Aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dari waktu ke waktu semakin marak. Aktivitas ini menjadi daya tarik yang menggiurkan bagi mereka-mereka yang kebanyakan menggantungkan hidup dari material perut bumi yang ditambang secara ilegal itu.
Beberapa wilayah yang menjadi sasaran “empuk” para penambang, sebut saja di wilayah Kabupaten Parigi Moutong (Parimo). Belum lagi di wilayah lain, seperti di Buol dan Kabupaten Banggai, bahkan di area kontrak karya PT Citra Palu Minerals (CPM) Kelurahan Poboya.
Fenomena ini tak luput dari perhatian serius Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) Perwakilan Sulteng, Dedy Askari.
Ia mengungkap sebuah fenomena perputaran uang cukup besar yang bergulir di lokasi PETI. Tak main-main, pejabat yang berhubungan langsung dengan aktivitas tersebut juga ikut-ikutan menjadikan PETI sebagai lahan “basah” yang menggiurkan. Menurut Dedi, ada rebutan rente di lokasi tambang.
Kepada Media Alkhairaat, Dedy yang notabene aktif berkecimpung di lapangan dalam kapasitasnya sebagai Deputy Direktur Walhi Sulteng, bercerita banyak tentang fenomena yang ditemuinya, baik berdasarkan pengalamannya di lapangan, maupun dari hasil penyelidikan tertutup yang dilakukan selama menjadi ketua Komnas HAM.
Berikut petikan wawancara bersama pendiri sekaligus direktur eksekutif pertama Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng ini.
Aktivitas PETI, sebut saja di Desa Lobu, Kecamatan Moutong dan di Lambunu Kecamatan Bolano Lambunu belakangan kian marak dan masif, sebagaimana yang disuarakan oleh Aliansi Peduli Lingkungan Parigi Moutong (APLP). Aliansi ini pernah menggelar aksi di Polda Sulteng mendesak aparat kepolisian untuk melakukan penertiban. Apa tanggapan Anda terkait ini?
Aktivitas PETI ini saya ibaratkan seperti wilayah atau ruang abu-abu, di mana semua orang berebut bermain atau masuk di ruang itu. Ada pemodalnya, ada pemilik alat bahkan ada pemilik lahan, termasuk dalam hal ini pemilik izin atau konsesi. Juga ada aparat penegak hukum (APH) baik itu kepolisian, Gakum KLHK Wilayah Sulawesi, termasuk pejabat pemerintahan setempat) baik mulai dari Kepala Desa, Camat hingga Pejabat Pemerintahan di Kabupaten/Kota). Fatalnya dalam praktik pertambangan tanpa izin sebagaimana yang kembali marak di Lobu Moutong dan Lambunu, saat semua telah terkordinasi dan menyetujui, untuk pengerukan material hingga pengelolaan materi dari hasil pengerukan (produksi).
Bagaimana kondisi sebenarnya pertambangan ilegal yang Anda temukan di wilayah itu. Apakah ceritanya hanya sebatas pertambangan liar oleh masyarakat kecil untuk mencari makan, atau ada hal lain yang justru lebih dari sekadar mencari sesuap nasi?
Terlalu sederhana kalau kita melihat tambang ilegal ini untuk sesuap nasi. Kalau kita belajar dari pengalaman PETI di Kayuboko, sedari awal sesungguhnya pihak yang memobilisasi atau setidak-tidaknya melakukan pengawalan alat untuk masuk lokasi, memasang atau mengawasi pemasangan alat, juga yang mencatat retase pengangkutan material di areal tersebut adalah APH itu sendiri. Untuk mengatur alat berat siapa yang bisa masuk, berapa nominal per jam, yang terlibat disitu adalah APH. Semua jelas, misalnya hasil dari operasional eksavator si A ada 3 unit, 1 unit dari 3 yang masuk ke areal PETI Kayuboko itu hasilnya ke pejabat dari APH.