SIGI- Tiga tahun terakhir Kabupaten Sigi terus mengalami kenaikan angka kasus kekerasan seksual yang menimpa anak dengan bentuk Incest (hubungan seksual sedarah) dan perkosaan dengan pelaku orang terdekat lainnya/kerabat.
Belum juga selesai dalam proses penanganan kasus incest yang terjadi di Dusun Raranggonau, Desa Pombewe dan Desa Sunju pada Agustus, membuka awal Oktober terjadi kembali perkosaan berulang kepada anak oleh bapak tirinya di Desa Wisolo, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi.
Kasus perkosaan ini dilaporkan pada Lembaga Layanan Yayasan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST), laporan korban dan keluarganya diterima oleh bidan Desa Wisolo.
Dalam keterangan tertulis diterima MAL Online Rabu (5/10), atas laporan tersebut Divisi Pendampingan KPKP-ST yang diwakili oleh staff pendampingan melakukan koordinasi dengan Satuan Tugas Penanganan Perempuan dan Anak (Satgas PPA Kabuoaten Sigi dan langsung mengambil tindakan melakukan penjangkauan dan pendampingan sehari setelah mendapat laporan Senin, 3 Oktober 2022.
Dari penjangkauan langsung kepada korban dan koordinasi dengan pihak Pemerintah Desa Wisolo, terungkapnya kronologis kasus ini bermula pada Ahad, 2 Oktober 2022 malam setelah magrib pelaku dengan inisial AG (36 ) melaporkan kepada Pemerintah Desa Wisolo karena merasa tercemar nama baiknya atas tuduhan telah menyetubuhi anak tirinya inisial F (12 ), dan pelaku juga melaporkan pencurian handphone (HP) yang dilakukan oleh korban.
Atas laporan tersebut Pemerintah Desa melakukan mediasi dan terungkap, pengakuan dari korban bahwa benar HP yang dimaksud ada dengan korban, tetapi korban menolak untuk mengembalikan kepada pelaku, korban mengatakan, “saya mau kembalikan HP ini tetapi saya akan bongkar rahasia kau (pelaku) sudah pake saya berapa kali,” kata F.
Berdasarkan laporan pelaku dan pernyataan korban, kemudian Pemerintah Desa dalam hal ini mantan Kepala Desa, Kasi Pemerintahan, anggota BPD, Kepala Dusun melakukan mediasi dan mencoba akan dilakukan sidang adat, tetapi karena pelaku berkeras tidak mengakui perbuatannya sehingga Pemerintah Desa mengambil tindakan untuk membawa pelaku ke Polsek Dolo, sekaligus sebagai tindakan untuk mengamankan pelaku dari amuk masa warga desa dan juga mengantisipasi pelaku melarikan diri.
Menurut pengakuan korban, pelaku melakukan aksi bejatnya sejak 2019 ketika mereka masih tinggal di Huntara. Kejadian selanjutnya 2021 sebanyak dua kali di rumah pelaku dan ibu korban. Lalu terakhir 2022 di Desa Jono, tepatnya di semak-semak saat korban dan pelaku dalam perjalanan naik motor.
Korban juga mengatakan, bahwa setiap kali pelaku melakukan perbuatannya pelaku memaksa dengan kasar dan mengancam korban. Situasi ini pula yang membuat korban takut menceritakan perilaku pelaku kepada keluarganya.
Semenjak ibu korban menikah dengan pelaku, korban bersama satu orang kakak perempuannya tinggal bersama neneknya di Desa Wisolo, yang jaraknya tidak jauh dari rumah orang tuanya (pelaku dan ibunya). Dan sejak terungkapnya kasus ini ibu korban sampai-sampai saat ini menghilang/menghindar dan tidak bersedia melakukan laporan di kepolisian.
Divisi Pendampingan Yayasan KPKP-ST yang diwakili oleh Yuni Agustina Djamhuri bersama Ketua Satgas PPA Kabupaten Sigi melakukan pendampingan hukum kepada korban dan nenek korban untuk memasukkan Laporan Polisi (LP) di Polsek Dolo Kecamatan .Dolo Kabupaten Sigi, Senin, 3 Oktober 2022.
Dalam proses pendampingan hukum turut serta perwakilan pemerintah Desa Wisolo bersama mantan guru SD dari korban. Progres dari pendampingan hukum kasus ini korban telah dilakukan Visum et Repertum di Rumah Sakit Torabelo dan selanjutnya laporan kasus ini akan dilimpahkan oleh Polsek Dolo kepada Polres Sigi mengingat layanan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) ada di Polres Sigi.
Sehingga untuk pemeriksaan korban, nenek korban sebagai pelapor dan saksi-saksi lainnya akan dilakukan di UPPA Sigi. Informasi terakhir diperoleh Ketua Satgas PPA Sigi dari komunikasi via telepon dengan salah satu petugas UPPA Polres Sigi, menjadwalkan pemeriksaan korban bersama neneknya pada Jum’at, 7 Oktober 2022.
Menyikapi kasus kekerasan seksual terhadap anak ini, di tempat berbeda Ketua Yayasan KPKP-ST Soraya Sultan saat dihubungi via telepon menyampaikan bahwa gerak dan respon cepat berbagai pihak atas kasus ini perlu diapreasi, khususnya terhadap bidan desa dan Pemerintah Desa Wisolo, yang dengan. Mereka cepat mengambil tindakan yang tepat untuk melakukan penanganan dengan menghubungi lembaga layanan.
“Bidan Desa mengambil tindakan melaporkan kepada kami karena memang Satgas PPA Desa Wisolo belum terbentuk, dan inilah adalah bentuk kerja-kerja jaringan yang dimulai dari level desa semua harus peduli dan terlibat, karena intergrasi layanan pengaduan seperti ini sangatlah penting sebagai upaya dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujarnya.
“kami Yayasan KPKP-ST akan melakukan pendampingan dan pengawalan proses hukum yang berjalan hingga proses pengadilan dan putusan. Tentu saja bekerjasama dengan SATGAS PPA Kabuparen Sigi dan lembaga layanan lainnya untuk memberikan dukungan psikososial sesuai dengan kebutuhan korban dan keluarga,” tutup Aya.
Selain itu Ketua Satgas PPA Kabupaten Sigi Salma Masri mengatakan, akses pelayanan pengaduan khususnya kepada anak korban kekerasan seksual harus cepat, mudah dan tepat terkhusus di tingkat pelayanan kepolisian tingkat paling bawah yakni Polsek.
Layanan pelaporan pada tingkat Polsek kata dia, adalah merupakan layanan pengaduan level paling bawah dan terdekat untuk diakses oleh masyarakat khususnya Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.
Sehingga siap atau tidak kata dia, Polsek sebaiknya menyiapkan sumber daya manusia (SDM) untuk bisa menerima laporan, paling tidak walaupun hanya sebatas penerimaan laporan polisi saja terlebih dahulu untuk pemeriksaan lebih privacy, aman dan nyaman kepada korban kekerasan bisa dilimpahkan ke Polres yang memilki layanan UPPA.
“Mengapa polsek harus siap dan bersedia menerima laporan korban kekerasan khususnya kepada perempuan dan anak karena kondisi geografis wilayah Kabupaten Sigi yang cukup luas dan sulit membuat korban kekerasan tidak semuanya mudah mengakses layanan di UPPA Polres,” bebernya.
Menurutnya, kondisi ini menjadi alarm bagi pihak institusi Kepolisian. Sudah semestinya layanan UPPA juga harus disediakan sampai di tingkat Polsek.
Mengapa Ketua Satgas PPA menekankan hal ini, karena pada saat pendampingan hukum kepada korban F sempat terjadi penolakan laporan oleh pihak Reskrim Dol,o dengan alasan tidak adanya UPPA di Polsek. Sehingga terjadi perdebatan antara pihak pendamping dan petugas reskrim pada saat itu. Setelah terjadi perdebatan antara Ketua Satgas Sigi dengan petugas Reskrim Dolo, barulah laporan nenek korban diterima dan diproses.
Reporter: Ikram
Editor: Nanang