Cerdas Menyukuri Nikmat

oleh -
Ilustrasi sujud syukur. (Youtube/fokus sindunata)

Jangan pernah meragukan kasih sayang Allah terhadap kita. Lihat saja tak pernah ada detik yang kita lalui tanpa nikmat yangg selalu dicurahkanNya. Masalahnya kemudian adalah “seberapa banyak nikmat yang diberikan kepada kita yang sudah kita syukuri?”

Andai saja semua nikmat yang tidak kita syukuri dicabut dan ditarik kembali dari diri kita, kira-kira nikmat yang manakah yang masih akan tersisa dari kita?

Orang tak menyukuri kesehatannya, kesehatannya dicabut. Orang yang tak mensyukuri harta yang dimiliki, hartanya dimusnahkan. Orang yang tidak mensyukuri pekerjaannya, dijadikan orang tak punya pekerjaan. Orang yang tidak mensyukuri keluarganya, kuarganya diceraiberaikan, dan selanjutnya.

Kita terkadang suka mendapatkan kebaikan yang tidak terduga dan biasa menyikapinya dengan perasaan penuh bahagia. Ungkapan “Alhamdulillah” sering terlontar dari mulut sebagai ekspresi rasa syukur yang sangat dalam karena kebaikan tersebut dianggap sebagai “nikmat” dari Allah SWT.

Namun, sikap kita terkadang biasa-biasa saja ketika memperoleh kebaikan rutin, seperti mendapat gaji bulanan, pekanan, atau bisa makan dan minum tiap hari. Hal itu, mungkin karena kita menganggap kebaikan rutin tersebut “bukan nikmat”, sehingga jarang dari mulut terucap ungkapan “Alhamdulillah” ketika memperolehnya.

Dua fenomena di atas menunjukkan ada yang salah dalam memahami nikmat Allah. Lantas apa yang disebut nikmat Allah itu? Apakah hanya rezeki yang datang tidak terduga? Atau ada yang lainnya?

Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan surah at-Takatsur, menukil satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Rasulallah SAW pernah bersama-sama Abu Bakar dan Umar memakan satu biji kurma dan meminum seteguk air.

Kemudian Beliau bersabda, “Ini (sebiji kurma dan seteguk air) adalah bagian dari nikmat yang kamu akan dimintai pertanggung jawaban darinya.”

Sebulir nasi yang kita makan, seteguk air yang kita minum, badan kita yang sehat, dan waktu luang yang kita lalui, semua itu termasuk nikmat Allah. Tidak hanya itu, sejumput udara yang kita hirup setiap saat dan iman yang senantiasa hadir di dalam hati, itu pun termasuk nikmat Allah.

Jadi, yang mesti disyukuri bukan hanya re zeki yang tidak terduga, tapi semua kebaikan yang diberikan Allah, baik besar maupun kecil, baik yang bersifat materiel maupun non materiel. Karena semua itu termasuk nikmat Allah. Dan jika nikmat tersebut senantiasa disyukuri, setidaknya dengan mengucapkan “Alhamdulillah” pada saat memperolehnya dan setelah melakukannya, maka ia akan mendatangkan tambahan kebaikan (berkah).

Oleh karena itu, kita harus melatih bahwa perasaan senang itu bukan karena apa yang kita lakukan. Nikmat itu semuanya datang dari Allah. Jangan dikaitkan dengan hebatnya ibadah dan ikhtiar kita. Jika Allah belum memberikan apa yang kita inginkan, bersyukurlah. Karena apa yang Allah tidak berikan sekarang, bukan berarti selama-lamanya Allah tidak berikan.

Walaupun apa yang kita inginkan tidak terwujud, tetap saja Allah mewujudkan keinginan itu dalam bentuk yang lain. Banyak hal dalam hidup ini yang terkadang tidak cocok dengan keinginan kita, tapi kita masih bisa menghirup udara yang diberikan oleh-Nya. Menikmati apa yang kita makan sehari-hari. Masih berpakaian, masih ditutupi aib kita dan masih bisa beribadah. Inilah bukti bahwa Allah menyayangi kita. Lalu, apanya yang tidak cocok?

Hal yang kita anggap tidak cocok seringkali itulah yang baik menurut Allah dan dapat menaikkan derajat kita. Semua yang kita inginkan seringkali lebih dekat kepada nafsu, karena sangat pendeknya pengetahuan kita tentang yang baik. Sedangkan yang baik menurut Allah pastilah cocok dengan iman.

Orang yang selalu dipuji cederung mabuk dan lupa diri, bahkan menipu diri. Tapi ketika mendapat cobaan berupa cacian dari orang, Allah tahu kalau inilah yang membuat jebolnya penjara ia ingin dipuji orang. Nafsu tidak senang dengan hinaan. Tapi menurut iman, hinaan itu terkadang akan membuat kita menjadi lebih baik lagi.

Jadi, kalau kita masih senang dengan pujian yang datang, dan kecewa dengan apa yang tidak ada, berarti kita masih bersikap kekanak-kanakan. Karena kita masih memanjakan nafsu, dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat lain yang telah diberikan Allah. Nikmat yang tanpa batas, tanpa pamrih. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)