OLEH: Moh. Ahlis Djirimu*
Pada 16 Juni 2023, Pemerintah Provinsi Sulteng memasuki dua tahun pelaksanaan pembangunan di bawah kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih untuk periode 2021-2024.
Periode tersebut merupakan pelaksanaan RPJMD Keempat Tahun 2021-2016. Untuk menilai capaian kinerja pembangunan, Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 menyediakan Indikator kinerja pembangunan provinsi Sulteng yang mencakup juga indikator kinerja visi Pemerintah Provinsi Sulteng Tahun 2021-2024 meliputi 18 Indikator Kinerja Utama (IKU) dan 256 Indikator Kinerja Kunci (IKK).
Di dalam IKU terdapat enam Indikator Kinerja Visi Pemerintahan berjalan yang dominan merupakan indikator ekonomi makro meliputi IPM, angka kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka, laju pertumbuhan ekonomi (LPE), ketimpangan distribusi pendapatan, indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH).
Indikator pertama adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selama periode 2021-2023, IPM Sulteng untuk pertama kali mencapai kategori dari sedang menjadi “tinggi”, meningkat dari 69,79 poin pada 2021 menjadi 70,28 poin pada 2022 atau terjadi peningkatan 0,7 persen.
Capaian tersebut melampaui target IPM dalam RPJMD Provinsi Sulteng Tahun 2021-2026 masing-masing 69,68 poin pada 2021 dan 69,64 poin pada 2022. IPM Sulteng tersebut berada di bawah IPM Kota Palu pada dua tahun yakni 2021 dan 2022 periode RPJMD keempat.
Prestasi ini merupakan investasi sumberdaya manusia selama bertahun-tahun dari pemerintahan sebelumnya yang dilanjutkan oleh pemerintahan aktual.
Tingginya IPM tersebut didukung oleh pendapatan perkapita yang sangat tinggi pada dua daerah pertambangan yakni pendapatan perkapita Kabupaten Morowali mencapai sekitar Rp500,- juta pertahun dan Kabupaten Morowali Utara sebesar Rp100,- juta. Pendapatan perkapita ini dikonversi lagi menjadi Pendapatan Perkapita Disesuaikan (Purchasing Power Parity) sebagai ukuran daya beli masyarakat.
Sayangnya, beli penduduk Sulteng secara keseluruhan, lebih cepat tergerus ketimbang daya beli penduduk Indonesia. Proporsi pendapatan perempuan dalam perekonomian Sulteng meningkat dari 31,06 persen pada 2021 menjadi 31,11 persen pada 2022 bila merujuk pada Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Data IDG Tahun 2023 belum tersedia.
Selain itu, wujud tingginya pendapatan perkapita belum benar-benar diterima oleh masyarakat Morowali dan Morowali Utara, sehingga wujudnya menjadi semu. Sedangkan rata-rata lama sekolah (RLS), belum berubah mencapai 8,89 tahun baik pada 2021 maupun 2022.
Stagnasi RLS ini sebesar merupakan masalah dalam strategi pendidikan di Sulteng. Kinerja derajat kesehatan meningkat walaupun berhadapan dengan kualitas degradasi kesehatan lingkungan termasuk lingkungan kerja di area kawasan industri dan lingkungan hidup di sekitar area kawasan industri tersebut.
Indikator kedua adalah angka kemiskinan menurun dari 13 persen pada 2021 menjadi 12,30 persen Tahun 2022.
Angka kemiskinan di Tahun 2023 mengalami kenaikan pada Maret 2023 terhadap September 2022 mencapai 12,41 persen atau jumlah penduduk miskin bertambah 5.950 jiwa. Angka ini masih di atas target 2023 yakni 10,84 persen dan target penurunan angka kemiskinan belum tercapai.
Ketidaktercapaian target penurunan angka kemiskinan dan kenaikan angka kemiskinan ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, Pemerintah Provinsi Sulteng belum mempunyai konsep dan strategi yang spesifik maupun tematik, serta spasial dalam mengatasi kemiskinan.
Strategi spesifik menyangkut konsep dasar original, bukan replikasi dari program pengentasan kemiskinan sebelumnya. Bilapun strateginya bernama Gerak Cepat Pengentasan Kemiskinan Berdaya, maka orientasinya langsung direct attack poverty, bukan melalui perantara dan/atau konversi ke pengadaan barang dan hewan yang menimbulkan mentalitas keuntungan proyek dan moral hazard. Strategi tematik menfokuskan pada kemiskinan apa? Kemiskinan ekstrim, kemiskinan stunting, kemiskinan kepemilikan lahan, kemiskinan stunting, kemiskinan difabel, kemiskinan perempuan.
Kemiskinan spasial meliputi konsentrasi kemiskinan pada wilayah mana: di Kabupaten Donggala sebagai angka tertinggi kemiskinannya pada wilayah Sojol Utara, Pinembani, Rio Pakava, Banawa Raya. Artinya, di wilayah terpencil.
Demikian pula di Sigi terkonsentrasi pada wilayah terpencil: Palolo, Marawola Barat, Pipikoro, Kulawi Selatan, Lindu, Nokilalaki.
Di Banggai Kepulauan terkonsentrasi pada Bulagi Raya. Di Banggai Laut terkonsentrasi pada wilayah kepulauan perbatasan.
Di wilayah Tojo Una-Una terkonsentrasi pada Ulubongka, Ampana Tete dan enam kecamatan kepulauan.
Kebijakan yang ditempuh cenderung sporadis. Dokumen Rencana Penanggulangan Kemiskinan (RPKD) Periode 2021-2026 belum terjabarkan dengan baik dalam rencana aksi tahunan (RAT) tanpa pemahaman implementasi.
Setiap tahun dilakukan diskusi kelompok terpumpun (DKT) kemiskinan, namun hasilnya hanyalah poverty outlook atauhanyapresentasi kuliah 3 sistem kredit semester (SKS) capaian tanpa rencana kerja tindak lanjut (RKTL). Tidak ada agenda aksi kerjasama antara daerah antara 13 kabupaten/kota dan Provinsi Sulteng terutama kemiskinan di perbatasan antar daerah.
Kedua, kualitas kelembagaan yang mengurus kemiskinan minim terutama pada sisi koordinasi. Kegiatannya hanya berupa diskusi kelompok terpumpun (FGD), asal terlaksana kegiatan Bappeda, dan narasumber, panitia mendapat uang lelah. Ketiga, waktu implementasi kurang tepat.
Program perlindungan sosial melalui pemberikan Rp1,- juta per kepala keluarga diberikan saat jelang Idul Fitri selama dua tahun ini, sama saja mendorong masyarakat konsumtif untuk memberikan pakaian baru, makanan, hagala, tanpa proyeksi tabungan dan pendampingan bagi edukasi. Capaian kemiskinan ini merupakan sisi capaian negatif.
Indikator berikutnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 3,75 persen pada 2021 menurun menjadi 3 persen pada 2022, lalu meningkat lagi menjadi 3,49 persen pada rilis data Februari 2023. TPT pada Februari 2023, berada di atas target RPJMD tingkat pengangguran terbuka di tahun tersebut mencapai 2,84 persen. Hal ini berkontribusi negatif pada kinerja perekonomian makro Sulteng.
Indikator selanjutnya, Laju Pertumbuhan Ekonomi Sulteng mencapai 13,18 persen berada di atas laju pertumbuhan nasional pada periode RPJMD keempat. Namun, hal ini menyimpan masalah: jebakan pertumbuhan, ilusi pertumbuhan ekonomi.
PDRB perkapita ADHB Provinsi Sulteng berada di atas PDB perkapita nasional karena didukung oleh sumbangan tiga daerah yakni Kabupaten Banggai, Morowali dan Morowali Utara.
Pendekatan diagnostics growth oleh Ricardo Hausmann, Dani Rodrick, Andres Velasco menemukan bahwa baik pertumbuhan nasional maupun daerah-daerah yang pembangunannya mengandalkan industri manufaktur logam dasar dan pertambangan dan penggalian cenderung menghadapi masalah struktural atau istilah mereka the most binding constraint yaitu regulasi tumpang tindih dan relatif tertutup, rendahnya kualitas institusi terutama pendekatan koordinasi kebijakan, rendahnya ketersediaan Tenaga Kerja Trampil, infrastruktur yang belum sepenuhnya mampu membangun konektivitas.
Hal ini berarti, SDA di Sulteng dominan menjadi kutukan SDA (resource curse) ketimbang manfaat.
Ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi Sulteng yang ditunjukkan oleh Koefisien Gini. Penurunan Koefisien Gini Sulteng dari 0,326 poin pada 2021 menjadi 0,305 poin pada 2022 dan 0,304 poin pada 2023 masih berada di atas target distribusi pendapatan Provinsi Sulteng dalam RPJMD Keempat yakni 0,24 poin pada 2022 dan 0,22 poin pada 2023.
Penurunan koefisien Gini ini semata-mata karena melemahnya pendapatan 40 persen kelompok termiskin yang laju dan sebaliknya laju kecepatan kenaikan 20 persen penduduk terkaya. Sayangnya, ILKH tersedia Tahun 2021 mencapai 77,5 poin. Sedangkan IKLH Tahun 2022 hingga 2026 tersedia target semata.
Pada akhirnya, Pemerintah Provinsi Sulteng fokus saja membenahi kegagalan pencapaian pada kinerja menurunkan kemiskinan, kinerja menurunkan angka pengangguran, serta mengubah strategi pembangunan pada sektor pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perikanan pada daerah-daerah yang secara potensial merupakan lumbung pangan tetapi konsentrasi kemiskinan dan pengangguran tinggi.
Terutama pada kenaikan kemiskinan di perdesaan bersinergi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa membenahi kekeliruan teknis data desa agar desa sangat tertinggal dan tertinggal berkurang dari 266 desa menjadi 151 desa, desa mandiri meningkat dari 42 desa menjadi 132 desa melampaui target RPJMD sebanyak 120 desa.
Kerjasama antar Dinas Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) Provinsi Sulteng dan DPMD kabupaten bersinergi mengedukasi aparat kabupaten dan desa agar peningkatan status desa merupakan jalan keluar dari kemiskinan desa, melalui reward naik kelas status desa ketimbang bertahan dengan dana afirmasi.
*Penulis adalah Pengajar FEB-Untad dan Regional Expert Wilayah Sulawesi Kemenkeu