Dakwaan kepada Kepala KUPP Bunta Terbantahkan oleh Keterangan Sejumlah Saksi

oleh -
Jalannya sidang terhadap terdakwa Kepala KUPP Kelas III Bunta, Dean Granovic, di PN Palu, Selasa (27/12). (FOTO: MUCHSIN)

PALU – Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A PHI/Tipikor/Palu, menggelar sidang lanjutan terhadap Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Kelas III Bunta, Dean Granovic, Selasa (27/12).

Pada sidang yang keempat kalinya ini, majelis hakim yang diketuai Chairil Anwar itu mengagendakan pemeriksaan saksi mahkota dan ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Diketahui, Dean didakwa melakukan pemerasan, gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Pada dakwaan pertama, Dean didakwa melakukan pemerasan untuk pengurusan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) PT. AMS. Sementara dakwaan kedua, Dean diduga menerima gratifikasi berdasarkan bukti transfer dana dari Soehartono (saksi mahkota).

Namun berdasarkan keterangan Soehartono dalam persidangan, dana yang mengalir kepada Dean bukanlah gratifikasi, melainkan pinjaman Dean kepadanya.

Ia memberikan pinjaman kepada Dean karena ada hubungan pertemanan antara keduanya. Hal itu juga dibuktikan dengan adanya surat perjanjian antara keduanya.

Menurut Jabar Anurantha Djaafara, selaku Penasehat Hukum (PH) Dean, dalam surat perjanjian itu disepakati ada pinjaman sebesar Rp500 juta.

“Tapi kalau kita lihat dalam bentuk Pagu. Jadi itu diminta sedikit-sedikit, tidak sekaligus, dan pada saat dia ambil baru dihitung bunganya. Di dalam perjanjian ada bunga dan ada batas waktu,” jelasnya.

Saat persidangan berlangsung, pihaknya juga sudah mempertanyakan kepada saksi mengenai hubungan kliennya dengan saksi.

“Memang terbukti bahwa mereka ini (Dean dan Soehartono) memang berteman. Setiap Dean datang ke Jakarta selalu jalan-jalan ke kantor Soehartono,” ujarnya.

Pihaknya sendiri mempertanyakan alasan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwakan gratifikasi kepada kliennya.

“Kalau kita uraikan, ANI ini menyewa kapal kepada pemilik dan pemilik kapal menunjuk agen dan agen yang mengurus SPB, jadi tidak ada hubungan kerja langsung antara Soehartono dengan klien kami, karena PT ANI dan PT FAS hanya menyawa kapal tidak mencari agen kapal. Yang mecari agen kapal ada pemilik kapal,” ungkapnya.

Diketahui, bahwa Pak Soehartono  selaku direktur PT Fortino Artha Sejahtera (FAS) selaku Investor PT Aneka Nusantara Internasional (ANI).

Ia juga menguraikan fakta persidangan sebelumnya yang menghadirkan saksi dari PT. AMS.

“Terkait dakwaan Pasal 12 huruf e, klien kami diduga melakukan tindak pidana pemerasan terhadap PT AMS. Namun fakta di persidangan, saksi dari PT AMS, termasuk Jonny Nayoan, itu tidak pernah mereka menyatakan bahwa Dean memeras,” ungkapnya.

Sesuai kesaksian PT AMS, lanjut dia, mereka memberikan sejumlah uang kepada Dean karena kekhawatiran tidak dikeluarkannya SPB. Artinya, kata dia, Dean memang tidak pernah meminta, tapi inisiatif AMS yang memberikan.

Bicara khawatir, kata dia, berarti ada inisiatif dari si pemberi dan jika bicara pemerasan, maka tidak ada pula yang namanya pemberi, karena mereka korban.

“Tapi ini kenyataannya ada pemberi. Bahkan dalam persidangan dijelaskan oleh Jonny Nayoan bahwa pemberian itu berubah-ubah, mulai dari Rp5 juta, turun lagi menjadi Rp2,5 juta, berarti dia yang menentukan nilai. Kalau pemerasan artinya yang memera8s yang menentukan nilai uang yang harus diberikan,” katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, kewenangan klien (Dean) adalah mengeluarkan SPB.

“Tapi apakah SPB yang dikeluarkan itu bertentangan. Bahkan kami juga sempat pertanyakan kepada saksi dari staf KUPP, pernahkan ada dokumen lengkap tapi tidak dikeluarkan SPB-nya, mereka menjawab tidak. Demikian pula sebaliknya, pernahkan ada SPB yang dikeluarkan tapi dokumennya tidak lengkap, mereka juga menjawab tidak,” terangnya.

Pihaknya sendiri mempertanyakan kepada penegak hukum, karena dari sekian banyak pelabuhan yang ada di Sulteng, hanya Pelabuhan Bunta yang tiba-tiba dilakukan penggerebekan.

Terkait dakwaan TPPU, pihaknya menilai bahwa JPU harus membuktikan pasal 2 dan pasal 3, baru bisa ke TPPU.

“Dari dakwaan yang ada ini, kami menilai ada atensi yang kita tidak tahu siapa di belakangnya, ada kaitannya dengan politik dalam bisnis,” tegasnya.

Untuk itu, pada persidangan selanjutnya, pihaknya akan menghadirkan ahli pidana untuk menjelaskan peran dan keterkaitan kliennya dalam kasus yang didakwakan.

Dalam perkara ini, selain Jabar Anurantha Djaafara, Dean juga didampingi tiga penasehat hukum lainnya, yakni Yuyun, Mohamad Akbar dan Afdil Fitri Yadi.

Tim penasehat hukum menilai, kasus yang menimpa kliennya adalah fitnah yang dilakukan oleh salah satu perusahaan agen kapal.

Selain itu juga dinilai adanya rekayasa kasus pemerasan yang dikembangkan menjadi kasus penyuapan, agar mampu menjerat kilen mereka dan dilanjutkan ke tindak pidana korupsi yang bermuara ke TPPU yang notabene kekayaannya disita tanpa ditinjau dari tahun perolehan pejabat yang terjerat kasus.

Tim penasehat hukum berharap kepada majelis hakim agar mempertimbangkan dengan hati nurani atas dugaan rekayasa yang dibangun oleh mafia tambang.

Sebelumnya, Dean ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka pemerasan terkait pengurusan SPB PT. AMS berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Nomor : Print-01/P.2/Fd.1/07/2022 tanggal 06 Juli 2022. (RIFAY)