PALU- Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Sulawesi Tengah menegaskan pentingnya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat di Sulawesi Tengah.
Momentum tersebut dimanfaatkan untuk mendorong pemastian hak-hak masyarakat adat melalui pendokumentasian wilayah adat dan kearifan lokal harus diakui serta dilindungi oleh negara.
Kepala BRWA Sulawesi Tengah, Joisman Tanduru menuturkan, hal tersebt sejalan dengan mandat UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) yang menegaskan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan identitas budaya serta hak masyarakat tradisional.
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara, melainkan milik masyarakat adat sebagai subjek hukum, ” ujar Joisman di Palu, Sabtu (9/8).
Joisman menjelasakan, pengakuan tersebut juga didukung oleh kebijakan sektoral seperti Pasal 63 UU Nomor 32/2009 dan Permen LHK Nomor 347/2019 yang mengakui kearifan lokal sebagai warisan budaya untuk pengelolaan lingkungan.
Joisman mengatakan, berdasarkan data di miliki pihaknya hingga kini baru ada empat kabupaten memiliki Peraturan Daerah (Perda) terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, yakni: (1) Perda Kabupaten Morowali Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana, (2) Perda Kabupaten Sigi Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sigi, (3) Perda Kabupaten Tojo Una-Una Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana, dan (4) Perda Kabupaten Banggai Kepulauan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Banggai Kepulauan.
Di tingkat provinsi, kata Joisman pihaknya bersama Koalisi CSO (KARAMHA) tengah mendorong lahirnya Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat untuk wilayah adat yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi.
“Regulasi ini diharapkan mengisi kekosongan aturan di tingkat provinsi sekaligus menjadi panduan bagi kabupaten untuk membuat regulasi serupa,” katanya.
Joisman mengatakan, minimnya jumlah perda saat ini menunjukkan tantangan besar dalam mendapatkan pengakuan pemerintah daerah, sementara konflik tenurial dan penyingkiran hak masyarakat adat tetap tinggi akibat ketiadaan regulasi yang jelas.
“Peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia juga menjadi ajakan memperkuat komitmen perlindungan hak masyarakat adat dari berbagai ancaman kebijakan,” katanya.
Joisman mengatakan, implementasi PP Nomor 64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah dan pembentukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) melalui Perpres Nomor 5 Tahun 2025 dalam praktiknya turut menyasar wilayah adat masuk kawasan hutan versi negara, alih-alih menindak pelaku besar perusakan hutan.
“Kondisi ini berpotensi memperburuk penyingkiran dan kriminalisasi masyarakat adat,” tegasnya.
Olehnya kata Joisman pihaknya mempercepat pemastian hak-hak masyarakat adat melalui dua langkah utama. Pertama, pendokumentasian wilayah adat dan kearifan lokal dengan mengumpulkan data serta bukti otentik diverifikasi langsung di komunitas adat sesuai ketentuan registrasi BRWA.
“Hingga kini, tercatat 94 wilayah adat di 12 kabupaten dan 1 kota dengan luas sekitar 1 juta hektare, dan data ini terus berkembang. Kedua, advokasi kebijakan bersama pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain untuk mendorong terbitnya regulasi pengakuan wilayah adat hingga penetapan hutan adat,” tuturnya.
Lebih lanjut kata Joisman, sejumlah kasus menunjukkan betapa mendesaknya pengakuan ini. Di Taman Nasional Lore Lindu, konflik terus terjadi dengan komunitas telah lama bermukim sebelum penetapan kawasan hutan. Di wilayah adat Nggolo di Pegunungan Kamalisi (Palu–Donggala), kebun dan pemukiman masuk kawasan hutan serta tumpang tindih izin pertambangan. Di Morowali Utara, masyarakat adat Tau Taa Wana Burangas berkonflik dengan korporasi, sementara di Kabupaten Poso, komunitas Wanua Watutau bersengketa dengan Bank Tanah dan mengalami kriminalisasi.
“Dengan langkah-langkah ini, diharapkan pengakuan dan perlindungan wilayah adat di Sulawesi Tengah dapat terwujud lebih cepat,” tekannya.
Joisman berharap, momentum peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia 2025 menjadi pemicu kolaborasi, penguatan pendokumentasian, dan kemauan politik semua pihak untuk berpihak pada masyarakat adat, sehingga mereka dapat mengelola wilayahnya secara berdaulat tanpa diskriminasi, penyingkiran, perampasan, atau kriminalisasi, serta menikmati kemerdekaan dan keadilan sosial sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.**