Apa dampak yang Anda lihat dari aktivitas yang selama ini terkesan dibiarkan itu?
Melakukan penambangan, entah emas, nikel, batubara dan jenis lainnya, bukan hanya bicara soal pengerukan material dan soal penambangan yang tidak berizin, tidak. Ketika ada aktivitas penambangan dilakukan, itu sama dengan melakukan perubahan bentang alam, baik yang berizin ataupun yang tidak. Ada penyorobotan atau perambahan hutan, ada penggunaan dan perdagangan sianida, ada risiko banjir bandang ketika musim hujan, ada risiko kekeringan dan ancaman kekurangan sumber air bersih, karena penambangan tanpa izin, acap kali dilakukan di sepadan aliran sungai, risiko terjadinya pencemaran dan rusaknya mata air bersih yang dikonsumsi masyarakat sangat besar. Jadi dampaknya sangat kompleks dan luar biasa. Belum lagi terkait konflik. Pada wilayah yang dilakukan penambangan tanpa izin, selain rawan konflik antara penduduk asli dengan masyarakat yang datang, juga dapat dipastikan rawan terjadi konflik pemanfaatan ruang, karena kalau apa yang dilakukan itu legal atau berizin, dapat dipastikan di kawasan tersebut banyak kebijakan perizinan pemanfaatan ruang yang tumpang-tindih.
Jadi menurut Anda, baik tambang berizin maupun tidak berizin, sama-sama merusak?
Kalau penambangan dilakukan di wilayah yang berizin atau kepemilikan konsesinya jelas, acapkali pemilik konsesi pura-pura tidak tahu di dalam wilayah konsesi mereka ada aktivitas penambangan, pada hal sesungguhnya mereka tahu. Melakukan aktivitas penambangan sudah pasti ada pengrusakan atau perambahan hutan. Entah itu di wilayah APL, HPT, HL, mereka tidak pusing, karena semua pejabat lintas sektor tersebut, semua pihak baik perorangan maupun atas nama kelembagaan bersama berbondong-bondong berebut rente di sana.
Di beberapa lokasi, banyak disuarakan terkait aktivitas tambang yang masuk di wilayah hutan lindung, bagaimana Anda melihat itu?
Aktivitas tambang yang masuk ke dalam kawasan hutan lindung, jangan dikira itu bukan sesuatu yang tidak disengaja atau sesuatu yang tidak direncanakan. Ketidaktahuan terkait batas yang tidak atau sudah masuk hutan lindung, itu sesuatu yang disengaja. Nanti kalau ada pihak yang melapor, semua terlihat nampak serius diproses, namun di sisi lain hal tersebut dijadikan preseden dan yang terjadi selanjutnya adalah pengajuan revisi batas kawasan, atau usulan penciutan hutan lindung. Sebut saja Tahura Kapopo misalnya, coba di cek berapa luasnya yang tersisa sekarang dari luas ratusan hektar sebelumnya. Sekarang ini, luasnya tinggal 5 hektar. Nah kalau tinggal lima hektar, ngapain buat kelembagaan atau satker sendiri hanya mengurus areal yang luasnya tinggal lima hektar. Cukup melekat menjadi satu sub seksi di BKSDA atau kehutanan, berapa kerugian negara di sana. Lebih parah lagi di Bangkiriang, jelas jenis hutan yang dibabat dan dirambah dan diubah menjadi areal perkebunan sawit. Ini nyata, kawasan tersebut adalah suaka margasatwa. Tapi coba cek di lapangan, itu semua sudah menjadi areal kebun sawit. Perusahaan mana yang terlibat di situ, semua jelas, namun ketika dipersoalkan, yang ditetapkan menjadi tersangka oleh APH adalah masyarakat yang mempersoalkan areal tersebut dengan dalih melakukan perambahan dan pembabatan hutan ke dalam kawasan suaka margasatwa.
Selain Bangkiriang, ada fakta lain yang serupa?
Kita lihat yang terjadi di Lobu dan Lambunu sekarang ini. Pertanyaannya kemudian, masuk akal tidak bahwa PETI di dua titik tersebut baru diketahui saat pendemo datang? Ini sangat erat kaitannya dengan struktur kelembagaan dari institusi yang ada hingga level desa/kelurahan, selain yang ada di tubuh militer (dalam hal ini Babinsa). Jika demikian, kira-kira alasan baru mengetahui saat ada demo soal PETI tersebut bisa masuk akal?
Jika demikian, baik yang berizin maupun tidak, mereka sama-sama menjalankan praktik illegal?
Iya. Pada areal di mana merek memiliki IUP, memang tidak serta merta mereka melakukan pengerukan material, harus memenuhi beberapa tahapan lagi sebagaimana yang diatur dalam UU Minerba, utamanya terkait Izin Produksi (IP) dan sebelum itu, harus lewat dulu tahap C and C atau Clean and Clear. Artinya apa, dipastikan dulu semua masalah yang muncul sebagai akibat terbitnya IUP wajib selesai, bersih, termasuk pembebasan lahan atau izin lainnya pada kementerian terkait. Karena sebagian wilayah pada izin seseorang ada sekian hektar masuk dalam wilayah hutan lindung misalnya. Nah praktik penambangan oleh mereka-mereka ini, baik yang masuk dalam kategori PETI maupun yang berizin, adalah setali tiga uang, sama-sama melakukan kerja-kerja ilegal, melakukan praktik haram. Jadi apa yang dilakukan oleh para pihak ini sesungguhnya masuk dalam kategori kejahatan lingkungan. Kejahatan lingkungan ini pelanggaran HAM berat dan pelaku korupsi dikategorikan kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime).