Tidak asing bagi kita mendengar kata “berkorban”. Namun kata itu acapkali mengandung beban. Biasanya yang terbayang adalah kesulitan, merugikan, menyakitkan dan berbagai perasaan lain yang tidak menyenangkan.
Hal ini wajar karena berkorban mengharuskan seseorang mengesampingkan kepentingannya sendiri. Hal ini akan terasa berat dan menjadi beban bagi mereka yang tidak memahami esensi berkorban itu.
Meskipun begitu, berkorban dalam memajukan agama merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Karena ini (jalan dakwah) merupakan kewajiban bagi setiap mukmin untuk tegaknya agama Allah.
Sedangkan di sisi lain, secara manusiawi seseorang akan merasa berat jika dituntut untuk melakukan sesuatu yang dianggap merugikan atau tidak menguntungkan diri sendiri.
Oleh karenanya diperlukan pemahaman yang utuh tentang berkorban dijalan dakwah itu sendiri. Apakah benar pengorbanan dijalan dakwah itu merugikan dan merupakan beban bagi para pengemban dakwah.
Kalau kita coba pahami dengan baik ternyata berkorban itu bukan hanya untuk kepentingan orang lain. Sebenarnya manfaatnya akan kembali kepada diri sendiri.
Seseorang yang merelakan hartanya untuk berjuang dijalan Allah sebenarnya ia tengah menabung untuk dirinya.
Karena Allah akan memberikannya kembali dengan tambahan yang lebih besar diakhirat nanti. Dia berfirman: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah:261).
Oleh karena itu, agar berkorban dijalan dakwah terasa ringan ada beberapa hal yang mesti kita lakukan; Pertama, berusaha menjadikan dakwah sebagai sesuatu yang paling kita cintai.
Mencintai dakwah melebihi cinta kepada anak, istri, harta, bahkan diri sendiri. Inilah yang terjadi pada pribadi para sahabat Rasulullah saw.; Abubakar, Umar, Utsman, dan yang lainnya. Mereka rela mengorbankan diri dan hartanya dijalan Allah.
Ketika Abubakar datang kepada Rasulullah saw. dengan membawa seluruh hartanya, Beliau saw. bertanya, “Adakah harta yang engkau sisakan? Ia menjawab, “Ada pada Allah dan Rasulnya.” Zaid bin Haritsah tidak merasa takut melesak ketengah barisan musuh diperang Mu’tah. Karena yang ia cari adalah syahid dijalan Allah. Ia telah menjual dirinya kepada Allah dengan surga sebagai harganya.
Dengan mencintai dakwah sebagai wujud kecintaan kita kepada Allah kita akan merasa ringan ketika harus berkorban dijalannya. Seperti seseorang yang mencintai istri dan anaknya maka ia akan rela berkorban untuk mereka. Atau seperti seorang laki-laki yang mencintai seorang gadis, ia akan rela melakukan apapun demi mendapatkan cintanya.
Seorang hamba yang mencintai Allah dengan sepenuh hatinya ditanya tentang kebiasaannya yang suka memberikan hartanya dan mengorbankan jiwanya di jalan Allah tanpa perhitungan, apa gerangan yang membuatnya demikian?
Ia mengatakan, “Suatu ketika aku mendengar sepasang manusia yang sedang dimabuk cinta berbisik-bisik ditempat yang sunyi.
Sang pemuda berkata kepada gadis disampingnya, “Aku, demi Allah sangat mencintaimu sepenuh hati, tapi mengapa engkau selalu berpaling dariku.” Gadis itu menjawab, “Jika engkau benar-benar mencintaiku, apa yang hendak engkau persembahkan sebagai bukti cintamu.” Pemuda itu berkata, “Akan aku persembahkan seluruh jiwa ragaku untukmu.” Hamba Allah itu berkata, “Ini adalah kisah cinta sesama makhluk, bagaimana jika yang dicintainya itu adalah Sang Khaliq yang layak untuk dipuja dan disembah?”
Kedua, membiasakan diri dalam berkorban. Para nelayan yang sudah terbiasa menghadapi ombak dan badai serta dinginnya angin malam tidak merasa berat dengan semua itu, mengapa? Karena mereka sudah biasa. Dengan membiasakan diri untuk berkorban kita akan merasa ringan.
Oleh karenanya sejak dari awal sejatinya dakwah harus disertai dengan semangat pengorbanan dan dibiasakan untuk berkorban baik harta, tenaga, waktu bahkan jiwa. Jika perlu diri kita harus dipaksa untuk berkorban agar hal itu menjadi sebuah kebiasaan. Dan yang harus memaksanya adalah diri sendiri, bukan orang lain.
Para ustadz dan pembimbing mungkin hanya bisa mengarahkan dan membina agar para pengemban dakwah tersebut mau berkorban. Tetapi selanjutnya merekalah yang mengusahakan dirinya agar dengan suka rela memberikan pengorbannya untuk dakwah.
Saat ini kita semua telah memilih jalan berjuang di jalan Allah, karena itu kita diminta pengorbanannya demi tegaknya syiar Islam dimuka bumi ini.
Pengorbanan yang tulus dari hati sanubari. Pengorbanan yang tidak pernah berhenti. Berkorban dengan segala yang kita miliki. Pengorbanan dengan senang hati karena hal itu muncul dari kesadaran diri.
Jangan sia-siakan kesempatan untuk berkorban dijalan Allah yang Anda miliki hari ini sebelum kesempatan itu hilang yang akan menyisakan penyesalan tiada akhir. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)