DONGGALA – Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sulawesi Tengah, Tenny C Soriton, bersama tim Advokasi Penggerakkan dan Informasi (Adpin), melakukan kunjungan ke Desa Ongulara, Kecamatan Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, pada akhir pekan lalu. Kunjungan ini bertujuan untuk memberikan sosialisasi mengenai bahaya stunting dan pernikahan anak kepada masyarakat setempat.
Tenny menjelaskan, stunting menjadi masalah serius yang mengintai anak-anak di pelosok daerah, termasuk di Desa Ongulara. Desa Ongulara, yang terletak di bantaran Sungai Surumana, termasuk wilayah yang cukup terpencil dan memiliki tingkat kerentanannya terhadap masalah stunting yang cukup tinggi. Salah satu faktor penyebab utama stunting di daerah ini adalah kekurangan gizi yang optimal, pola asuh yang kurang tepat, serta pernikahan usia dini.
Ia menekankan pentingnya perencanaan hidup yang matang bagi para remaja, khususnya terkait usia ideal untuk menikah, agar terhindar dari masalah kesehatan, ekonomi, dan kelahiran anak stunting.
“Pernikahan di usia anak dapat menyebabkan dampak negatif yang besar, baik bagi pasangan muda maupun anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Stunting bisa dicegah dengan perencanaan yang baik, dimulai dari memilih usia yang tepat untuk menikah dan membangun keluarga,” ungkap Tenny.
Ia menyarankan usia ideal untuk perempuan menikah adalah 21 tahun, dan untuk laki-laki 25 tahun, karena pada usia tersebut seseorang dianggap cukup matang secara fisik, emosional, dan ekonomi.
Selain itu, Koordinator Program Manager Satgas Percepatan Penurunan Stunting, Try Nur Ekawati Lukman menjelaskan bahwa mencegah stunting juga bisa dilakukan dengan memastikan asupan gizi yang baik sejak masa remaja, selama kehamilan, serta pada dua tahun pertama kehidupan anak. Memberikan ASI eksklusif, menjaga kebersihan, dan rutin memeriksakan anak ke posyandu juga merupakan langkah-langkah penting dalam upaya pencegahan stunting.
Meskipun upaya pencegahan stunting sudah mulai dilakukan, kondisi di Desa Ongulara masih cukup sulit. Menurut Mario, seorang Pendeta di desa tersebut, warga Ongulara kesulitan mendapatkan akses layanan kesehatan, termasuk posyandu.
“Kami di Ongulara paling jarang mendapatkan layanan kesehatan. Posyandu pun tidak sampai ke dusun kami,” keluh Mario.
Lebih lanjut, masalah budaya adat juga menjadi tantangan besar dalam mengurangi pernikahan dini di desa tersebut. Tokoh adat masih memegang peranan penting dalam mengatur pernikahan, bahkan terkadang tanpa memperhatikan usia ideal untuk menikah.
Hal ini menyebabkan terjadinya pernikahan dini yang tidak jarang berujung pada berbagai masalah sosial dan kesehatan.
Untuk menjangkau desa yang terpencil ini, tim BKKBN Sulawesi Tengah menempuh perjalanan panjang selama tujuh setengah jam dari Kota Palu menuju Desa Watatu, kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan transportasi air tradisional, berupa rakit dari rotan, untuk menyeberangi Sungai Surumana menuju Dusun Pompa, Desa Ongulara.
Kondisi geografis yang sulit diakses dan tantangan sosial budaya yang ada menjadi hambatan besar, namun upaya sosialisasi ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat setempat dalam mencegah stunting dan mengurangi pernikahan anak.
Reporter Irma /***