Syamsuddin Oemar harus memutar otak untuk meyakinkan masyarakat nelayan di Desa Wakai, bahwa BBM jenis premium tidak lebih baik dari pertalite. Sebagai seorang pengusaha, Syamsuddin tidak menampik jika apa yang dilakukannya karena peluang bisnis yang terbuka lebar. Namun lebih dari itu, ada i’tikad baik untuk memperkenalkan produk berkualitas dari Pertamina melalui SPBU yang didirikannya di wilayah yang kala itu hanya mengandalkan APMS.
Dua perahu ketinting (perahu kecil bermesin gantung) sudah menyalakan mesinnya di garis start. Suaranya meraung-raung siap-siap beradu cepat sampai ke finish. Mimik tegang nampak di wajah pengemudinya. Masing-masing ingin membuktikan, dialah yang tercepat dari lawannya.
Ini bukanlah lomba perahu layaknya di 17-an untuk memperebutkan hadiah spesial dari panitia. Lomba ini hanya sekadar ajang pembuktian, siapa paling cepat mencapai garis finish yang sudah ditentukan.
Sekilas, tidak ada yang berbeda dari dua perahu yang sering dipakai melaut ini. Bentuknya sama, tenaga mesinnya pun memiliki PK (Paardenkracht/tenaga kuda) yang sama. Satu hal yang membedakan adalah kualitas BBM (Bahan Bakar Minyak) yang dipakai kedua ketinting itu. Satunya memakai Pertalite dengan oktan 90 dan satunya lagi memakai Premium dengan oktan yang berada di bawah pertalite, hanya 88.
Alhasil, ketinting dengan mesin yang memakai bahan bakar pertalite-lah pemenangnya.
Itulah yang dilakukan Syamsuddin Oemar untuk meyakinkan kualitas BBM pertalite kepada masyarakat Desa Wakai, Kecamatan Una-Una, Kabupaten Tojo Una-Una (Touna), Sulawesi Tengah, di awal-awal membuka SPBU BBM satu harga di salah satu wilayah Kepulauan Togean itu, akhir 2017 silam.
Dinamika-dinamika seperti itulah yang dianggapnya paling menantang, ketika dirinya menyahuti permintaan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Touna dan tawaran Pertamina untuk mendirikan SPBU BBM satu harga di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) tersebut.
Di samping harus berupaya memenuhi kebutuhan BBM warga yang rata-rata menggantungkan hidup dari melaut, ia juga harus berpikir keras mengubah mindset yang selama ini masih ketergantungan dengan BBM ber-octan rendah, premium.
Meski tak mudah, namun upaya itu perlahan membuahkan hasil. Kurang lebih empat tahun lamanya keberadaan SPBU yang dirintisnya, kini masyarakat setempat akhirnya menyadari, bahwa pertalite memang lebih berkualitas, dibanding premium.
Kala itu, Syamsuddin merupakan Direktur Utama (Dirut) PT Macindo Mitra Raya, salah satu agen penyalur BBM yang berkantor pusat di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Kini, Syamsuddin tidak lagi menjabat direktur, ia berganti posisi menjadi komisaris di Macindo. Usianya yang beranjak senja, membuatnya harus menyerahkan estafet jabatan itu kepada sang anak, Gandhi Yunanto Irawan, untuk mengelola unit-unit usahanya, termasuk SPBU BBM satu harga di Desa Wakai.
“Selain jarak tempuh yang cukup jauh karena memang harus melewati laut, itulah sebenarnya tantangan yang kita alami di awal-awal merintis SPBU BBM satu harga di Wakai ini. Ya, meyakinkan masyarakat untuk mau memakai pertalite yang memang kualitasnya lebih baik dari premium,” ujar Gandhi, saat ditemui di kantornya, Rabu (27/10/2021) sore.
Gandhi mengatakan, di awal-awal mendirikan SPBU, pihaknya memang sengaja belum menjual pertalite, baru sebatas premium dan solar. Baginya, mengubah mindset masyarakat tidaklah mudah untuk berpindah ke jenis BBM baru yang notabene lebih mahal dari yang ada sebelumnya.
“Masyarakat lebih baik beli bensin premium botolan walau harganya mahal, daripada beli pertalite. Padahal waktu itu premium botol sekitar 8000-an, selisihnya paling 1000-an dengan pertalite. Tapi kan pertalite ini, octannya lebih bagus, ukurannya juga satu liter. Sementara premium botolan ini, octannya rendah, tidak sampai satu liter,” katanya.
Untuk meyakinkan masyarakat, kata dia, sang ayah, Syamsuddin Oemar sampai mengadakan lomba ketinting, di mana yang satunya memakai premium dan lainnya memakai bahan bakar pertalite.
“Itu untuk menunjukkan mana BBM yang kualitasnya lebih bagus. Terbukti yang lebih cepat itu yang memakai pertalite karena pembakarannya lebih bagus. Jadi memang sampai begitu caranya,” tuturnya.
Gandhi lalu menuturkan ikhwal berdirinya SPBU BBM satu harga di Desa Wakai, yang sekarang mereka sebut SPBU Muara Bandeng.
Awalnya, kata dia, pihaknya dimintai bantuan oleh Pemkab Touna untuk mendirikan SPBU BBM satu harga. Sejalan dengan itu, Pertamina sendiri juga sedang menggulirkan program BBM satu harga di wilayah 3T di Indonesia.
“Selain memang kita melihat ada peluang bisnis, tapi sebenarnya semangat kita adalah ingin membantu masyarakat di sana yang memang sebelumnya sangat kesulitan memperoleh BBM. Ada APMS (Agen Premium Minyak Solar), tapi harganya terbilang tinggi dan tidak mencukupi kebutuhan masyarakat,” ujar Aan, sapaan akrabnya.
Kala itu, tutur Aan, harga BBM jenis premium saja bisa mencapai Rp15 ribuan per liter. Itupun sangat susah didapatkan.
“Karena di sana mayoritas nelayan, jadi dia nyarinya premium, bukan solar. Solar pun harganya lumayan tinggi dan memang yang waktu itu dibutuhkan sekali adalah premium. Kendaraan juga di sana banyak bentor, belum kapal-kapal cepat rata-rata memakai premium. Jadi peruntukannya memang buat transportasi, bukan industry,” ungkapnya.
Berangkat dari kondisi itulah, akhirnya sang ayah, Syamsuddin Oemar pun menyetujui untuk mendirikan BBM Satu Harga di wilayah itu.
Persetujuan itu sendiri bukan semata-mata tanpa pertimbangan yang matang. Melihat lokasi yang cukup jauh dengan medan yang menantang karena proses distribusi yang mesti dilakukan dengan kapal tanker SPOB (Self-Propelled Oil Barge) dari Terminal BBM Poso sejauh 108,7 mil laut dengan waktu tempuh normal satu hari.
Belum lagi, harus bersosialisasi ke masyarakat karena akan menjadi pesaing baru bagi pengusaha lokal yang sudah puluhan tahun merintis usaha minyak di pulau itu. Semua itu sudah diperhitungkan dan mau tidak mau harus dijalani.
“Alhamdulillah seiring berjalannya waktu, masyarakat juga berterima kasih. Selain BBM harganya lebih murah, juga mudah didapat. Yang dulunya berangkat mencari ikan susah, sekarang gampang. Penghasilannya pun lebih meningkat,” kata Aan.
Dari segi distribusi, pihaknya juga tidak mengalami kendala, karena semuanya dilakukan langsung oleh Pertamina. Namun di awal-awal, kendala yang dialami adalah pengecekan stok yang didistribusikan, mengingat jarak yang cukup jauh.
Kini semuanya sudah dilewati. Pengalaman yang didapat selama ini menjadi pelajaran yang membuat SPBU Muara Bandeng tetap setia melayani masyarakat. Karena kesetiannya melayani dan dianggap telah membantu perekonomian masyarakat, SPBU inipun pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah kecamatan setempat.
“Jadi sekarang pun pertalite sudah dicari masyarakat. Walaupun memang kalau secara ekonomi, pasti masyarakat memilih yang lebih murah, tapi kalau premiumnya habis, membeli pertalite pun tidak masalah buat mereka,” pungkasnya.
Terlepas dari semua itu, Aan pun menyampaikan terima kasih kepada pemerintah, dalam hal ini Presiden yang telah mencanangkan program BBM Satu Harga. Berkat kebijakan itu, kata dia, hampir semua masyarakat Indonesia bisa merdeka menikmati energi. Mereka yang berada jauh di pelosok pun bisa memperoleh hak yang sama untuk menikmati berbagai jenis BBM, dengan harga yang sama seperti di wilayah perkotaan.
“Demikian juga dengan Pertamina sebagai lembaga yang menjalankan program ini karena banyak pihak yang terbantu,” pungkasnya.
SEMUA WARGA KEPULAUAN RASAKAN MANFAAT BBM SATU HARGA
Wakai adalah satu dari puluhan desa di enam kecamatan yang ada di gugusan pulau-pulau kecil di wilayah Kepulauan Togean.
Wakai sendiri menjadi sentra perekonomian masyarakat di gugusan Kepulauan Togean dan menjadi satu-satunya desa yang memiliki SPBU.
Itulah sebabnya keberadaan SPBU BBM Satu Harga di Desa Wakai itu tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat setempat dalam wilayah Kecamatan Una-Una, tapi juga di kecamatan lain.
Moh Syafa’ad, salah satu warga Desa Popolii, Kecamatan Walea Kepulauan, kepada media ini, Jumat (29/10/2021), mengatakan, keberadaan SPBU di Wakai memang sangat tepat. Karena Wakai sendiri menjadi pusat transit warga yang datang dari Kota Ampana menuju ke beberapa desa di Kepulauan Togean.
“Jadi memang SPBU ini sangat membantu masyarakat. Kita yang dulunya kesulitan mendapatkan BBM, tapi dengan adanya SPBU ini, menjadi lebih mudah,” tuturnya.
Kata Syafa’ad, nelayan di desanya yang dulunya hanya mengharapkan BBM dari APMS dengan kuota terbatas, kini sudah lebih mudah. Selain harganya yang tidak terlampau jauh dari harga SPBU, kuota yang dibutuhkan juga terpenuhi.
“Karena memang banyak warga yang tidak bisa membeli langsung ke Wakai, sehingga ada beberapa pedagang yang membeli langsung ke Wakai, kemudian menjualnya kembali di desa kami, jadi wajar kalau harganya juga naik sedikit dari SPBU,” tuturnya.
Di momen HUT kemerdekaan RI yang ke-76 lalu, Pertamina Regional Sulawesi telah berhasil merealisasikan 26 titik SPBU BBM Satu Harga. 11 titik di antaranya berada di wilayah Sulawei Tengah, tepatnya di Kabupaten Tojo Una-Una, Kabupaten Sigi, Kabupaten Banggai Laut (Balut) dan Banggai Kepulauan (Bangkep).
Senior Supervisor Communication and Relation, Pertamina Regional Sulawesi, Taufik Kurniawan, mengatakan, SPBU ini yang ditugaskan oleh pemerintah untuk dibangun di daerah 3T (Tertinggal, Terluar, Terdepan).
“Di daerah 3T ini kita menanggung seluruh biaya distribusi sesulit apapun medannya akan kita tanggung dengan tujuan untuk menekan harga bahan pokok dan bisa memajukan perekonomian daerah setempat,” ujarnya, di Palu, Senin (16/08/2021) lalu.
Di awal kehadirannya, bulan Desember Tahun 2017 lalu, SPBU di Wakai menjual Premium sama dengan di daerah perkotaan sebesar Rp6450 per liter dan Bio Solar seharga Rp5150 per liter.
Bupati Tojo Una-Una, Muhammad Lahay mengapresiasi langkah yang dilakukan Pertamina. Ia mengatakan, harga BBM di Kepulauan Wakai dan Togean sebelumnya dibeli masyarakat nelayan dengan harga bervariatif. SPBU terdekat berada di daratan Kota Ampana yang berjarak 2-3 jam menggunakan speed boat atau kapal cepat. Hal ini mengakibatkan harga BBM di wilayah tersebut sebelumnya rata-rata Rp 15.000/liter.
‘’Dengan hadirnya BBM Satu Harga di daerah kami, secara otomatis sangat membantu masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Mudah-mudahan para nelayan semakin banyak hasil tangkapan ikannya karena tidak takut lagi kehabisan bahan bakar saat melaut,’’ ujar Muhammad Lahay. (RIFAY)
TULISAN INI DILOMBAKAN DALAM ANUGERAH JURNALISTIK PERTAMINA (AJP) TAHUN 2021