Kegiatan pertambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng) termasuk di Kota Palu, telah nyata menimbulkan banyak masalah.
Masalah terikat satu sama lain, mulai dari kecelakaan, kasus kriminal, kerusakan lingkungan, penggunaan bahan kimia berbahaya, hingga kerugian negara.
Bahkan yang dianggap paling parah adalah banyaknya pihak yang sama-sama mencari keuntungan di atas lahan ilegal tersebut.
Data yang dihimpun wartawan, kegiatan PETI di wilayah Sulteng meliputi beberapa daerah. Sebut saja di Kayuboko, Buranga, Kabupaten Parigi Moutong, di Kabupaten Buol, juga di atas lahan kontrak karya PT Citra Palu Minerals Kelurahan Poboya dan Tondo, Kota Palu.
Khusus di wilayah kontrak karya PT CPM, wartawan mendapatkan data sekitar 10 pemilik lahan PETI di bantaran sungai dengan jumlah lubang sebanyak 13, di dalamnya terdapat kurang lebih 100 pekerja.
Selanjutnya, ada kepemilikan 3 lubang pribadi kurang lebih 60 penambang, dan 9 pemilik lahan dengan 10 lubang di Vavolapo yang beranggotakan 50 pekerja.
Wartawan mengantongi nama-nama pemilik lubang pribadi dan pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan.
Situasi ini tak luput dari perhatian serius Deputy Direktur Walhi Sulteng, Dedy Askari. Ia mengungkap sebuah fenomena perputaran uang cukup besar yang bergulir di lokasi PETI. Tak main-main, pejabat yang berhubungan langsung dengan aktivitas tersebut juga ikut-ikutan menjadikan PETI sebagai lahan “basah” yang menggiurkan. Menurut Dedi, ada rebutan rente di lokasi tambang.
Dedy yang aktif berkecimpung di lapangan, bercerita banyak tentang fakta yang ditemuinya di beberapa lokasi PETI, baik berdasarkan pengalamannya di lapangan, maupun dari hasil penyelidikan tertutup yang dilakukan selama menjadi ketua Komnas HAM.
“Aktivitas PETI ini saya ibaratkan seperti wilayah atau ruang abu-abu, di mana semua orang berebut bermain atau masuk di ruang itu. Ada pemodalnya, ada pemilik alat bahkan ada pemilik lahan, termasuk dalam hal ini pemilik izin atau konsesi,” kata Dedi, saat diwawancara Sabtu (28/09/2024).
Bahkan kata dia, di dalamnya juga ikut bermain para aparat penegak hukum (APH), baik kepolisian, Gakum KLHK Wilayah Sulawesi, termasuk pejabat pemerintahan setempat), mulai dari kepala desa/lurah, camat hingga pejabat pemerintahan di kabupaten/kota.
“Baik yang di Poboya maupun di Vatutela, semua memperlihatkan dengan jelas bahwa aparat penegak hukum seakan tidak berdaya dalam menangani kerja-kerja yang tidak berizin/ilegal,” ujar direktur eksekutif pertama Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng ini.
Ia menyoroti ketidakberdayaan APH dalam menanganinya. Nampak jelas, kata dia, APH tidak menjalankan fungsinya secara maksimal yang akhirnya terkesan ada pembiaran.
Menurutnya, hal ini sulit dipungkiri, karena yang terjadi di Vatutela dan Poboya, sebagian besar masyarakat melakukan aktifitas pertambangan untuk kebutuhan menyambung hidup. Sementara yang dikelola dalam skala menengah membutuhkan modal besar dengan menggunakan alat berat dan alat angkut truck dalam jumlah mencapai ratusan armada.
“Ini yang dikatakan wilayah pertambangan berizin/legal namun aktifitas yang dilakukan Ilegal. Baik di Vatutela maupun Poboya, semua pihak berebut rente di sana dengan mengambinghitamkan rakyat kecil yang sekadar berusaha untuk menyambung hidup. Semua pihak melakukan itu dan menegaskan bahwa itu praktik Ilegal,” tegasnya.
Padahal di balik semua itu, kata Dedi, sikap dan narasi yang dibangun, kepentingannya untuk memperbanyak pundi-pundi keuntungan.
“Dalam banyak hal, praktik ilegal di wilayah yang legal, sesungguhnya dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan dan APH sendiri,” ungkapnya.
Ia dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) Perwakilan Sulteng, mendorong semua pihak agar bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. Ia juga menyarankan kepada pihak manajemen agar bekerja benar dengan cara-cara yang profesional agar perusahaan mendapatkan income sesuai dengan target yang ditetapkan.
“Jangan lagi melakukan praktik-praktik tercela untuk mendapatkan untung yang lebih besar di tengah besarnya pendapatan bulanan serta melimpahnya fasilitas yang didapatkan,” ujarnya.
Pun, kata Dedi, APH juga harus menjalankan fungsinya melindungi dan mengayomi masyarakat, tidak seperti yang terjadi saat ini.
“Kami berharap, berdasarkan kewenangan yang melekat di APH, baik Gakum KLHK Wilayah Sulawesi maupun kepolisian, agar tegas dalam melaksanakan penindakan. Hilangkan pemikiran untuk ikut bersama-sama berebut rente dengan tetap mengedepankan protap yang ada,” kata Dedi.
Jangan sampai, kata dia, APH kalah dengan aktifitas yang dilakukan pihak-pihak yang bermain di belakang layar dalam kasus pertambangan tanpa izin dan pertambangan yang berizin yang melakukan aktifitas ilegal.
“Kasus Vatutela misalnya, tahu apa dua warga asing yang ditetapkan sebagai tersangka, kenapa tidak diperluas ke aktor intelektual di balik itu semua. APH tidak boleh karena komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, pada akhirnya penegakan hukum yang dilakukan layaknya lelucon yang tidak lucu. Melakukan penegakan hukum itu harus tegak lurus,” tegasnya lagi.
Ia juga berharap agar APH berani mengambil tindakan hukum, meskipun harus menghadapi tekanan yang kuat dari pemilik modal, tekanan dari elit politik dan elit kekuasaan yang ada.
“Selaku APH harus berani. Jangan malah memfasilitasi terjadinya tindakan atau praktik-praktik haram atau turut serta dalam berebut rente di wilayah abu-abu, sebagaimana yang terjadi di Vatutela dan Poboya sekarang ini,” tandasnya.
Kesan tak berdayanya APH, terlihat ketika wartawan mencoba menggali informasi mengenai siapa saja yang terlibat dalam aktivitas PETI, khususnya di Kelurahan Poboya dan Vatutela Tondo.
Kepada polisi, wartawan sedianya hanya ingin mencari tahu para cukong yang bermain serta pola yang dilakukan dalam mengeruk isi perut bumi tanpa izin itu. Namun upaya ini tak berbuah hasil. Unsur pejabat utama di Kepolisian Resort Kota (Polresta) Palu seolah berkelit tidak bisa memberikan data dengan alasan belum dilakukan penindakan hukum.
Mekanisme yang ditempuh wartawan terbilang cukup berbelit. Awalnya mencoba memperoleh informasi awal dari Kabag Ops Polresta Palu, Kompol Romy Gafur pada Selasa (24/09). Oleh Kabag Ops diarahkan menghubungi Kasat Intel.
Ketika dikontak melalui WhatsApp, Kasat Intel belum memberikan respon dan Kabag Ops kembali mengarahkan menghubungi Kasat Reskrim, AKP Reza.
Upaya komunikasi ke Kasat Reskrim pada Kamis (26/09) pun tidak berbuah hasil, sebab yang bersangkutan beralasan sibuk mengikuti sebuah kegiatan di salah satu hotel mewakili Kapolresta. Ia mengarahkan kepada salah satu jajaran kepala unitnya (kanit).
Salah satu kanit juga enggan berkomentar memberi keterangan dengan alasan mesti mendapat disposisi dari atasan.
Pejabat utama lainnya di Polresta Palu yang menjadi harapan terakhir wartawan adalah Paur Humas, Aiptu I Kadek Aruna. Ia masih sempat melakukan koordinasi dengan Kapolresta Palu, Kombes Pol Barliansyah.
Namun jawaban Barliansyah juga tidak sesuai harapan. Pihaknya belum bisa memberikan data real sebab belum dilakukan penindakan karena saat ini sedang menghadapi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024.
“Untuk saat ini, Polresta Palu belum melakukan penindakan atau penegakan hukum mengenai isu PETI tersebut. Jadi kami belum bisa memberikan data real dan aktual,” jawab Barliansyah.
Sejauh ini, kata dia, Polresta Palu sedang melakukan proses preemtif dan preventif yaitu melakukan patroli, sosialisasi dan imbaun kepada masyarakat tentang kegiatan PETI yang sedang berlangsung. */IKRAM
*Tulisan ini Bagian dari Program Kolaborasi Liputan Jurnalis Kota Palu yang Tergabung dalam Komunitas Roemah Jurnalis