PALU – Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL), lewat pendanaan Kementerian Ekonomi dan Pengembangan kerja sama Pemerintah Federal Jerman (BMZ) mengintegrasikan kepedulian masyarakat menjadi resolusi konflik pada kawasan hutan yang ada disejumlah wilayah Sulawesi Tengah.
Integrasi dalam bentuk pelatihan yang berlangsung tiga hari sejak Senin 15 sampai dengan 17 November, di salah satu hotel Kota Palu, menyasar kelompok-kelompok pengelola kawasan hutan adat maupun desa, beserta jajaran pemerintahan daerah setempat.
Menurut Kepala Seksi Tenurial dan Hutan Adat Balai PSKL Sulawesi, Arief Budi Setiawan, integrasi itu merupakan salah satu bagian dari programme III, yakni project Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bersama Pemerintah Federal Jerman lewat Kreditanstalt für Wiederaufbau/ Entwicklungsbank (KfW).
“Kita fokuskan ini pada wilayah Sigi di Kecamatan Dolo Selatan, karena pada wilayah terdapat hutan lindung yang sudah dikeluarkan izinnya menjadi hutan desa. Itu penting untuk kita jaga bersama, agar sedini mungkin kita dapat mengurangi potensi bencana alam,” kata Arief Budi Setiawan di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (18/11).
Arief mengatakan rasa kepedulian yang dimiliki masyarakat terhadap kawasan hutan yang ada saat ini, adalah resolusi yang paling tepat guna meredam sekaligus menyudahi konflik-konflik yang timbul pada kawasan hutan lindung maupun non lindung.
Ia mengakui hingga kini dalam pengelolaan kawasan hutan lindung, seringkali timbul konflik yang tidak diinginkan, antara pengelola dan masyarakat yang bermukim di batas-batas kawasan hutan, juga ada konflik yang terjadi itu merupakan internal masyarkat. Hanya saja sumber yang menjadi konflik berada di dalam kawasan hutan lindung.
Bahkan pada beberapa kasus, pihak pengelola harus berurusan dengan pemegang izin lainnya yang ada didalam kawasan hutan lindung.
Karena itu pihaknya mencoba mencarikan solusinya, dan menyamakan persepsi di projek ini. Menurutnya, selama ini masih menggunakan metode mediasi, tentu dengan payung hukum yang jelas.
“Dan pasti kita tidak melibatkan mediator yang memiliki kepentingan di situ, dan selama ini pernah ada mediasi kita tidak berjalan dan mengarah pada penegakan hukum sebab sampai menyerang petugas,” katanya.
Menurutnya, hingga saat ini motif dari perambahan hutan itu macam-macam. Ada yang untuk kehidupan sehari-hari, ada yang murni untuk ekonominya, dan itu pelakunya juga ada dari tokoh masyarakat, kelompok masyarakat, organisasi tertentu, ada juga perseorangan.
Di tempat yang sama, Ketua Pengelola Hutan Desa Kecamatan Dolo Selatan, Arfan menyebutkan luasan 10 heaktre telah menjadi daerah perambahan, sejak diubahnya kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan desa diwilayah Desa Bulubete, Desa Rogo dan Desa Baluase, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, dari total luasnya 364 hektare.
Ia menjelaskan hal itu semakin mengkhawatirkan, sebab perambahan hutan untuk menjadi lahan perkebunan pada kawasan itu terus terjadi hingga saat ini. Ditambah lagi dengan keberadaan pemukiman suku pedalaman, pada kawasan hutan desa itu.
“Khususnya masyarakat Desa Bulubete itu saat ini sudah berkurang aktivitasnya di sana, karena memang sosialisasi kita lakukan berjalan. Hanya saja oleh desa-desa tetangga yang saat ini sangat gencar sekali membuka lahan baru di sana, dan ini mengkhawatirkan,” jelas Arfan, Rabu sore, di Kota Palu.
Ia merinci tantangan yang dimiliki pengelola hutan hingga beberapa tahun kedepan, ialah ada pada masyarakat sekitar kawasan hutan desa. Sebab kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestrian hutan dinilai kurang, padahal dampak dari perambahan hutan terus terjadi hingga saat ini.
Sementara konsultan konflik Agraria Global Mata Angin, Alqaf Afandi mengatakan dalam pelatihan para peserta dari Pengelola Hutan Desa dirancang dapat mengidentivikasi segala bentuk-bentuk kepentingan yang masuk, terlibat dalam perambahan hutan desa secara personal maupun non personal agar memperhatikan azas-azas perlindungan.
“Sebab maupun saat ini dalam kawasan hutan lindung itu telah diterbitkan izin bagi pengelola hutan desa. Faktanya dalam kawasan hutan lindung itu sudah ada juga masyarakat dengan kondisi turun temurunnya bertani dengan cara pindah-pindah,” katanya.
Ia pun menegaskan bahwa dalam penyelesaian konflik yang timbul pada kawasan hutan desa itu, tidak hanya pengelola hutan desa yang menjadi aktor utama penyelesaiannya, melainkan juga pihak pemerintah kabupaten setempat harus menjadi bagian dari penyelesaian konflik.
“Bisa juga dari dinas pertanian, peternakan, karena dalam tata kelola hutan desa nantinya akan banyak model-model pemanfaatan yang bisa atau yang menjadi tawaran solusi penyelesaian konflik yang timbul dalam kawasan hutan desa itu,” tegasnya.
Reporter: Faldi/Editor: Nanang