasnya 42 hektar (ha) yang mencakup lahan milik warga dan sebagian hutan produksi terbatas. Aktivitas penambangan dilakukan kurang lebih 180 orang yang melibatkan 48 mesin dompeng, 4 tandon jumbo dan 14 unit excavator. Ini cukup massif dan dilakukan sudah sekian lama,” ungkapnya.
Kemudian, lanjut dia, di Desa Tirta Nagaya, Kecamatan Lambunu dengan luas 45 ha yang melibatkan sekitar 300 orang penambang, menggunakan 2 tandon jumbo dan enam unit excavator.
Kemudian di Desa Buranga, Kecamatan Ampibabo yang baru saja mengalami kecelakaan kerja. Aktivitas ini melibatkan sekitar 60 orang, menggunakan lima tandon jumbo dan 10 unit excavator.
“Terdapat kurang lebih 700 pendulang setiap harinya di sepanjang sungai,” bebernya.
Masih di wilayah Parimo, tepatnya di Desa Lobu, Kecamatan Moutong dengan luas 12 ha. Kata Danrem, perusahaan yang melakukan aktivitas di wilayah itu adalah PT Kemilau Nusantara Katulistiwa (KNK).
“Kalau di kalangan masyarakat, KNK ini mengklaim sudah memiliki Izin Khusus Pertambangan, namun belum memiliki izin operasional, nanti dinas perizinan bisa menjelaskan status KNK ini,” tuturnya.
Sebab, kata dia, adanya KNK juga yang membuat masyarakat bertanya, apakah hanya penambang besar dengan modal besar yang boleh menambang.
“Ini juga yang perlu dipikirkan oleh kita semua selaku pejabat pemerintah bahwa masyarakat pun ingin bekerja di sana tetapi bagaimana mengurus izin seperti KNK ini. Ini yang selalu ditanyakan ketika kami ke sana,” katanya.
Selain itu, kata dia, limbah tanah juga dibuang langsung ke Sungai Moutong tanpa pengolahan limbah cair dengan sisten IPAL.
“Ini kami belum tahu seperti apa dampaknya di Parigi Moutong tapi kemarin kami bertemu kepala BNPB bahwa yang terdampak langsung oleh merkuri ini adalah sungai di Poboya,” tambahnya.
Ia juga mengukapkan keberadaan peti di Kabupaten Poso, tepatnya di Dusun Dongi-Dongi, Desa Sedoa, Kecamatan Lore Utara, dengan luas kurang lebih 15 ha.
“Ini agak masif ada sekitar 1000 penambang yang terlibat, bahkan pada saat tertentu bisa sampai 2000 orang. Penambangnya tidak hanya dari Sulteng, tapi dari Gorontalo dan Sulawesi Utara. Pernah kami dapat data di Parimo itu yang mendatangkan alat adalah orang Gorontalo,” tuturnya.
Kemudian di Desa Bakekau, Kecamatan Lore Selatan, tepatnya di Lembah Bada. Kata dia, ktivtasnya juga dilakukan ratusan orang dari berbagai daerah.
“Kami dapat info juga Bada ini sudah mulai ditinggalkan karena dianggap deposit emasnya sudah menipis,” ujarnya. (RIFAY)