WARTAWAN terkadang memberitakan penangkapan terduga teroris dengan menulis sebagai kata “teroris” padanya, lalu beberapa hari kemudian dibebaskan karena tak terbukti. Namun saat dibebaskan, terduga teroris itu sudah tidak diberitakan dan namanya sudah tercoreng.
Pada kasus ini wartawan atau media gampang terjebak dalam stigmatisasi. Pencarian berita tanpa verifikasi lebih lanjut berakibat pada dampak yang tidak baik bagi masyarakat.
Wartawan Senior Sulawesi Tengah, Tasrif Siara menyampaikan, wartawan dalam hal ini mengabaikan kode etik jurnalis. Selain itu, wartawan tidak mempertimbangkan efek/dampak dari berita tersebut.
“Media kadang tak sadar telah berkontribusi melipat gandakan kecemasan dan ketakutan,” kata Tasrif saat Literasi Media Cegah dan Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat melalui FKPT Sulawesi Tengah, di Swissbel Hotel, Kamis (2/11).
Kesalahan media atau wartawan membangkitkan simbiose perlawanan. Dan pada akhirnya berita tentang terorisme adalah “keberhasilan” teroris dalam menyampaikan pesan.
Dia mengingatkan, bahwa di Indonesia terdapat 47 ribu media cetak, elektronik maupun online, namun hanya 500 yang terdaftar di Dewan Pers. Sayangnya dari 500 tersebut, ada yang terjebak pada beberapa persoalan tadi. Akhirnya 500 media yang semestinya bisa mengimbangi media yang selebihnya, tidak lagi dipercaya.
Karena itulah, semua kesalahan wartawan dan media itu, menjadi agenda seting bagi teroris, untuk menggiring opini publik. Dampaknya, kredibilitas media arus utama diruntuhkan oleh wartawan dan media sendiri. Publik akan mencari informasi dari media alternatif.
Olehnya itu, Tasrif berpesan, wartawan kembali kepada Roh Jurnalisme. Wartawam yang jujur membiasakan diri untuk meragukan. Juga meragukan prasangka dan dugaannya sendiri.
Sementara itu, Anggota Dewan Pers, Jimmy Silalahi, mengajak pers bekerja secara bijaksana dalam memberitakan. Seorang wartawan ketika menulis berita, juga perlu memposisikan dirinya sebagai ‘masyarakat’.
“Paling nggak dalam hitungan detik, coba posisikan diri sebagai masyarakat,” ujarnya.
Dia mengajak publik untuk cerdas bijak membaca berita. Bila menemukan berita yang tidak bagi bagi publik, maka carilah media mainstream lainnya. Namun juga tidak menjadikan media sosial sebagai sumber utama informasi dan berita.
Pemimpin Redaksi MAL Online, Nurdiansyah menanggapi pemateri, mengatakan, pers tidak sekadar memproduksi berita, namun juga harus juga memproduksi “komunikasi”. Pers harus menjadi komunikan yang baik saat berhadapan dengan komike.
“Jikalau orang berkomunikasi maka dia akan memperhatikan bagaimana komunikenya. Ketika komunikenya marah. Sebagai komunikan jangan marahi dia atau kritik, maka yang terjadi adalah bertambahnya kemarahan,” ujarnya.
Dia mengambil fakta tentang aksi bela Islam. Ketika umat Islam marah di Jakarta, media malah mengkritik. Akhirnya kemarahan itu terlibatgandakan. Muncullah aksi 411, dan kembali media melakukan kesalahan dalam memberita dengan judul “Indonesia Darurat Intoleransi dan Radikalisme”. Kemarahan itu kembali terlibatgandakan, munculah aksi 212. Ini karena media tidak hati-hati, dan hanya mengedepankan kecerdasan, bukan kebijakan. (FALDI/NANANG)