DONGGALA – Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah (BPKW) XVIII Sulteng-Sulbar, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI menggelar pelatihan peniupan Lalove dari hidung.
Kegiatan yang dilaksanakan selama 3 hari, sejak tanggal 1 hingga 3 September itu berlangsung di Dusun III, Desa Povelua, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala.
Pelaksana Program Smiet atau yang biasa dikenal Smiet Lalove, mengatakan, kegiatan itu merupakan Program Bantuan Dana Fasilitasi Kebudaayan yang dilaksanakan BPKW XVIII Sulteng-Sulbar.
“Kami mengusulkan program ini ke kementerian dengan harapan akan ada tanggapan serius dari pemerintah akan pentingnya upaya penyelamatan Lalove di tiup dari hidung ini,” ujarnya.
Menurutnya, lalove adalah salah satu instrument yang terbuat dari bambu vo yang hanya terdapat di puncak gunung.
“Suaranya akan nyaring dapat terdengar antar lembah dan sekitar gunung. Seperti itu kondisi yang mereka ceritakan dan bahkan saat musim padi menguning di gunung, suara itu layaknya konser lalove di alam,” bebernya.
Smiet menambahkan, lalove juga merupakan salah satu alat musik tertua di dunia dan terunik yang memiliki 3 lubang nada. Dua lubang di bawah dan satu di atas.
“Cara memainkan dan meniupnya pun sangat sulit, butuh keterampilan khusus. Lalove dari hidung tidak sekadar unik, namun sakral bagi petani di pegunungan Kamalisi Suku Unde, salah satunya Puntana bagian dari Povelua, tempat tertinggi ladang petani,” tuturnya.
Di wilayah itu, kata dia, sejak 300 tahun lalu telah menggunakan lalove sebagai alat untuk menjaga hubungan manusia dengan alam, khususnya padi ladang.
Salah satu pelatih, Hajir, kepada Smiet, mengatakan, dari nenek sampai ke ayahnya menggunakan lalove sebagai komunikasi penting dan bernilai sakral untuk menghormati alam.
“Mereka tidak boleh betutur dengan bahasa sehari-hari di ladang,” terangnya.
Selain itu, lanjut dia, sambil menjaga padi berbunga dan berbuah, mereka hanya boleh meniup Lalove untuk ungkapan kesyukuran dan kekaguman pada padinya yang tumbuh berbulir bagus, tidak berpenyakit dan tidak terserang hama.
Saat ini, kata dia, di ladang-ladang sudah jarang melakukan tradisi tua ini. Pegunungan sepi dari bunyi lalove.
Untuk itu, kata Smiet, pelatihan ini sengaja dibuat pada malam hari, agar mereka merasa percaya diri dan dibuat seperti seni pertunjukan, agar mereka merasakan bagaimana rasanya tampil di depan umum.
Aulia (73), salah satu asisten pelatih, mengatakan, saat ini hasil padi di ladang-ladang mereka sudah kurang bagus, bahkan sering gagal panen karena banyak hama.
Dengan pelatihan ini, pihaknya berharap tradisi itu akan terus ada. Selaku penerus tradisi ini, pihaknya sangat berterima kasih pada pemerintah yang sudah memberikan kesempatan dan mengingatkan akan pentingnya menghidupkan budaya leluhur.
“Kami akan berusaha mengajarkan anak kami sampai bisa memainkan dan membuatnya agar kelak mereka melanjutkan tradisi kami. Sebab ini berhubungan erat dengan sumber kehidupan kami di ladang,” katanya.
Selain itu, lanjut dia, lalove juga dapat menjadi media untuk mengobati perasaan orang yang sakit. Banyak syair yang dapat dimainkan yang berceritra tentang masa lalu yang romantis.
“Pesertanya sebanyak 7 orang, yang terdiri dari murid SMP dan SD di Povelua. Ini dimaksudkan agar peniupan lalove dari hidung ini menjadi Instrument musik andalan para generasi Povelua dan tentunya mereka akan bangga karena bisa mewarisi budaya leluhur,” katanya.
Salah satu peserta pelatihan menyatakan rasa haru. Setelah pelatihan ini, mereka merasa percaya diri dan bangga memiliki kebudayan yang mungkin hanya ada satu-satunya di dunia.
Reporter : Hamid
Editor : Rifay