OLEH : HS Saggaf Bin Muhammad Aldjufri*
Tentu semua orang Muslim yang normal pasti merindukan agar dijadikan dalam akhir yang baik dan dimudahkan bisa masuk surga. Masalahnya, memasuki surga Allah Subhanahu Wata’ala bukanlah sesuatu yang gratis dan mudah diperoleh.
Akan tetapi Rasulullah SAW pernah menyebutkan sahabat yang masuk surga tanpa hisab, antara lain Abu Bakar RA, Umar ibnu Khattab RA, Utsman bin Affan RA, Ali bin Abi Thalib RA, Zubair bin Awwam RA, (HR at-Turmudzi). Nabi SAW juga bersabda, “Tujuh puluh ribu atau 700 ribu dari umatku akan masuk surga tanpa dihisab, mereka masuk berturut-turut, sedang rupa mereka seperti cahaya bulan purnama.” (HR Bukhari).
Orang pertama ditanya, “Mengapa Tuan merasa pantas masuk surga tanpa dihisab?” “Aku seorang pahlawan yang mati syahid di medan perang karena membela agama.” Jibril bertanya lagi, “Dari mana kau tahu itu?” Ia menjawab, “Dari guruku, orang alim.” “Kalau begitu, jagalah adab kepada guru. Mengapa tak kau beri kesempatan orang alim masuk surga dahulu?” kata Jibril. Ia pun menyadari kelancangannya.
Orang kedua ditanya hal serupa dan menjawab, “Aku haji mabrur yang balasannya surga.” “Dari mana kau tahu itu?” “Dari guruku, orang alim,” sahutnya. “Mengapa engkau tidak menjaga adab kepada gurumu?” ujar Jibril. Ia pun sadar atas kekhilafannya.
Orang ketiga pun ditanya dan menjawab, “Aku orang kaya yang dermawan. Kekayaanku halal dan diinfakkan di jalan Allah.” “Dari mana kau tahu itu dapat ganjaran surga?” tanya Jibril. “Dari guruku, orang alim.” “Lalu, mengapa orang alim tidak kau hormati?” Ia pun tertunduk malu.
Setelah orang alim yang saleh itu diberi kehormatan, ia lalu berkata, “Maaf, Tuan-Tuan. Aku tidak akan dapat belajar dan mengajar dengan tenang apabila tidak ada pahlawan yang rela mati syahid. Aku juga tidak dapat pahala terus-menerus jika haji mabrur tidak mengamalkan ilmu yang kuajarkan.
Kami pun tidak akan dapat leluasa tanpa kedermawanan orang kaya. Oleh karena itu, biarlah orang kaya yang masuk surga duluan, disusul pahlawan, haji mabrur dan aku menyusul.”
Dialog sufistik ini memberi banyak pelajaran bahwa orang-orang hebat diukur dari ketaatannya kepada Allah SWT (ritual) dan kemanfaatannya bagi orang lain (sosial). Contoh Keempat orang itu adalah orang-orang yang berbuat untuk umat, bukan untuk dirinya sendiri.
Para sahabat: Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf telah memperagakan fase kehidupan seperti di atas.
Mereka adalah beberapa sahabat yang kaya raya, tetapi tidak mengambil semua harta kekayaannya untuk diri sendiri dan keluarganya. Sebagian besar harta mereka habis untuk dakwah, jihad, dan menolong orang-orang beriman.
Mereka adalah tokoh pemimpin dunia yang dunia ada dalam genggamannya, namun tidak tertipu oleh dunia. Bahkan, mereka lebih mementingkan kehidupan akhirat dengan segala kenikmatannya. Abu Bakar berkata, ”Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.”
Suatu saat Ibnu Umar mendengar seseorang bertanya, ”Dimana orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat?” Lalu Ibnu Umar menunjukkan kuburan Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar, seraya balik bertanya, ”Bukankah kalian bertanya tentang mereka?”
Abu Sulaiman berkata, ”Utsman bin ‘Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah dua gudang harta dari sekian banyak gudang harta Allah yang ada di bumi. Keduanya menginfakkan harta tersebut dalam rangka mentaati Allah, dan bersiap menuju Allah dengan hati dan ilmunya.”
Demikian juga alim ulama yang rendah hati adalah pewaris para nabi yang membimbing, menyejukkan, dan menyatukan umat. Ulama yang tawadhu’ akan dimuliakan, apalagi ia pandai memuliakan orang lain. Wallahul Mustaan
*Penulis adalah Ketua Utama Pengurus besar (PB) Alkhairaat
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.