Belakangan, Danau Tendetung sering diperbincangkan khalayak ramai. Terlebih ketika viral sepaket dengan destinasi wisata lainnya di Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep).
Menariknya, Danau Tendetung tidak hanya sekadar lokasi wisata, tetapi ada cerita rakyat yang dipercaya oleh warga sekitar, sebagai asal muasal tasik tersebut.
Daya tarik danau ini yakni air danau akan penuh 6 sampai 7 meter di musim hujan, dan akan surut saat musim kemarau dan menyisakan debit air yang kecil mengalir berkelok-kelok, berjumlah 101 kelokan.
Ketika air danau pasang, warga sekitar termasuk penduduk dari desa-desa tetangga akan memancing ikan. Mereka mendirikan tenda dari terpal, membawa panci, membuat tungku batu dan memanggang ikan hasil tangkapan mereka. Sebagian ikan mereka asap, dan dibawa pulang.
Biasanya mereka akan bermalam di tepi danau (ketika air danau baru mulai pasang), karena mereka memasang pancing di sore hari, dan mengeceknya di pagi hari. Cara memancing mereka tidak biasanya, seperti memakai joran, melainkan pakai tali panjang, diletakkan agak ke tengah air danau.
Ikan dumpaya (gabus) dan ikan telendek (mujair) berlimpah di danau ini. Ikan gabus yang baik bagi kesehatan salah satunya mampu mempercepat proses penyembuhan selalu diburu oleh warga, utamanya yang sedang pemulihan pasca operasi.
Menurut penuturan warga sekitar termasuk yang saat itu sedang memancing, bahwa air danau memang pasang dan surut, tetapi waktunya tidak bisa dipastikan. Terkadang tetap pasang meski musim kemarau, dan tetap surut walau musim hujan.
Masa pasang atau surut pun tidak dapat dipastikan pula, bisa lebih dari enam bulan atau kurang.
Informasi yang berhasil dihimpun kontributor media ini, bahwa akhir bulan Mei hingga awal Juni, air danau akan surut. Informasi itu diperkuat dengan dokumentasi warga di Desa Kalumbatan, ketika ia berkunjung tahun 2022 tanggal 31 Mei dan 1 Juni.
Tetapi ketika awak media ini berkunjung tangal 19 Juni, air danau mulai pasang, dan debitnya meningkat cukup signifikan di tanggal 20 Juni.
Asal-muasal Danau Tendetung
Merujuk cerita yang ditulis oleh Djuin Koloit dalam “Cerita-cerita Rakyat Banggai Kepulauan” yang diterbitkan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Bangkep, kisah tentang Tendetung terjadi sekitar tahun 640 M.
Bercerita tentang Bajandian mian lua, namate potombulukon (percintaan dua insan, mati tenggelam bersama). Kedua insan ini adalah Sundano dan Kokiap yang saling mencintai dan tinggal di dusun yang berjarak 3 km dari Pantai Kanali, Pelei dan Tobungku.
Sayangnya hubungan asmara keduanya ditentang kedua orang tua masing-masing. Dalam tulisan Djuin Koloit, tidak dijelaskan alasan mereka tidak direstui.
Tetapi melalui salah satu cerita yang pernah merilis kisah ini, tidak direstuinya hubungan kedua sejoli tersebut karena perbedaan agama. Agama yang dimaksud di sini adalah agama lokal, bukan agama samawi.
Untuk memisahkan Sundano dan Kokiap, orang tua Kokiap menikahkan putrinya dengan lelaki lain. Hal tersebut membuat Sundano sakit hati. Ia kemudian menyusun rencana untuk menggagalkan pernikahan Kokiap dengan mengumpulkan hewan-hewan darat dan hewan laut (serangga).
Konon, jika serangga-serangga itu dihamburkan ke rumah empunya hajatan, akan mendatangkan petaka yang dikenal dengan tobibil (Bahasa Banggai), yakni munculnya mata air yang membanjiri sebuah wilayah.
Rencana itu disampaikan kepada Kokiap, dan keduanya sepakat untuk melarikan diri. Pasalnya Sundano dan Kokiap telah berjanji bahwa hanya maut yang dapat memisahkan mereka.
Pada saat pesta, Sundano mengikat pantangan itu di tiang utama rumah panggung yang menggelar pesta. Saat puncak keramaian pesta, hujan lebat turun, petir menyambar, orang-orang bubar dari pesta. Air bah muncul dari bawah rumah panggung itu.
Ketika dusun itu dipenuhi air bah, Sundano menjemput Kokiap, dan keduanya naik perahu yang telah disiapkan Sundano. Tanpa peduli dengan korban lainnya, mereka melarikan diri mengikuti derasnya air.
Dalam perjalanan, perahu mereka kerap terhalang oleh pohon-pohon yang tumbang, sehingga mereka membelokkan perahu mereka. Belokan tersebut mencapai 100 belokan.
Pada belokan selanjutnya, 101 belokan, mendadak ada lubang yang cukup besar dan perahu mereka jatuh ke lubang itu.
Tiga bulan sejak kejadian tersebut, muncullah dua mata air di Desa Kanali dengan jarak 300 meter antara keduanya. Masing-masing mata air itu diberi nama Sundano dan Kokiap. Mata air itu kemudian mengaliri Danau Tendeung, dan 101 belokan atau kelokan dapat terlihat ketika air danau surut.
Rute ke Danau Tendetung
Danau Tendetung secara administrasi terletak di tiga desa, Kecamatan Totikum Selatan yaitu Desa Kanali, Desa Pelei dan Desa Tobungku.
Akses ke danau dapat melalui tiga desa ini, tergantung dari arah mana pengunjung datang. Dari arah Kecamatan Tinangkung Selatan seejauh 56 km dengan jarak tempuh sekitar 1 jam 42 menit, atau Kecamatan Totikum sejauh 64 km selama kurang lebih 1 jam 50 menit dari jantung Kota Salakan.
Katanya, jalur akan lebih mudah jika melalui Desa Pelei. Tetapi perbedaannya tidak signifikan, jalan hingga ke jalur treking masih rusak, dan berupa jalan ke kebun, penuh dengan kerikil gunung, tapi dapat dilalui kendaraan roda 4 jika kemarau atau jalan kering. Kebetulan, koresponden media ini berkunjung di musim hujan dengan melalui Desa Kanali.
Dari tengah desa setelah simpang 3, ada nama jalan ‘Jl Wisata Tendetung’. Dari titik ini menuju danau membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit (karena jalan yang rusak) untuk kemudian menemukan gapura yang sudah tua dan berlumut di sisi kiri jalan, agak ke dalam. Dari gapura hanya menempuh 2 menitan, untuk tiba di tepi danau.
Saat tiba, pengunjung akan disambut dengan pemandangan alam yang eksotis. Danau yang hijau, pepohononan yang subur mengitari danau, bangau putih, gazebo-gazebo tua dan lapuk di beberapa bagian, juga ada goa yang dapat ditelusur menggunakan rakit.
Tidak ada penjaga di sekitar danau, juga tiket masuk. Jika meminta warga mengantar atau ojek lokal, perlu merogoh saku Rp100 ribu per motor untuk sehari. Begitu juga jika meminta warga menemani, bisa menghabiskan Rp100 ribu, tergantung berapa banyak orang.
Pasar beroperasi setiap hari di Desa Kalumbatan, satu desa sebelum Desa Kanali. Warung makan, masjid, juga tersedia di desa. Hanya saja belum ada penginapan.
Tetapi jika ingin bermalam, atau akan melanjutkan ke destinasi lainnya, dapat difasilitasi oleh jasa travel yang bermukim di Desa Kalumbatan.
Reporter : Iker
Editor : Rifay