PALU- Sebanyak 6 perwakilan dari massa aksi tergabung dalam Front Advokat Rakyat Pasigala (FARP) bersama Forum Penyintas Layana, melakukan audiensi bersama Wakajati Sulteng Pipuk Firman Priyadi, Asintel Kejati Andi Suryanto di Ruang Bidang Intelejen, Kantor Kejati Sulteng, Jalan Samratulangi,Kota Palu, Senin (20/11).
Dalam audiensi tersebut, banyak hal disampaikan oleh perwakilan di antaranya dana loan pekerjaan proyek pembangunan infrastruktur oleh balai-balai dinilai bermasalah. Kemudian penanganan penyintas pasca lima tahun gempa, tsunami, likuefaksi belum tuntas menerima hak-haknya. Dan paling utama, terkait dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Pembangunan Sulteng (BPD) Sulteng dialokasikan kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng.
Oleh karena itu, kelompok penyintas ini meradang dengan mendatangi Kejati Sulteng.
Advokat Rakyat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP) Sulteng Agus Salim menyebutkan, tidak ada landasan hukum atas Institusi Kejaksaan Tinggi Sulteng melakukan permohonan dana CSR kepada BPD Sulteng, di antaranya untuk pengadaan meja kerja, gorden senilai Rp200 juta.
Lalu meja rapat besar, kursi, perangkat komputer, printer sebesar Rp254 juta, pengadaan 15 titik kamera, recorder CCTV, renovasi ruangan senilai Rp64.285 juta.
Kemudian 4 TV LED Samsung senilai Rp170 juta ,video tron Rp487,674 juta, totalnya Rp1,4 miliar.
“Saya kaget kok bisa Kejati meminta dana CSR,” tanya Agus Salim.
Ia menjelaskan,tidak sembarang dana CSR diajukan oleh masyarakat,tapi lebih parah Institusi pemerintah yang meminta.
“PP 74 pasal 40 Undang-undang Perseroan Terbatas diwajibkan kepada masyarakat rentan mendapat dana CSR,bukan diajukan proposal oleh Institusi terkait apalagi lembaga struktural seperti Kejati,” katanya.
Padahal ucap dia, masih banyak penyintas terdampak bencana gempa, tsunami dan likuefaksi masih tinggal di hunian sementara (Huntara) sudah tidak layak huni diantaranya Huntara Layana,Hutan Kota,Mamboro.
“Lebih baik dana CSR tersebut dialokasikan kepada mereka terdampak masih Luntang Lantung belum pasti mendapat kepastian hunian sebab terkendala alas hak,agar manfaatnya betul dirasakan langsung,”katanya.
Apalagi kata salahsatu penyintas Layana Abdul Azis, 2023 ini tahun terakhir bagi penyintas tinggal di Huntara Layana, sebab lokasi Huntara mau dipakai oleh pemilik tanah. Dan mereka penyintas harus segera angkat kaki.
“Sementara pemerintah hanya memberi janji-janji dan diminta bersabar,” katanya sambil menggebrak meja menahan emosi dan kesedihan memuncak.
Penyintas Hutan Kota Surtini menambahkan, tidak hanya huntara sudah tidak layak huni,tidak adanya kepastian dengan nasib penyintas,membuat banyak stres dan mengakhiri hidupnya dengan tragis.
Olehnya besar harapan penyintas kepada Kejati bisa berkolaborasi dengan advokat mereka, agar mencari solusi dana CSR bisa dialokasikan untuk skema membayar lahan lokasi pembangunan huntap bagi penyintas tidak memiliki alas hak atau Kartu Keluarga (KK) gendong.
Sementara Korlap, sekaligus Koordinator Penyintas Pasigala Raslin menyampaikan ada banyak proyek bernilai ratusan miliaran bermasalah dilaporkan kepada Kejati, tapi belum ada tindaklanjut dan progres penanganannya.
Olehnya dia meminta penyidik Kejati segera menindaklanjuti atas laporan mereka, dan menindaktegas bagi Kontraktor-kontraktor bermasalah, guna efek jera.
Hal tersebut juga ditambahkan Oleh advokat Agus Salim atas dana CSR sudah terealisasi agar Gubernur Sulteng, Kejati dan BPD Sulteng duduk bersama guna merumuskan penyaluran dana CSR dengan tidak melanggar regulasi atau hukum dengan membentuk forum CSR.
Sementara Wakajati Sulteng Pipuk mengatakan, semua disampaikan oleh perwakilan masa aksi, akan disampaikan kepada pimpinan tertinggi dalam hal ini Kajati Sulteng, untuk dicarikan solusi dan jalan keluar
Sebelum audiensi, masa aksi terlebih dahulu melakukan doa bersama bagi Palestina, atas aksi genosida dilakukan oleh zionis Israel.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG