PALU – Merebaknya wabah virus corona atau Covid-19 di Sulteng, tidak bisa jadi alasan pihak kepolisian untuk mengulur-ulur tindakan penertiban aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah hukumnya.
Hal ini dikatakan Pengamat Pertambangan di Sulteng, Syahrudin A. Douw, menyikapi maraknya aktivitas pengerukan emas secara ilegal di wilayah Sulteng.
Bahkan, kata dia, di tengah pandemi virus mematikan ini, aktivitas tersebut justru semakin massif dilakukan oleh oknum pemodal, baik di Kayubuko Kabupaten Parigi Moutong, di Poboya Kota Palu maupun di Dongi-Dongi Kabupaten Poso.
“Aparat harus menghentikan itu (PETI) secara paksa, jangan hanya formalitas. Dia pergi ke lapangan, satu minggu kemudian yang penting sudah diam, lalu aktif kembali. Ini kan ada kongkalingkong, institusi penegak hukum ternyata menjadikan hukum itu sebagai bisnis, tidak bisa seperti itu dong,” tegasnya.
Mantan Direktur Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng itu menambahkan, corona jangan jadi alasan pihak kepolisian untuk membiarkan aktivitas ilegal tersebut. Justru, kata dia, di tempat aktivitas PETI sangat rawan terjadi penyebaran virus, karena ada perkumpulan banyak orang.
“Mana yang lebih utama, keselamatan orang banyak atau membiarkan aktivitas itu. Sebab di sana ada kerumunan orang bekerja. Kita tahu, yang namanya ilegal, pasti pekerjanya tidak safety dari virus. Selain itu, di sana ada aktivitas melawan hukum, jadi sah sekali kalau aparat melakukan penertiban,” tegasnya.
Intinya, kata dia, PETI adalah aktivitas melawan undang-undang, juga membahayakan keselamatan publik.
“Karena mereka yang bekerja itu juga pasti bergaul di masyarakat,” katanya.
Ia menegaskan, jika memang Kapolda sebagai pimpinan institusi Polri tertinggi di daerah ini tidak mampu melakukan penindakan, maka sebaiknya dicopot atau mengundurkan diri saja.
“Buktinya isu teroris cepat sekali ditangani,” tekannya.
Ia bahkan mengatakan, jika aparat tidak mampu menghentikan aktivitas tersebut, maka ia akan menyerukan seruan ke masyarakat untuk sama-sama ikut menambang secara ilegal.
“Nyatanya kan cuma dibiarkan sama polisi,” katanya.
Di bagian lain, Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulteng, Edmond Leonardo Siahaan, memastikan, aktivitas PETI di Poboya masih berjalan. Begitu juga dengan daerah-daerah lain, termasuk di wilayah Kabupaten Banggai.
Ia mengatakan, Kapolda sendiri sudah berjanji menertibkan PETI di wilayah hukumnya, sambil menginisiasi penghijauan di Kota Palu.
“Ini mau dia sendiri, janji dia. Walaupun sebenarnya, hampir semua Kapolda baru itu, begitu juga bicaranya, sama saja. Begitu selesai dilantik pasti bicaranya soal PETI dan tambang-tambang lain merusak lingkungan,” ujarnya.
Sekarang, kata dia, menjadi momentum untuk Polda menertibkan semua PETI yang ada. Baginya, dengan tidak menertibkan PETI, justru Kapolda telah melanggar Maklumat Kapolri yang melarang orang berkumpul.
“Karena siapa yang bisa pantau kesehatan mereka, misalnya yang menambang di Bulan (Tojo Una-Una). Berkumpul dalam tenda sampai tiga orang, belum lagi di dalam lubang galian tanpa masker dan hanya mencuci tangan ala kadarnya, kemudian mereka juga turun belanja dan bertemu dengan pedagang dan masyarakat lain,” tuturnya.
Begitu juga halnya penambang di Poboya yang bisa saja bertemu dengan penambang lain di Dongi-Dongi dan sebaliknya.
“Jadi kalau pemerintah mengatakan bahwa pandemi akhir-akhir ini susah dipantau, ya karena seperti ini kondisinya,” tutup pria yang kesehariannya berprofesi sebagai pengacara itu.
Ia menyatakan, jika nantinya ada kasus positif virus corona yang berasal dari kalangan penambang ilegal, maka Kapolda-lah yang harus bertanggung jawab.
Ia menegaskan, Kapolda dan Gubernur sebagai pejabat berwenang untuk menutup semua aktivitas PETI selama-lamanya, tanpa tawar-menawar.
“Ingat, PETI ini juga selalu menjadi persoalan di setiap momen Pilkada. Kita pernah alami bagaimana pemilih yang berasal dari penambang ilegal Poboya begitu melonjak. Mereka turut memilih,” pungkasnya. (RIFAY)