OLEH : Haikal Zaki*
Dalam beberapa bulan terakhir, seruan #KaburAjaDulu menggema di media sosial, mencerminkan kekecewaan generasi muda terhadap kondisi ketenagakerjaan di tanah air.
Bagi sebagian, itu hanya tagar. Namun bagi jutaan pekerja, itu adalah jeritan hati atas ketidakpastian masa depan.
Di tengah badai pemutusan hubungan kerja, beban biaya hidup yang makin menanjak, serta kebijakan yang dianggap merugikan, muncul satu pertanyaan fundamental: ke mana arah pembangunan bangsa ini membawa para buruhnya?
Di saat yang sama, kita mengusung visi besar: Indonesia Emas 2045. Sebuah cita-cita luhur untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju, adil, dan sejahtera tepat satu abad setelah merdeka.
Visi ini bertumpu pada empat pilar: pembangunan manusia, ekonomi berkelanjutan, pemerataan wilayah, dan ketahanan nasional. Namun, semua ini akan tinggal mimpi jika denyut nadi buruh -penopang utama produktivitas nasional- tidak mendapat tempat yang layak dalam skenario pembangunan.
Isu perburuhan hari ini bukan sekadar soal upah atau jaminan kerja. Ini adalah soal keadilan struktural.
UU Cipta Kerja yang melonggarkan outsourcing, potensi kontrak kerja tak terbatas, dan formula upah minimum yang bisa ditekan; Permenaker yang membuka peluang pemotongan upah; hingga pemangkasan anggaran negara -semuanya memberi sinyal bahwa pekerja masih dianggap sebagai beban, bukan sebagai mitra strategis.
Di sinilah persatuan nasional memainkan peran kunci. Persatuan bukan hanya soal menjaga stabilitas politik atau harmoni sosial. Dalam konteks ketenagakerjaan, persatuan berarti:
- Membangun dialog sosial tripartit yang bermakna: antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja.
- Merancang kebijakan yang menjadikan upah layak dan jaminan sosial sebagai investasi dalam pembangunan manusia.
- Menyiapkan reskilling massal agar buruh tidak tersisih oleh teknologi dan otomatisasi.
- Mewujudkan keadilan antar wilayah dan sektor, termasuk bagi pekerja informal dan buruh di daerah.
Persatuan nasional adalah fondasi dari semua transformasi yang dibutuhkan untuk mewujudkan Indonesia Emas.
Jika kita ingin mendayagunakan bonus demografi, jika kita ingin ekonomi tumbuh berkeadilan, maka buruh harus menjadi subjek utama pembangunan -bukan hanya objek kebijakan.
Di Hari Buruh Internasional, mari kita kembali kepada ruh kebangsaan: bahwa tidak ada Indonesia Emas tanpa buruh yang sejahtera.
Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang kuat secara militer atau ekonomi, melainkan bangsa yang menjaga martabat pekerja, dari pabrik hingga pelabuhan, dari tambang hingga ruang digital.
Kita tidak bisa membangun masa depan dengan mengabaikan yang bekerja hari ini. Inilah saatnya menjadikan visi besar bukan sekadar slogan, melainkan kontrak sosial baru antara negara dan rakyat pekerjanya.
Indonesia Emas harus dimulai dari buruh yang emas -yang dihargai, dilindungi, dan diajak berjalan bersama.
*Penulis adalah Presiden Mahasiswa Universitas Alkhairaat Palu