PALU – Dewan Pers dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggelar workshop peran pers dalam pencegahan paham radikalisme dan terorisme untuk mewujudkan Indonesia harmoni, di Palu, Jumat (23/12).

Workshop ini dihadiri para jurnalis yang dalam organisasi konstituen Dewan Pers seperti Aliansi Jurnalis Independen, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Asosiasi Media Siber Indonesia, Serikat Media Siber Indonesia, Jaringan Media Siber Indonesia, PWI, dan beberapa jurnalis lainnya.

Plt. Ketua Dewan Pers, M. Agung Dharmajaya, menjelaskan, kegiatan ini telah berlangsung sebelumnya di tiga daerah, Surabaya, Lombok dan Semarang.

“Dan hari ini di kita laksanakan di Kota Palu. Dasarnya, sinergitas kementerian dan lembaga. Kegiatan kali ini adalah sinergitas dengan BNPT, dan sebetulnya ini sudah berlangsung sejak 2019, tetapi dua tahun pandemi sehingga menjadi pasif,” kata Agung.

Dia berharap, workshop ini dapat memberikan hal baru bagi para jurnalis di Kota Palu, karena akan mendapat materi dari para ahli.

“Semoga hari ini kita mendapat sesuatu yang utuh tentang peran pers dalam pencegahan paham radikalisme dan terorisme untuk mewujudkan Indonesia harmoni,” harap jebolan Lemhannas ini.

Selain Agung, turut hadir sebagai pembicara dalam workshop tersebut Iwan Setiawan, penyintas bom Kuningan 2004 Jakarta, Ninik Rahayu selaku anggota Dewan Pers dan Kolonel (L) Setyo Pranowo dari BNPT.

Dalam materinya, Agung menjelaskan bahwa media harus dapat menjaga kepentingan publik.

“Jurnalis itu jika mengetahui ada tindakan terorisme, harus dicegah supaya tidak terjadi,” jelasnya.

Agung mengingatkan agar jurnalis tidak memberitakan secara rinci cara-cara teroris membuat alat-alat teror seperti cara membuat bom.

“Tanggung jawab jurnalis, harus dapat dipercaya, tidak berbohong dan dapat memberikan informasi yang akurat. Informasi itu boleh salah, tapi berita tidak boleh salah,” tegasnya.

Agung menambahkan, pedoman liputan ini menjadi bagian penting dalam rangka pencegahan paham radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Anggota Dewan Pers, Ninik Rahayu, menjelaskan, aksi terorisme itu berpotensi melibatkan perempuan.

“Maka jurnalis harus dapat memahami inside kenapa perempuan dilibatkan dalam aksi-aksi terorisme dan kekerasan,” harapnya.

Dalam konteks ekstremisme terorisme, kata Ninik Rahayu, bagaimana perempuan diposisikan tidak setara di ruang publik, di situ perempuan menjadi rentan terpapar. Dan karena memang perempuan mudah diperdaya, apalagi dengan modus suami istri.

Sementara itu, penyintas bom Kuningan, Iwan Setiawan berkesempatan memberikan testimoni atas pengalaman yang pernah ia alami.

Iwan Setiawan yang sebelumnya bekerja di salah satu bank di Jakarta itu, sedang membonceng Halila, istrinya yang sedang hamil 8 bulan. Tiba-tiba, mobil pick-up berwarna putih meledak persis di depan Kedubes Australia pada pukul 10.30 WIB persis di dekat Iwan dan Halila.

“Saya teriak, Astagfirullah… mama… mama tidak apa-apa?. Saya sambil merangkak mencari keberadaan istri saja,” kisah Iwan Setiawan.

“Istri saya melihat mata kanan penuh darah,” tambahnya.

Iwan melanjutkan, dengan sisa tenaga, istrinya meminta tolong orang mengantar suaminya itu ke rumah sakit, karena terluka parah. Iwan dibawa ke Rumah Sakit MMC. Celakanya, pihak rumah sakit meminta jaminan, untuk dapat merawatnya.

“Beruntung ada beberapa orang karyawan hotel yang bisa menjaminkan saya, barulah saya dirawat,” cerita Iwan Setiawan. RIFAY