Boneoge, yang Tersisa dari Pertarungan Bajak Laut di Pompaira’a

oleh -
Panorama senja di kawasan pantai Boneoge. (FOTO: Johar A. Malik)

Boneoge. Sebuah perkampungan di arah barat Tanjung Karang Donggala.

Boneoge terdiri dari dua suku kata; bone berarti pasir, dan oge yang berarti besar atau luas. Secara harfiah, Boneoge dapat dimaknai pasir yang luas. Hal ini sesuai luasnya hamparan pasir di sepanjang pantai kampung itu.

Perkampungan itu beradu pandang dengan Selat Makassar. Lautan luas tak bertepi di arah barat itu selalu mempertontonkan matahari terbenam setiap senja.

Deburan ombak menjadi musik alam yang syahdu, pengiring irama kehidupan sepanjang waktu. Pesona alamnya jadi penopang wisata, dihiasi pohon-pohon ketapang, waru dan kelapa yang meliuk-liuk diterpa angin pantai.

Perahu-perahu nelayan berjejeran rapi setiap pulang melaut. Rumah-rumah penduduk tertata rapi mengikuti alur jalan yang membelah kampung itu.

*

Sebelum kawasan pantai Boneoge dihuni penduduk seperti saat ini, tempat itu masih digenangi air laut. Penduduk tinggal di lereng-lereng bukit yang datar. Tempatnya masih terisolir, tidak ada jalan tembus menuju Kota Donggala dan sekitarnya. Bila ingin bepergian ke tempat lain atau masuk ke negeri itu, mesti berlayar dengan perahu.

Meskipun terisolasi, negeri itu sudah ramai. Penduduknya bekerja sebagai peladang di lereng-lereng bukit dan sebagian jadi nelayan. Di antara mereka, terdapat pendekar yang sering berlayar mencari nafkah ke negeri-negeri pesisir utara maupun ke arah selatan.

BACA JUGA :  Tiga Paslon Pilkada Kota Palu Bebas Narkoba

Pendekar-pendekar itu saling berhubungan dengan pendekar dari negeri luar. Mereka sering bertemu, termasuk kelompok bajak laut dari berbagai negeri, kadang bersembunyi di tempat ini ketika terjadi perseteruan di lautan.

Konon, suatu masa, ada dua pendekar yang dikenal memiliki kesaktian. Keduanya bersaudara, masing-masing bernama Lamparama dan Lamparaga.

Memiliki kemampuan ilmu kanuragan sehingga disegani oleh lawan-lawannya. Setiap ada serangan bajak laut yang datang ke negeri itu, pasti dihadapi hingga tuntas.

Serangan terakhir yang dihadapi paling seru. Lamparama dan Lamparaga memimpin perlawanan saat diserang sekelompok pendekar bajak laut dari Laut Sulawesi. Mereka bertarung habis-habisan mengakibatkan pertumpahan darah yang mengerikan.

Pemicu awal hanya kesalahpahaman. Pada saat kelompok pendekar bajak laut baru saja turun ke daratan terlihat tergesa-gesa. Ketika mereka ditanya oleh tuan negeri Lamparama dan Lamparaga, sang tamu tidak bisa menjelaskan secara rinci maksud kedatangannya. Akibatnya, terjadi pertengkaran yang berujung adu fisik.

BACA JUGA :  Milad ke-94 Alkhairaat, Haerolah: Sarana Mengaktualisasikan Nilai Perjuangan Guru Tua

Kedua kelompok pendekar adu kesaktian. Saling serang tak ada yang mengalah selama beberapa hari hingga memakan banyak korban. Darah yang tumpah merebakkan bau amis di sepanjang lereng bukit. Mayat bergelimpangan. Pertarugan berakhir ketika seluruh pendekar yang menyerang dari laut itu tewas.

Sejak peristiwa pertumpahan darah itu, maka tempat kejadian dinamai Pompaira’a. Dalam bahasa Kaili dialek Unde berarti darah yang dibersihkan dari pakaian.

Nama Pompaira’a menggambarkan suasana di mana banyak orang yang luka sehingga kewalahan membersihkan darah yang melekat di pakaian.

*

Waktu yang terus berjalan tanpa disadari ikut mengubah bentangan alam di Boneoge. Air laut yang semula bertepi di kaki bukit tempat tinggal penduduk Pompaira’a, mulai surut menimbulkan daratan yang luas.

Melihat kondisi daratan pasir yang timbul di sepanjang pantai, penduduk Pompara’a menyebut lokasi baru itu dengan nama Boneoge.

BACA JUGA :  Milad Alkhairaat Steril dari Muatan Politik

Secara perlahan dan bertahap, penduduk di bukit-bukit mulai pindah ke dataran baru di dekat pantai. Tempat itu ditanami pohon-pohon kelapa sambil membangun rumah tempat tinggal. Kampung lama di Pompaira’a ditinggalkan.

Sejak itu peradaban manusia mulai maju dengan aturan adat dan agama yang tertib. Pengaruh modernisasi dari luar masuk ke Boneoge saat kolonial Belanda menjalankan pemerintahan di Donggala dengan dukungan pihak Kerajaan Banawa.

Akses jalan darat dari Boneoge mulai dibuka menghubungkan Kota Donggala dan sekitarnya hingga ke Kota Palu.

Aturan hukum negara secara menyeluruh diberlakukan di seluruh wilayah pemerintahan Hindia Belanda.

Penduduk tidak boleh berindak semena-mena, setiap pelanggaran mendapat hukuman yang ditentukan negara.

Tahun demi tahun berlalu hingga suatu masa dibentuk pemerintahan berskala kampung. Kepala kampung pertama adalah Latoto, tokoh berpengaruh di masa itu.

Dari status kampung menjadi desa dipimpin kepala desa hingga kemudian berstatus kelurahan, sampai saat ini.

Penulis : Jamrin AB
Editor : Rifay