OLEH: Khusnudin Tri Subhi, S.Tr.Stat*
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia telah mengekspor nikel seberat 166,33 ribu ton sepanjang tahun 2021. Angka tersebut meningkat drastis sebesar 78,85 persen jika dibandingkan dengan tahun 2020 yang hanya mencapai 93,1 ribu ton.
Di sisi lain, nilainya tumbuh 60,06 persen menjadi 1,27 miliar US$ pada tahun 2021 dari tahun sebelumnya sebesar 794,5 juta US$. Negara tujuan ekspor nikel Indonesia terbesar pada tahun 2021 adalah Jepang, yang volumenya mencapai 83,16 ribu ton dengan nilai 956,05 juta US$. Ekspor terbesar selanjutnya diikuti oleh Tiongkok seberat 82,36 ribu ton dengan total nlai 311,64 juta US$.
Indonesia dianggap sebagai negara dengan pemilik cadangan nikel tebesar di dunia pada tahun 2019 dan bahkan merupakan produsen nikel teebesar di dunia sampai dengan tahun 2021.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, Indonesia memiliki cadangan nikel 72 juta ton atau senilai 52 persen cadangan nikel di dunia. Meskipun begitu, nikel merupakan komoditi yang tidak terbarukan dan akan habis apabila terus ditambang. Nikel adalah material masa depan, Indonesia merasa perlu untuk menjaga kesinambungan untuk masa depan Indonesia.
Sangat disayangkan nikel yang dieskpor ke luar negeri merupakan bijih nikel Nickel Pig Iron (NPI) serta matter. Hal ini dikarenakan jumlah fasilitas pengolahan hasil tambang nikel atau yang disebut dengan smelter masih sedikit. Smelter ini dapat meningkatkan kandungan nikel dan menambah nilai jual nikel atau yang disebut dengan multiplier effect. Bijih nikel yang belum dilakukan hilirisasi memiliki nilai jual ekspor yang rendah. Maka dari itu, pemerintah melakukan pelarangan ekspor bijh nikel.
Pelarangan ekspor bijih nikel dipatenkan dengan terbitnya eraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengusahaan Tambang Mineral dan Batubara.
Hal ini sejalan dengan larangan Presiden Jokowi dalam ekspor nikel dan memfokuskan penggunaan nikel untuk keperluan dalam negeri. Tebatasnya sumber daya alam nikel menjadi perhatian pemerintah meskipun sumber daya ini sangat tinggi permintaannya.
Sebelumnya Indonesia pernah menerapkan kebijakan serupa dalam larangan ekspor hasil tambang nikel pada tahun 2017. Akan tetapi kebijakan tersebut dinilai tidak relevan karena menurunnya produksi nikel dan lambatnya pembangunan smelter untuk mengolah biji nikel.
Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam larangan ekpsor biji nikel karena Indonesia biss kehilangan penerimaan negara. Di sisi lain, Indonesia dapat berkesempatan memperoleh peluang lebih banyak penerimaan dengan investasi pembangunan smelter dalam negeri.
Namun, larangan ekspor bijih nikel yang dilakukan oleh Indonesia ini berakibat kurangnya pasokan nikel global dan menimbulkan konflik dagang di dunia. Bahkan, Indonesia saat ini memperoleh gugatan yang dilayangkan oleh Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) dan proses investigasinya masih berlanjut sampai tahun ini.
Pada 21 November 2022, Indonesia mengalami kekalahan gugatan sengketa larangan ekspor nikel yang diputuskan pada hasil final putusan panel WTO di Dispute Settlement Body (DSB). Kebijakan larangan ekspor dan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral nikel terbukti melanggar ketentuan WTO. Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dalam sengketa yang terdaftar pada dispute settlement (DS) 592 tersebut.
Beberapa regulasi atau peraturan perundang-undangan Indonesia yang dinilai melanggar ketentuan WTO, antara lain UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Indonesia memiliki risiko mengalami kesulitan dalam melakukan akses pasar ekspor atas produk turunan dari nikel.
Di sisi lain, pada tahun 2021 menunjukkan bahwa investasi di indsutri pertambangan kembali meningkat dibandingkan tahun 2020, yang menunjukkan bahwa larangan ekspor tidak menghambat alur investasi dikarenakan hasil tambang tetap digunakan dalam negeri.
Dengan dilakukannya hilirisasi nikel dianggap memeberikan pengaruh positif terhadap perkeonomian negara. Hilirisasi dapat menyelamatkan komoditas bijih nikel dari gejolak harga. Hal ini dikarenakan hilirisasi mengembangkan produk menjadi bahan dasar atau bahan pelengkap tahapan akhir dalam proses industri.
Jika tanpa hilirisasi dalam negeri maka negara akan selalu bergantung dari impor bahan baku yang tidak efektif.
Memasuki tahun 2022 terdapat kabar baik bagi Indonesia. Menurut BPS, nilai volume ekspor Indonesia pada periode Januari-Juli 2022 mencapai 364,48 ribu ton. Volume ekspor ini mengalami kenaikan 6 kali lipat atau 520 persen dibandingkan dengan Volume ekspor pada bulan Januri-Juli 2021.
Dari Januari hingga Juli 2022, ekspor nikel Indonesia mencapai 2,97 miliar dolar AS atau Rp44,5 triliun, meningkat 449,66 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Lonjakan kenaikan ini dilansir karena dilakukannya hilirisasi nikel yang mulai dilakukan sejak awal tahun 2021 dan semakin intens hingga akhir-akhir ini.
Menurut data BPS, Tiongkok menjadi tujuan utama ekspor nikel Indonesia. Selama Januari-Juli 2022, Indonesia mengekspor 289,82 ribu ton nikel ke China, yang merupakan 79,52 persen dari total ekspor nikel negara Indonesia.
Melonjaknya nilai ekspor nikel merupakan imbas multiplier effect dari adanya hilirisasi nikel di Indonesia. Seiring pemberlakuan pelarangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor komoditas turunan nikel meningkat signifikan sejak 2020.
Negara memiliki peran dominan dalam menentukan level hilirisasi. Pemerintah perlu komitmen yang kuat dalam menjalankan hilirisasi. Pemerintah perlu mendukung pengembangan sumber daya manusia dalam penguasaan teknologi, khususnya dalam pembuatan mesin dan mempercepat proses pembangunan smelter dalam negeri.
Meskipun sampai saat ini kebijakan hilirisasi nikel dengan melarang ekspor bijih nikel ke luar negeri sebelumnya mendapatkan banyak penolakan dari berbagai negara termasuk Uni Eropa.
Meski kalah dalam gugatan oleh Uni Eropa dalam kebijakan hilirisasi, Indonesia tidak akan menyerah dan siap mengajukan banding atas keputusan itu.
Namun yang pasti pelarangan ekspor raw material atau mineral mentah sebagai upaya Indonesia menciptakan dekarbonisasi atas industri yang ramah lingkungan dan menciptakan multiplier effect.
Selanjutnya hilirisasi juga bisa dikembankan oleh Indonesia dalam menyiapkan dan mengembangkan hilirisasi kekayaan alam lainnya seperti bauksit, timah dan tembaga.
*Penulis adalah ASN BPS Kabupaten Sigi