Dampelas. Belakangan namanya kembali mencuat setelah Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura menetapkan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Donggala itu menjadi kawasan penyangga pangan IKN (Ibu Kota Negara) baru.
Dampelas, bukan sekadar nama kecamatan di wilayah barat Kabupaten Donggala yang memiliki potensi sumber daya alam itu, ada sebuah identitas kultural yang memiliki perjalanan cukup panjang di lintasan sejarah peradaban. Minim publikasi dan promosilah yang menyebabkan orang luar memandang Dampelas hanya sekadar wilayah biasa saja.
Di balik itu, ada pergulatan di lintasan sejarah maritim dan menjadikannya menjadi penghubung antarbangsa di dunia. Dampelas pernah jadi lahan rebutan hegemoni antara Kerajaan Goa (Makassar) dengan VOC (Vereenigde Osttingische Compagnie) hingga bajak laut Mindanau.
Dalam naskah Perjanjian Bungaya antara VOC dengan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa) tahun 1667, Dampelas dan Balaesang, dua wilayah di Pantai Barat Sulawesi Tengah disebut keberadaannya. Secara tersirat pada pasal 17, Belanda memerintahkan agar Raja Goa melepaskan haknya terhadap sejumlah wilayah yang telah dirampas (disebut sejumlah nama) baik di Pantai Barat maupun di Pantai Timur Sulawesi yang dulunya masih milik Kerajaan Ternate, termasuk di antaranya Tolitoli dan Buol.
Apa yang membuat VOC atau kongsi dagang Belanda ini menganggap penting wilayah itu dimasukkan dalam Perjanjian Bungaya? Hal tersebut tidak lepas dari kekayaan emas dan hasil hutan yang melimpah di Balaesang dan Dampelas.
Secara geografis, kedua wilayah itu merupakan kawasan cukup penting berada di lintasan pelayaran dan perdagangan strategis Selat Makassar. Daerah persinggahan pelayaran dari rute Makassar menuju pulau-pulau di Laut Sulawesi menghubungkan Kepulauan Mindanau, Kepulauan Sulu dan sekitarnya.
Selain itu, wilayah Dampelas menjadi kawasan pertahanan keamanan laut yang cukup strategis ketika terjadi gangguan bajak laut. Kelak, pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1904 membagun menara api (menara suar) di Pulau Toguan untuk pengamanan dari gangguan bajak laut. Menara ini juga menjadi penanda batas atau gerbang utara antara Selat Makassar dengan Laut Sulawesi.
Pada abad ke-18 hingga awal abad ke 20, kawasan Selat Makassar terbilang rawan dan Dampelas dijadikan salah satu pangkalan atau sarang bajak laut asal Mindanau.
Bahkan dalam catatan sejarah Andi Mas’ulun Lamarauna (1942-2000) menyebut ketika Raja Banawa, Makagili melakukan pembangkangan bersama Tombolotutu dari Kerajaan Moutong (kelak ditetapkan Pahlawan Nasional) mengajak para bajak laut Mindanau di Dampelas untuk melakukan pengacauan. Tujuannya untuk mengganggu usaha pelayaran milik Belanda sekaligus bentuk perlawanan dan penolakan kekuasaan pemerintah kolonial.
Punya Leluhur di Mindanau
Secara kultural, hubungan orang Dampelas dengan Mindanau sudah berlangsung ratusan tahun silam, bahkan sebagian orang Dampelas memiliki leluhur dari Mindanau. Demikian sebaliknya. Bukti-bukti masih terlihat dari model pakaian adat, upacara perayaan syukuran, bahkan adanya kemiripan bahasa dan lainnya. Hingga tahun 1950-an pelayaran tradisional antara Desa Sabang-Mindanau terutama ke Pulau Tawi-Tawi, Phlipina Selatan masih terjalin.
Pelayaran timbal-balik itu mengakrabkan kedua belah pihak. Hal ini diakui Rustam Mohammad Papeo (1938-2019) salah satu putra A.O. Papeo (1909-1992) yang menjadi warga negara Philipina, saat berlayar ke Mindanau tahun 1949 melalui kapal layar dari Sabang bersama pamannya, Umar Papeo (1913-1963).
Sejarah Sulawesi Tegah mencatat Umar Papeo adalah laskar PIM (Pemudah Indonesia Merdeka) yang berjuang mempertahankan kemerdekaan RI di Donggala. Merantau ke Tawi-Tawi setelah melarikan diri dari penjara NICA di Palu tahun 1947. Pada tahun 1949 sempat kembali menemui keluarganya di Toboli sekaligus membawa ponakannya bernama Rustam melalui kapal laut dari Sabang, Dampelas.
Menariknya, di Dampelas ada nama tempat disebut Sitangke, sedangkan di Kepulauan Tawi-Tawi terdapat nama Sitangkai. Konon pemberian nama keduanya terkait hubungan antara orang Mindanau dengan orang Dampelas sejak lama.
Di saat Kerajaan Goa menguasai Dampelas hingga pemerintah Belanda, Dampelas memiliki sistem pemerintahan kemagauan (kerajaan) sendiri pemimpinnya beregelar madi’a atau mahadia, pusatnya di Talaga, tepi Danau Dampelas. Tetapi di satu sisi, sejak akhir abad ke-19, Dampelas dikuasai Kerajaan Banawa setelah melalui aneksasi. Secara politik kelak terjadi kawin mawin antara Raja Banawa dengan putri Magau Dampelas.
Atas dukungan pemerintah Hindia Belanda, secara administrasi Dampelas dimasukkan sebagai Banawa Utara dari batas Balaesang sampai Ogoamas (Sojol). Kelak dinamai Distrik Banawa Utara yang kemudian menjadi Kecamatan Dampelas Sojol (Damsol) ibu kota tetap di Sabang.
Pada tahun 1996 dimekarkan menjadi Kecamatan Sojol ibu kotanya di Balukang, sehingga kecamatan induk berganti nama Damsol menjadi Dampelas. Kemudian tahun 2000 Sojol memekarkan Kecamatan Sojol Utara ibu kotanya Ogoamas.
Saat ini desa-desa yang masuk Kecamatan Dampelas antara lain Sabang, Sioyong, Budi Mukti, Lembah Mukti, Karya Mukti, Parisang Agung, Kambayang, Ponggerang, Pani’i, Rerang, Long, Talaga dan Malonas.
Secara sosial kultural, menurut antropolog Universitas Tadulako, Hapri Ika Poigi (58 tahun), meskipun secara etnologi Dampelas tidak dimasukkan pada pengelompokan dalam 12 etnis di Sulawesi Tengah, hanya disebutkan sebagai sub etnis Kaili, tapi komunitas Dampelas mengelompokkan dirinya etnis tersendiri.
Indikatornya, kata Hapri, selain memiliki bahasa sendiri terpisah dari bahasa Kaili, juga memiliki tatanan adat istiadat secara turun temurun. Secara mitologi terdapat cerita asal mula manusia pertama penghuni Tanah Dampelas dipimpin Mahadiya, sosok manusia sakti dengan tujuh pengikut, kelak menyebar ke mana-mana.
Suatu ketika Mahadiya bertarung dengan pelaut ulung (Sawerigading) yang menyerbu daratan dengan kapal menerobos tepi pantai hingga menembus danau. Sejak itulah terbentuk muara danau yang terhubung dengan laut dinamai bamba hano, memiliki panorama alam sangat indah.
Selain itu, di Dampelas terdapat kearifan lokal untuk pengoatan tradisional disebut menembel taba’o, mongancul sa’ayang (upacara tolak bala), mompali hano (upacara keliling danau), nonto’i (upacara akil balik), rate tano (upacara sebelum tanam pada) dan lainnya.
“Karena itu orang Dampelas jelas merupakan kelompok etnis sendiri yang ada sejak lama dengan kekayaan budaya dan seni yang dimiliki,” kata Hapri beberapa waktu lalu.
Kata dosen kelahiran Sabang ini, Dampelas memiliki hubungan sendiri dengan bangsa-bangsa luar sejak beratus-ratus tahun lalu. Di antara buktinya berupa banyaknya temuan benda arkeologi berusia ratusan tahun berupa mangkok, piring, sendok, gelas dan berbagai peralatan rumah tangga buatan China.
Sebagian peninggalan purbakala saat ini disimpan di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Donggala. Sisanya masih banyak yang tersimpan di rumah-rumah penduduk di Desa Talaga. Diperkirakan buatan abad 13 dan 14.
Menurut Irwan Pangeran, salah satu putra Dampelas yang juga pemerhati budaya, sudah saatnya dibangun museum lokal khusus untuk menyimpan tinggalan purbakala yang ada di Dampelas. Meskipun benda-benda tersebut pernah ditempatkan di sebuah bangunan khusus, namun bangunannya sudah rusak karena tua.
Kini, dengan ditetapkan Dampelas jadi lumbung pangan IKN, sama halnya membuka kejayaan. Cuma saja zaman dan peruntukan yang berbeda. Tinggal masyarakat setempat memanfaatkan peluang usaha pertanian, perkebunan dan peternakan dengan mengintegrasikan pengembangan pariwisata Danau Dampelas dengan pesona bamba hano.
Penulis : Jamrin AB
Editor : Rifay