Muh Rasyidi Bakry, S.H.,LL.M (Kuasa Hukum DPRD Donggala)


DALAM salah satu media online di Sulawesi Tengah, Kuasa Hukum Penggugat 25 orang Anggota DPRD Donggala, yang mengajukan gugatan PMH melalui mekanisme Citizens Lawsuit (CLS), menyatakan bahwa rencana Anggota DPRD Donggala yg akan menggugat balik 5 warga yang jadi Penggugat adalah sesuatu yang lucu. Berita ini berkaitan dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) melalui mekanisme Citizen Lawsuit (CLS) atau gugatan warga negara diajukan oleh 5 orang warga Donggala yang menggugat 25 anggota DPRD Donggala karena menganggap bahwa “Anggota DPRD Kabupaten Donggala secara kelembagaan telah Melakukan Perbuatan Melawan Hukum (onrechmatige daad) karena berkaitan dengan pelaksanaan Hak Interpelasi dan Hak Angket dilakukan oleh para Tergugat. Dalam pandangan Penggugat dianggap cacat hukum”.

Atas gugatan tersebut, 25 orang Anggota DPRD yang jadi tergugat, karena menghargai proses hukum, walaupun menganggap gugatan para Penggugat kurang relevan, telah menunjuk penasehat hukum untuk menghadapi gugatan tersebut dan berencana akan mengajukan gugatan balik (gugatan rekonvensi).

Atas rencana itu, PH para Penggugat langsung bereaksi di media dengan mengatakan bahwa; “Itu lucu gugatan ganti rugi, apa yang dirugikan? Kalau tidak tau hukum jangan bicara hukum, rekonvensi (gugatan balik) itu masuk perdata umum”

Sebenarnya, perdebatan soal seperti ini, mestinya dilakukan dalam persidangan. Namun karena PH Penggugat telah melontarkan pernyataan di media, bahkan dengan klaim sebagai seseorang paling paham hukum. Maka dengan segala kerendahan hati, tanpa bermaksud menggurui, ijinkan kami memberi tanggapan sebagai berikut;

Pertama adalah apakah gugatan PMH melalui mekanisme CLS masuk dalam kategori perdata khusus ? Dalam pandangan kami, ini pernyataan keliru, karena yang dikategorikan sebagai perdata khusus adalah perkara perdata terkait Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Hal ini sebagaimana tercantum dalam semua SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) Pengadilan Negeri, termasuk PN Donggala. Dan gugatan Penggugat pun dalam SIPP PN Donggala terdafatar dengan nomor : 17/Pdt.G/2021/PN Dgl, diklasifikasikan dalam gugatan perdata umum. Bisa dilihat di (http://sipp.pn-donggala.go.id/list_perkara)

Kedua terkait rencana para Tergugat untuk mengajukan gugatan balik, apakah bisa dilakukan? Dalam pandangan kami, itu sesuatu bisa dilakukan. Namun apakah gugatan nanti akan dikabulkan atau tidak ?

Tentu Yang Mulia Majelis Hakim akan menilai dari proses persidangan. Yang mungkin dilupa oleh Penggugat adalah gugatan melalui mekanisme CLS adalah gugatan PMH juga.

Sementara CLS hanyalah mekanisme untuk mempermudah proses pengajuan gugatan yang diadopsi dari praktek di negara lain, karena dianggap relevan dengan asas peradilan, cepat murah dan sederhana.

Perlu kami jelaskan bahwa berdasarkan sejarah awalnya dan praktek sudah jadi yurisprudensi di Indonesia, Citizen Lawsuit atau Gugatan Warga Negara sebenarnya fokusnya adalah kepada eksekutif.

Dan gugatan seperti ini awalnya sebenarnya tidak dikenal dalam sistem hukum Civil Law sebagaimana dianut di Indonesia. Karena kelahirannya bermula di negara-negara menganut sistem hukum Common Law, misalnya di Amerika Serikat, India, dan Australia.

Dalam sejarahnya Citizen Lawsuit pertama kali diajukan terhadap permasalahan lingkungan hidup. Namun pada perkembangannya, bisa diajukan untuk semua bidang dimana negara dianggap melakukan kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negaranya.

Sehingga Citizen Lawsuit adalah akses orang perorangan warga negara yang mengatasnamakan keseluruhan warga negara atau kepentingan publik termasuk kepentingan lingkungan untuk mengajukan gugatan di pengadilan guna menuntut agar pemerintah atau negara melakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk memulihkan kerugian publik yang terjadi. (Fatah; 2013)

Sebagai contoh, di Amerika Serikat, seorang Warga Negara Amerika mengguggat pemerintahnya atas kelalaian Pemerintah dalam melakukan pelestarian terhadap Spesies kelelawar langka di Amerika. Gugatan tersebut dikabulkan dan hasilnya adalah pemerintah Amerika mengeluarkan Act atau Undang-Undang tentang Konservasi kelelawar langka tersebut.

Kemudian di India, gugatan seorang Warga Negara India atas kelalaian Pemerintah India dalam melestarikan sungai gangga, yang merupakan sungai suci bagi umat hindu. Hasilnya adalah Larangan pemerintah India kepada pabrik-pabrik di sekitar sungai Gangga melakukan pencemaran terhadap sungai.

Pengalaman di Indonesia sendiri, Citizen Lawsuit pertama kali diajukan oleh Munir Cs atas Penelantaran Negara terhadap TKI Migran yang dideportasi di Nunukan. Gugatan ini dikabulkan Majelis Hakim Jakarta Pusat dengan Ketua Majelis Andi Samsan Nganro. Hasilnya adalah UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.

Sehingga, Citizen Lawsuit pada dasarnya adalah mekanisme bagi Warga Negara untuk menggugat tanggung jawab Penyelenggara Negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga Negara.

Kelalaian tersebut didalilkan sebagai Perbuatan Melawan Hukum, sehingga Citizen Lawsuit diajukan pada lingkup peradilan umum dalam hal ini perkara Perdata. Oleh karena itu atas kelalaiannya, dalam petitum gugatan, Negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan bersifat mengatur umum (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari. (Fatah; 2013).

Sehingga ketika DPRD Donggala yang nota bene sedang menjalakan tugas konstitusionalnya dalam melakukan fungsi kontrol terhadap eksekutif digugat karena dianggap melakukan PMH, tentu dalam pandangan kami, berdasarkan refensi yang telah kami uraikan di atas adalah sesuatu sangat tidak relevan.

Sehingga wajar, jika para Tergugat menyatakan bahwa justru Penggugatlah yang telah melakukan perbuatan melawan hukum karena mereka tidak punya legal standing dan hanya dianggap ingin mengganggu apa sebenarnya merupakan hak konstitusional para Tergugat.

Untuk itu para Tergugat wajar dan sangat beralasan secara hukum, jika hendak melakukan gugatan balik. Karena bagaimana pun gugatan para Penggugat tersebut telah merugikan para Tergugat secara personal baik secara materiil dan immateriil.

Dalam perhitungan sementara para Tergugat, kerugian materiil yang diderita akibat gugatan ini karena harus menguras tenaga, pikiran dan dana untuk menghadapi gugatan adalah diperkirakan sebesar Rp.500 juta rupiah. Tapi kalau kerugian immateriil yang oleh para Tergugat dianggap nilainya sebesar Rp. 1 Milyar per orang adalah hak Tergugat untuk menentukan.

Karena seperti diketahui dan kami yakin tentunya diketahui dengan baik oleh PH Penggugat, kerugiaan immateril itu adalah sesuatu yang abstrak. Dalam konteks perkara ini hanya para Tergugat yang tahu. Kalau kemudian para Tergugat memutuskan bahwa kerugian immateriil diperkirakan sebesar Rp. 1Milyar per orang.

Maka biarlah nanti Majelis Hakim memutuskan apakah tuntutan tersebut layak diterima atau tidak.
Gugatan balik ini, juga berangkat dari pemikiran bahwa Para Penggugat haruslah dihukum untuk membayar ganti rugi, agar gugatan-gugatan serupa yang dalam pandangan Tergugat tidak diajukan dengan dasar hukum solid dan kuat dugaan hanya dimaksudkan untuk mengganggu proses politik, sedang berjalan adalah sesuatu semestinya tidak perlu dilakukan atau dalam hukum dikenal dengan istilah vexatious litigation.

Hal ini dimaksudkan agar bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat umum bahwa benar gugatan PMH bisa memungkinkan untuk diajukan oleh siapa saja, namun, harus diingat adalah para Tergugat juga punya hak untuk menggugat balik dan kalau itu dikabulkan maka para Penggugatlah harus menanggung akibatnya, bukan Penasehat Hukum mereka.

Karena bagaimana pun, Pengadilan adalah lembaga sakral yang harus dilindungi marwah dan kewibawaannya. Membiarkan gugatan-gugatan tidak berdasar (vexatious litigation) masuk ke pengadilan hanya akan menggerus wibawa pengadilan.

Karena bisa saja, bagi mereka yang hanya mofitnya untuk mengajukan gugatan bermotif ingin mengganggu, pengadilan bisa jadi hanya ingin dijadikan ajang untuk mencari keuntungan sesaat.

Olehnya, kami ingat kepada para 5 orang Penggugat prinsipal agar memikirkan kembali langkah hukum mereka dalam menggugat 25 orang Anggota DPRD Donggala. Renungkan baik-baik apakah benar ada masyarakat dirugikan oleh hak Angket ? Kalau ragu maka sebaiknya segera mundur dan mencabut gugatan.

Karena kalau gugatan rekonvensi dikabulkan maka kalian sendiri akan menanggung akibatnya.***