Cegah Perkawinan Dini

oleh -

Oleh: Mohamad Fadlian Syah

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pengertian perkawinan menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selanjutnya dalam pasal 7 ayat 1 disebutkan Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 khususnya dalam pasal 7 menjadi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 dimana terjadi perubahan dalam pasal 7 ayat 1 menjadi Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun. Perubahan undang-undang ini berdasarkan pada Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017 yang salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut yaitu “Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi.” Dalam pertimbangan yang sama juga disebutkan pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah dibandingkan pria, maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tersebut, maka perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, dengan kata lain jika perkawinan dilakukan tidak mencapai umur 19 tahun maka terjadi perkawinan dini.

Seiring berjalannya penerapan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, data terbaru dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021 menginformasikan bahwa di Provinsi Sulawesi Tengah diantara penduduk yang berumur 10-18 tahun, sebanyak 1,27 persen berstatus kawin, hal ini menunjukkan masih terjadinya perkawinan dini. Jika dilihat berdasarkan wilayah, maka wilayah perkotaan menunjukkan perkawinan dini sebesar 0,62 persen, nilai ini lebih rendah 0,94 persen poin dibandingkan dengan wilayah perdesaan yang nilainya sebesar 1,56 persen. Namun, jika dibandingkan dengan data Susenas Maret 2020, maka perkawinan dini di Sulawesi Tengah mengalami penurunan sebesar 0,57 persen poin. Untuk wilayah perkotaan dan perdesaan juga mengalami penurunan masing-masing sebesar 0,82 persen poin dan 0,45 persen poin. Lebih tingginya persentase perkawinan dini di wilayah perdesaan dimungkinkan disebabkan karena wilayah perdesaan memiliki keterbatasan aksesibilitas informasi, pendidikan, dan transportasi dibandingkan wilayah perkotaan. Sebaliknya untuk wilayah perkotaan, perkawinan dini bisa jadi disebabkan gaya berpacaran anak-anak yang terlalu berlebihan sehingga berisiko terhadap terjadinya kehamilan, ditambah lagi dengan pengaruh informasi dan role model di media sosial yang tidak difilter terlebih dahulu.

Kemudian perkawinan dini jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, maka di tahun 2021 dari total penduduk laki-laki yang berusia 10-18 tahun, maka sebanyak 0,25 persennya berstatus kawin, sedangkan dari total penduduk perempuan untuk kelompok umur yang sama, maka sebanyak 2,30 persen berstatus kawin. Nilai ini jika dibandingkan dengan tahun 2020, maka baik laki-laki maupun perempuan masing-masing mengalami penurunan sebesar 0,13 persen poin dan 1,09 persen poin.

Cukup tingginya perkawinan dini harus menjadi perhatian kita bersama, karena perkawinan dini dapat memberikan dampak yang kurang baik untuk kesehatan fisik dan mental si anak. Dikutip dari halodocdotcom, dampak kesehatan mental akibat perkawinan dini diantaranya kehamilan di usia remaja berpotensi meningkatkan risiko kesehatan pada wanita dan bayi. Ini karena sebenarnya tubuh belum siap untuk hamil dan melahirkan. Wanita yang masih muda masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Jika ia hamil, maka pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya akan terganggu. Biasanya kondisi yang muncul akibat hamil di usia muda yaitu: tekanan darah tinggi, anemia, bayi lahir premature dan dan berat badan lahir rendah (BBLR) serta resiko kematian saat persalinan karena tubuhnya belum matang dan siap secara fisik saat melahirkan. Untuk dampak kesehatan mental biasanya sering menyebabkan kesehatan mental wanita terganggu. Ancaman yang sering terjadi adalah wanita muda rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan mereka belum tahu bagaimana cara terbebas dari situasi tersebut. Belum adanya kesiapan mental pasangan yang menikah dalam menjalani bahtera rumah tangga menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi. Selain istri, anak dalam pernikahan dini juga berisiko menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Untuk mencegah terjadinya perkawinan dini, maka dibutuhkan peran serta semua pihak termasuk anak itu sendiri diantaranya meningkatkan akses dan kualitas pendidikan bagi anak-anak, sehingga mereka dapat menjadi agen perubahan dalam mencegah perkawinan dini bukan hanya untuk diri mereka sendiri namun juga untuk anak-anak yang lain. Mendidik orang tua dan komunitasnya serta menggerakknya sehingga dapat menciptakan lingkungan keluarga dan komunitas yang baik, karena bagaimanapun juga peran orang tua sangat menentukan mengenai keputusan perkawinan anak. Kemudian, perlunya peningkatan sinergitas antara peraturan pemerintah dengan budaya lokal daerah dalam memberikan pendidikan anak-anak mengenai pentingnya pencegahan perkawinan dini.

***Penulis adalah ASN BPS Provinsi Sulawesi Tengah