PALU – Penyuluh Hukum Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI), Albert Imanuel Tangdialla, menyampaikan bahwa persoalan perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI) masih tergolong tinggi, terutama terkait proses penempatan dan perlakuan saat bekerja di negara tujuan. Hal tersebut ia sampaikan saat menjadi narasumber dalam kegiatan Kick Off Program Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Berbasis Komunitas (P2MIBK) di Kabupaten Donggala, Senin (24/11).
Dalam paparannya, Albert menegaskan bahwa kepala desa memiliki peran penting sebagai penanggung jawab dan sumber informasi bagi warga yang ingin bekerja di luar negeri. Ia juga mengimbau masyarakat agar berhati-hati terhadap agen perekrutan yang tidak memiliki izin resmi dari pemerintah.
“Sampai hari ini, negara-negara di Timur Tengah belum membuka kesempatan bagi pekerja asing masuk bekerja di sana,” tegasnya.
Albert turut memaparkan data pekerja migran asal Sulawesi Tengah dari Januari hingga November 2025 yang mencapai 371 orang. Adapun lima sektor pekerjaan terbanyak yang diminati masyarakat, yaitu pekerja domestik (42 orang), asisten perawat (32 orang), pekerja rumah tangga (31 orang), pembantu (60 orang), penjaga lansia (34 orang), serta pekerjaan lainnya sebanyak 172 orang.
Menurutnya, hak-hak pekerja migran masih belum sepenuhnya terpenuhi. Kondisi ini dipengaruhi oleh minimnya pengawasan, rendahnya pemahaman masyarakat, serta kurangnya akses terhadap informasi resmi mengenai mekanisme penempatan dan perlindungan.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Donggala, Ilham M. Yunus, menegaskan pentingnya masyarakat memperoleh informasi yang jelas mengenai agen penempatan yang legal dan terdaftar.
“Penting bagi masyarakat untuk memastikan legalitas agen dan mendapatkan informasi yang benar, terutama dalam menghadapi tantangan berupa informasi palsu dan disinformasi yang dapat merugikan calon pekerja migran,” ujarnya.

