Menurut Anda, bagaimana menangani mereka-mereka yang telah melakukan pelanggaran HAM berat pelaku kejahatan luar biasa ini dan bagaimana seharusnya APH kita bersikap?
Butuh penanganan yang luar biasa, butuh pendekatan dan langkah-langkah yang luar biasa serta diisi oleh personel yang luar biasa, utamanya dari aspek komitmen dan integritas personal, yang pada akhirnya menghasilkan integritas kelembagaan. Dalam konteks penertiban dan penegakan hukum, agar aparat penegak hukum menjalankan fungsinya melindungi dan mengayomi masyarakat. Melindungi masyarakat dalam hal ini bukan sebatas melindungi dari ancaman kekerasan atau perampokan, tapi juga melindungi dan mengayomi dari ancaman kekeringan, banjir bandang, pencemaran air dan udara sebagai akibat dari aktifitas yang tidak beraturan, ancaman pencemaran sumber-sumber air bersih sebagai akibat penggunaan bahan B3, melindungi masyarakat dari ancaman kemiskinan atau hidup dibawah garis kemiskinan pasca penambangan dan lainnya. Nah dalam hal-hal seperti ini mestinya polisi menlaksanakan kewenangan yang melekat, mereka secara tegas dalam penindakan, jangan hanya kepada masyarakat kecil, namun tidak bagi mereka pemilik modal. Mari kita liat di areal-areal yang marak aktivitas pertambangan atau perkebunan, semua yang terjerat dalam pelaksanaan penegakan hukum, belum satupun pemilik usaha apalagi pemodal yang ditangkap, paling banter yang diproses hukum adalah sopir alat berat (eksafator) atau sopir dump truck. Polisi harus berani mengambil tindakan hukum meskipun dia menghadapi kelompok besar. Jangan malah memfasilitasi terjadinya tindak pidana lingkungan dan kehutanan sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Faktor lain yang memberi pengaruh adalah terkait dengan mentalitas dan integritas personel. Mereka tidak pernah memikirkan apa yang mereka lakukan di lapangan sangat erat dengan integritas institusi di hadapan publik. Karena semua hal yang ada dalam kepalanya adalah selalu pasti ada rente, pasti ada keuntungan, atau harus ada faedah yang didapatkan baik dalam kapasitas pribadi atau jabatan.
Apa pendapat Anda dengan retorika APH yang selama ini yang seolah-olah serius menangani PETI ini?
Sesungguhnya semua itu sudah terjawab dari narasi-narasi pemberitaan yang disampaikan oleh para pejabat dari institusi yang masuk pengelompokan APH. Mereka menyampaikan sudah melakukan pengecekan di lapangan. Dinarasikan bahwa benar ada bekas aktivitas penambangan, namun semua tinggal bekasnya, termasuk kubangan dan alat berat yang rusak, namun pihak-pihak yang lakukan penambangan sudah tidak ada. Ya iyalah pasti yang tersisa bekas penambangan, areal pasti kosong. Karena sebelum turun, itu sudah ada penyampaian anggota yang menjabat pada struktur kelembagaan yang keberadaannya hingga di desa/kelurahan sebagaimana yang saya sampaikan tadi.
Jika dibandingkan dengan sebelum masuknya PETI, apa yang Anda lihat dengan kondisi daerah yang saat ini sudah marak dengan praktik ilegal itu?
Di zaman pemerintahan orde baru, Parigi Moutong pernah sukses menjadi lumbung padi nasional. Namun semua itu seakan menjadi terlupakan, konflik pemanfaatan ruang dari kebijakan perizinan dalam pemanfaatan ruang di kabupaten ini, sangat nyata terjadi dan meninggalkan risiko. Masyarakat setempat yang selama ini secara turun-temurun tinggal dan menetap di sana, selalu dibayang-bayangi banjir bandang setiap tahun yang sesungguhnya tidak pernah menghantui mereka sebelumnya. Nampak jelas aparat penegak hukum seakan tidak berdaya dalam menangani persoalan terkait kembali maraknya PETI di wilayah ini. Aparat keamanan tidak menjalankan fungsinya secara maksimal, akhirnya terjadi seperti pembiaran. Kami berharap berdasarkan kewenangan yang melekat di kepolisian, agar polisi tegas dalam melaksanakan penindakan, dengan tetap mengedepankan protap yang ada. Jangan sampai polisi kalah dengan para cukong yang bermain di belakang layar, atau bahkan malah memfasilitasi terjadinya praktik atau ikut serta dalam berebut rente di wilayah abu-abu seperti sekarang ini, sebagai mana yang terjadi di Kayuboko dan Buranga.