Seringkali kita puas dengan pengalaman batin kita. Seoalah sudah final segala Rohaniyah, dan kita merasa sudah pada tahap yang paling luhur. Lalu berbangga dengan pengalaman rohaniyah, padahal mandeg dalam kepuasan dirinya, dan ketakjuban pada Rabb-nya.

Banyak para penempuh ibadah yang mengungkapkan kedalaman batinnya, lalu ia kehilangan keikhlasannya. Gembira dengan capaian hakikatnya, padahal ia baru tahap proses awal perjalanannya.

Kawanku, pengalaman Ilahiyah, biarlah menjadi rahasia diri Anda, dan biar Allah Swt saja yang Tahu. Sebab memang semua pengalaman itu datangnya dari Allah Swt, bukan dari diri kita, bukan pula dari amal dan maqommu

Para sufi melarang meraih harta berlebih, apalagi disertai sikap rakus dan ambisi, penuh dengan cinta duniawi.

Simpanlah rahasia ilmu, amal, hal, dan hasrat luhur itu. Mempublikasi pengalaman rohani, akan membuat keikhlasannya semakin minim. Apalagi jika imengungkapkan keikhlasan. Justru itu menunjukkan betapa sedikitnya sikap benar bersama Tuhan.

Menakar keikhlasan memang sulit. “Ikhlas ibarat semut hitam berjalan di batu hitam di malam yang gelap”. Keinginan untuk dipuja memang datang menyelinap menggoda hati-hati orang yang beramal. Riya adalah benalu amal.

Maka dari itu Ibnu Atahaillah menegaskan: “Janganlah engkau mengulurkan tanganmu untuk mengambil sesuatu dari makhluk, kecuali anda melihat bahwa sang pemberi adalah Tuhanmu.

Jika anda mampu di posisi demikian, ambillah menurut batas keserasian (standar) ilmu.” Sebuah ungkapan Syeikh Abdul Jalil Mustaqim Qs, “Rahasiakan Allah dalam hatimu, sebagaimana engkau merahasiakan cacat-cacatmu.”

Mengunci lisan untuk mengungkap suasana kebatinan jauh lebih terjaga daripada mengungkapkannya.

Namun demikian, merahasiakan amal, tidak selamanya dibenarkan, bila memang situasinya adalah untuk berdakwah.

Hanya itu saja, Anda harus memperbaiki diri, untuk menjadi orang yang beramal semata karena Allah bukan untuk makhluk atau keinginan duniawi belaka. Wallahu a’lam

NURDIANSYAH (PEMIMPIN REDAKSI MEDIA ALKHAIRAAT)