PALU – Komisi III DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan sejumlah pihak terkait, menindaklanjuti laporan masyarakat terkait aktivitas penggalian kerikil/sirtu yang dilakukan PT. Putra Sejahtera Membangun (PSM) di Desa Bumi Harapan, Kecamatam Wita Ponda, Kabupaten Morowali.
Aktivitas perusahaan tersebut dinilai telah mengancam Bendungan Ungkaya yang mengairi 1400 hektar lahan dengan potensi 1200 hektar. Bendungan itu terancam roboh karena ada aktivitas tambang batuan tersebut.
RDP berlangsung di ruang sidang utama DPRD Sulteng, Rabu (03/04), bersama dengan Dinas Cipta Karya dan Sumber Daya Air (Cikasda), ESDM, Inspektur Tambang, DLH dan Dinas Penanaman Modal Terpadu Satu Pintu (DPMTSP).
Ketua Komisi III DPRD Sulteng, Sony Tandra, usai RDP, mengatakan, setelah RDP, diketahui bahwa perusahaan tersebut belum memiliki izin operasional. Sejauh ini, kata dia, pemerintah baru menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Baru (IUP Tahap Eksplorasi Batuan) kepada perusahaan yang beralamat di Desa Emea, Kabupaten Morowali tersebut.
“Namun saat ini, perusahaan tersebut telah melakukan operasional penggalian batuan. Berdasarkan keterangan dari pihak yang kami undang, harusnya perusahaan tersebut belum bisa beroperasi karena belum ada izin operasionalnya,” sebut Sony Tandra, kepada sejumlah wartawan.
Sesuai penjelasan Inspektur Tambang, lanjut dia, perusahaan yang baru mendapatkan izin eksplorasi dan langsung melakukan kegiatan opersional, merupakan pelanggaran. Perusahaan tersebut bisa disanksi lima tahun penjara dan denda Rp100 miliar.
“Padahal dari pihak ESDM sendiri sudah menegur kepada perusahaan yang bersangkutan, bahkan mengirim surat ke Polres dan Polda, tapi tidak ada tindak lanjut untuk pencegahan,” ungkapnya.
Untuk itu, pihaknya meminta agar lobang besar dari penggalian yang dilakukan oleh perusahaan di sekitar bendungan, segera ditimbun. Jika tidak segera ditimbun, maka bendungan itu berpotensi colaps, sebagaimana yang terjadi dengan Bendungan Puna Kiri.
“Dan seharusnya, perusahaan yang baru mendapatkan izin eksplorasi namun sudah melakukan operasi, diberi sanksi juga untuk tidak diberikan izin operasional. Tapi sesuai saran dari waket, bagaimana nanti dipikirkan solusinya. Yang penting lakukan penimbunan dulu, baru kemudian dikaji lagi, apakah memang masih bisa diberikan izin operasional. Jangan sampai ada aset pemerintah yang rusak,” tegasnya.
Kepada semua perusahaan galian batuan, khususnya yang ada di wilayah sungai, lanjut dia, pihaknya juga memminta agar memperhatikan jika di sekitarnya ada aset pemerintah.
“Termasuk juga galian batuan yang ada di wilayah Donggala, apakah mereka memang beraktivitas sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku,” pungkasnya.
Wakil Ketua Komisi III DPRD Sulteng, Zainal Abidin Ishak, menambahkan, jika bendungan itu rusak, maka otomatis persawahan yang bergantung dari bendungan itu juga akan terancam.
“Kalau dihitung-hitung, dari 200 hektar sawah saja dikali satu ton gabah per hektar dalam setiap kali panen, maka bisa menghasilkan Rp200 miliar. Belum lagi kalau harus membangun bendungan lagi, kalau ditaksir bisa mencapai sekitar Rp30 miliar,” ungkapnya.
Sementara untuk bendungan Puna Kiri saja, kata dia, pihaknya kesusahan mencari uang untuk membangun kembali. Sampai saat ini, kata dia, baru didapat anggaran sekitar Rp5 miliar untuk perencanaan.
“Kalau persoalan izin operasional adalah hak dan kewenangan Dinas ESDM untuk memberikan kajian kepada Dinas PMTSP, maka sebelum lobang ini teratasi, jangan pernah dilakukan kajian,” tegasnya.
Ia juga menegaskan bahwa apa yang terjadi saat ini adalah bagian dari tanggung jawab Dinas ESDM. Jika hal ini tidak diindahkan, maka Dinas ESDM telah melakukan pembiaran dan bisa dilaporkan.
“Karena kalau kita harus membangun lagi bendungan yang baru, tidak akan mungkin. Pembangunannya sebelumnya saja, sampai memakan waktu lima tahun baru selesai,” pungkasnya. (RIFAY)