‘Cor Kaki’ Titik Akhir Perjuangan Petani Danau Poso?

oleh -
Petani pinggiran danau Poso melakukan aksi cor kaki di depan kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, Selasa (24/5/2022). (FOTO : Media Alkhairaat.id/Faldi)

“Itu adalah lahan tempat kami mencari makan setiap hari hingga setiap tahun, banyak harapan kami gantungkan dari penghasilan di lahan itu termasuk harapan agar anak saya dapat selesai bersekolah meskipun hanya sampai Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)!”

Demikian ungkapan hati Mamah Rio, salah satu petani perempuan desa Meko yang ikut dalam aksi cor kaki di depan kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Selasa (24/5).

Volume suara mamah Rio terdengar pelan dan bergetar, kalah nyaring dengan suara kendaraan di kawasan tertib lalu lintas jalan Samratulangi, Kota Palu. Sedang sepuluh jarinya memegang erat poster bertuliskan ‘Kembalikan Siklus Normal Air Danau Poso’.

Dalam sela-sela wawancara, tokoh petani perempuan itu sesekali membetulkan ‘toru’ atau topi khas petani yang dipakainya, sambil melihat ke bawah memastikan campuran air, semen plus pasir mulai menenggelamkan mata kakinya pada aksi cor tersebut.

Aksi cor kaki itu dimaknai sebagai simbol perlawanan para petani terhadap PT Poso Energy. Sebab dinilai itu adalah salah satu cara yang mungkin dapat mengetuk nurani Cudy, sebagai Gubernur yang kerap dikenal getol berdiri bersama rakyat.

Mamah Rio, adalah satu dari sembilan petani yang datang ingin menemui Gubernur Sulteng Rusdy Mastura, mawakili 100 keluarga petani yang hingga saat ini menolak kompensasi ganti rugi lahan sawah dan kebun, yang terendam air Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso I di Desa Saojo, Kecamatan Pamona Utara, milik PT Poso Eenergy.

Seratusan petani yang diwakili suaranya itu adalah yang masih bertahan. Sedangkan petani lainnya sudah menyerah. Ada dengan kerelaannya menerima uang pengganti. Pun ada setengah terpaksa meninggalkan usahanya dengan uang tebusan.

Kehadiran PT Poso Energy perusahaan PLTA di wilayah itu, terus memicu konflik dengan warga setempat. Industri padat modal itu, perlahan dan pasti mulai mengubah tatanan hingga landskap budaya sekitar di Danau Poso.

Identitas Ikut Dikeruk

Tempat berbeda, Fredi (45) satu di antara tiga pegiat waya masapi di muara Danau Poso, yang masih bertahan menegaskan akan tetap memberikan perlawanan.

“Saya menghabiskan usia di sini tak semata karena mencari hidup. Di sini ada identitas orang tua dan kakek saya. Di sini, ada warisan yang harus saya jaga. Sudah tiga generasi kami di sini. Nanti anak saya generasi keempat akan meneruskan tradisi ini. Kami akan melawan, semampu dan sekuat tenaga yang kami punya,” ucap Frederick Kalengke (45) sambil mengeraskan rahangnya seolah terbentur pada beberapa alat berat yang terus mengeruk material dari dasar danau Poso.

Pekan ke empat Maret lalu, Fredi tengah memperbaiki alat tangkap sidat, sebuah wahana yang terbuat dari ratusan bilah bambu dan puluhan kayu bulat. Diamater depannya berkisar 25 hingga 35 meter. Semakin kebelakang bentuknya makin mengecil.

BACA JUGA :  Tambang Ilegal, Merkuri dan Dampak Buruknya untuk Kehidupan

Setiap sidat yang masuk akan tergiring menuju anyaman bambu berukuran kecil berfungsi sebagai perangkap. Caranya sangat tradisional, tapi hasilnya mengalahkan gaji pokok pejabat eselon I (setingkat sekda provinsi).

Itu tempat Fredi menghabiskan hari-harinya sejak dulu. Sejak anak-anak, remaja, dewasa hingga kini menjadi ayah dua putra. Itulah waya masapi. Sarana penangkapan sidat yang tak hanya berfungsi sebagai tumpuan ekonomi keluarga. Waya masapi adalah identitas budaya. Warisan turun temurun yang mengandung nilai-nilai filosofi agung.

Fredi menjelaskan, dalam hal kepemilikan, waya masapi tidak dimiliki perorangan. Tapi oleh komunitas masyarakat dengan bilangan ganjil. Pun, dalam pembuatannya setiap ikatan harus terdiri dari bilangan bambu yang ganjil. Misalnya, setiap ikatan terdiri dari 5, 7, 9 dan seterusnya. Kenapa ganjil? Artinya sekuat apa pun ikhtiar yang dilakukan manusia, pasti akan selalu mempunyai kekurangan. Maka, biarlah Tuhan yang menggenapi.

Waya masapi bukan sekadar alat untuk cari uang. Semua ada hitunganya ada artinya. Itu yang kita jaga,” ulasnya.

Ayah dua orang anak itu tidak terlalu antusias menjelaskan soal pendapatannya dari menangkap sidat. Soal pendapatan menurut dia, bisa didapat di tempat lain. Bumi Tentena masih yang penuh berkat menyediakan celah rejeki untuk sekadar mencari penghidupan. Tapi ini soal cara dia mempertahankan warisan leluhur yang harus dijaga sekuat dan semampu dia.

Pasar daging sidat/sogili di Tentena cenderung stabil antara Rp90 hingga Rp100 ribu per kg. Dengan perolehan minimal 15 kg x 90 ribu semalam bisa menghasilkan Rp1,3 juta. Namun Fredi tampak biasa saja menyebut nominal penghasilannya.

Ia tidak menonjolkan penghasilannya yang tinggi itu. Baginya, meneruskan usaha orang tua yang berusia ratusan tahun adalah tanggungjawab sejarah yang harus dipenuhinya. KIni hari-harinya selalu dilanda kerisauan. Kehadiran alat berat yang mengacak-acak dasar danau, cepat atau lambat memberikan dampak terhadap populasi sidat di Danau Poso.

Sekali lagi bukan soal penghasilan. Ancaman terhadap warisan budaya adalah yang paling ditakutkannya. Seperti yang sudah sering dialaminya. PT Poso Energy sudah sering mendekatinya untuk menawarkan ganti rugi.

Angka yang ditawarkan pun menurut Fredy seperti menganggap remeh. Orang dari luar Poso melihat tradisi wayamasapi dari sisi ekonomi. Mereka tidak melihat dari sudut pandang budaya. “Ini yang bahaya makanya harus ditolak,” tegasnya.

Warga Tentena di pesisir muara Danau Poso pun mengkhawatirkan kehadiran perusahaan PT Poso Energy. Mereka menilai, industri yang ekspansif  telah merendahkan harga diri masyarakat adat, menghilangkan entitas kebudayaan hingga justru mematikan kehidupan.

BACA JUGA :  Festival Tradisi Kehidupan, Ajang Merawat dan Mewariskan Tradisi Kebudayaan

Lemahnya mediasi

Selasa (24/5), aksi cor kaki berjalan sesuai agenda unjuk rasa. Keinginan petani yang ingin bertemu dengan orang nomor satu di Sulteng tak berhasil. Penyebabnya, sang gubernur kata Tenaga Ahli Ridha Saleh masih berada di ibu kota negara Jakarta untuk kepentingan daerah.

Unjuk rasa yang berakhir dengan aksi pembetonan kaki itu, merupakan tindak lanjut dari pertemuan yang sebelumnya sudah digelar awal Maret yang lalu, dalam rangkaian upaya mediasi antara petani dan pihak PT Poso Energy oleh pemerintah Provinsi Sulteng.

Tenaga Ahli Ridha Saleh mengaku terkejut dengan aduan para petani yang kembali datang menyambangi Gubernur hingga ke Palu. Sebab tidak sesuai dengan hasil upaya mediasi sebelumnya.

“makanya nanti kami akan koordinasikan kembali,” katanya.

Sebelum pertemuan pada Maret 2022 yang lalu itu, terhitung sudah tiga kali petani yang tergabung dalam Masyarakat Adat Danau Poso (MADP) dalam empat bulan sebelumnya melangsungkan rapat mediasi akibat dampak dari pembangunan PLTA I Poso, PT Poso Energy. Hasilnya tak kunjung membuat para petani puas.

Para petani menilai nominal yang ditawarkan PT.Poso Energy tidak sepadan dengan dampak kerusakan yang sudah ditimbulkan. Nilai kompensasi yang saat ini ditawarkan oleh pihak perusahaan senilai 10 kilogram beras per are (luasan 100 meter persegi), dinilai terlalu rendah dibandingkan tuntutan petani yang mencapai 40 kilogram beras per are.

Berdasarkan data Masyarakat Adat Danau Poso (MADP), hingga Maret masih terdapat sekitar 200 keluarga petani sawah di desa Meko, Toinasa, Buyumpondoli, Peura, Bancea, Pendolo dan Toinasa yang menghendaki anak perusahaan Kalla Grup itu membayar kompensasi per 100 meter persegi senilai Rp362 ribu untuk musim tanam 2020 dan Rp305 ribu untuk musim tanam 2021.

Olehnya itu, Inisiator Aliansi Penjaga Danau Poso, Lian Gogali menegaskan masalah kompensasi terhadap petani harus dihitung secara adil. Titik tolaknya dari kerugian petani, bukan kalkulasi perusahaan.

“karena baik Petani juga memiliki hitungan maupun informasi yang layak dalam menentukan kompensasi itu,” Pungkas Lian.

Spanduk bertuliskan ekosistem hilangkan budaya terbentang dipagar kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Selasa (24/5/2022). MAL/Muhammad Izfaldi

Respon PT.Poso Energy

Merespon pelbagai aksi yang digencarkan petani danau Poso, guna menuntut ganti rugi dampak dari PLTA I Poso, PT Poso Energy mengakui pihaknya belum menyelesaikan urusan ganti rugi lahan milik para petani di Desa Meko karena masih dalam proses.

Salah satu pejabat teras PT Poso Energy, Irma Suriani memastikan penanganan jangka pendek area yang terdampak pengembangan bendungan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) telah selesai 100 persen.

BACA JUGA :  Tambang Ilegal, Merusak Ekologi dan Merugikan Negara

“Terkecuali ganti rugi lahan dari petani-petani Desa Meko itu memang belum selesai karena masih berproses dalam penyaluran dan penerimaan biaya ganti rugi,” kata Irma melalui sambungan telepon dari Palu, Selasa.

Dia menjelaskan penanganan jangka pendek terhadap dampak pembangunan PLTA tersebut telah sesuai dengan beberapa hal menyangkut dasar ganti rugi lahan, yakni analisis data hidrologi dan klimatologi danau dan sungai di Poso tahun 1972 sampai 2019, studi peta topografi, peta tata guna lahan, serta peta batimetri Danau Poso.

Selanjutnya, pihaknya juga telah melakukan wawancara terhadap warga yang bermukim dan menggarap lahan di sepanjang Danau Poso, katanya. Selain itu, dokumentasi menggunakan pesawat tanpa awak (drone) dan pantauan citra satelit resolusi 50cm 2019-2022 juga telah dilakukan.

“Itu adalah data 79 warga Desa Meko yang saat ini dalam proses menerima biaya ganti rugi lahan akibat dampak dari bendungan itu; dan kalau ada data-data lain yang tersebar, kami tidak dapat memastikan sumber data itu,” katanya.

Selain itu, Irma menambahkan pihaknya memastikan sejauh ini tidak ada dampak dari pengembangan bendungan PLTA 1 di Desa Tonusu, Kabupaten Poso, sebagaimana yang disampaikan para pengunjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Selasa.

“Desa Tonusu, berdasarkan data kami, tidak ada area yang terdampak karena kami tetap mengacu pada lima butir poin yang di atas, untuk memastikan bahwa area itu betul-betul terdampak; dan pengunjuk rasa itu adalah petani Desa Tonusu di sana yang tidak terdampak,” katanya.

Hingga kini, menurut dia, PT Poso Energi sedang dalam tahap penyelesaian jangka panjang, sehingga kehadiran PLTA akan berdampak positif bagi kelangsungan hidup masyarakat setempat.

“Jadi, semua yang terselesaikan itu berdasarkan data serta warga yang bisa meyakinkan kami bahwa lahan mereka betul terdampak, bukan hanya pengakuan sepihak saja. Tim kami bukan jalan sendiri tapi ada PPL; ada aparat desa, aparat kecamatan, dan tripika,” ujarnya.

Pihak PT Poso Energy turut membantah adanya tekanan yang dilakukan untuk memaksa warga menerima biaya kompensasi ganti rugi.

“Tidak ada tekanan apapun, bagaiman caranya kami mau menekan ada 900an warga dari 16 desa terdampak dan erakhir tersisa 79 orang meko, kalau ada tekanan dari kami bisa-bisa kami di demo 900an orng tersebut. Tim kami bukan jalan sendiri tapi ada PPL, ada aparat desa dan aparat kecamatan serta tripika, dan Poso energy bukan sehari duahari di poso tapi bisa sampai puluhan tahun, jd tentu selalu berusaha merangkul walau ada saja pihak lain yang merasa warga dirugikan,” pungkasnya. (Faldi/Amanda*)