PALU – Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Provinsi Sulawesi Tengah bersama Biro Hukum dan Dinas Kesehatan (Dinkes) melakukan rapat dalam rangka menggodok Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Covid-19.
Rapat yang dipimpin Ketua Bapemperda, Hasan Patongai itu berlangsung di Ruang Baruga DPRD Sulteng, Rabu (21/10).
Pantauan media ini, pokok pembahasan masih berkisar soal sanksi ataupun denda kepada pelanggar protokol Covid-19.
Seperti yang tertuang dalam Pasal 39 A draft Raperda tersebut. Pada ayat 1 disebutkan bahwa “Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada Pasal 9G ayat (1) dan ayat (2) dipidana kurungan paling lama 14 hari atau pidana denda sebesar Rp50 ribu”.
Semetara pada ayat 2 disebutkan “Setiap ASN, anggota Polri dan anggota TNI yang melanggar kewajiban maka dipidana dengan kurungan paling lama 14 hari atau pidana denda sebesar Rp100 ribu”.
Terkait itu, Anggota Bapemperda, Erwin Burase, menyampaikan, sanksi-sanksi yang ada harus diperjelas dan jangan sampai juga bisa menyusahkan masyarakat.
“Kalau denda Rp50 ribu mungkin kita biasa, tapi bagaimana dengan masyarakat kecil. Apalagi kalau soal tidak memakai masker ini juga bukanlah kejahatan seperti mencuri dan sebagainya, apalagi kalau ada sanksi kurungan,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan Tenaga Ahli Bapemperda. Dr Surahman.
Ia menyinggung soal pembatasan jarak minimal 2 meter untuk pengendara bermotor.
“Ini agak susah, perlu ditelisik betul. Misalnya saban hari saya melihat bis Polda lewat memuat banyak orang, tidak mungkin di dalam itu berjarak 2 meter,” katanya.
Ia juga menyinggung berkaitan dengan pembedaan sanksi antara ASN dan non ASN.
Persoalannya, kata dia, ini bukanlah hukum subjektif, tapi hukum objektif, sehingga tidak boleh membedakan ASN atau bukan.
“Seandainya ada perbedaan kualitas penularan virus ke ASN dan non ASN, mungkin sanksinya bisa dibedakan,” tuturnya.
Kemudian, kata dia, mengenai kurungan penjara. Menurutnya, hal itu juga perlu kehati-hatian.
“Pertama berkaitan dengan fasilitas. Bayangkan kalau dalam satu hari ada 100 orang, mau ditaruh di mana,” tuturnya.
Tak hanya itu, ia juga menyarankan perlunya membedakan denda administrasi dengan hukum pidana.
Kata dia, jika denda administrasi maka tidak perlu tindakan yudisial, sehingga bisa diterapkan saat itu juga.
“Kalau denda hukum pidana, maka tentu harus melalui proses sidang. Ini tentu tidak efektif,” tambahnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan perlunya edukasi kepada masyarakat dan petugas yang ada di lapangan, seperti yang ada di pos-pos perbatasan.
Ia sendiri menemukan fakta adanya warga di luar Sulteng yang bebas masuk tanpa membawa hasil rapid test, tanpa surat keterangan berbadan sehat ataupun hasil swab.
“Tapi bisa masuk dengan suap. Di pos lapangan itu tukang ojek sudah siap ketika ada yang mau masuk harus bayar berapa karena dia sudah koordinasi dengan petugas. Jadi ini soal edukasi,” ungkapnya.
Sementara itu, Bagian Sumber Daya Manusia Kesehatan, Dinkes Sulteng selaku pengusul Raperda berharap agar Perda itu segera ditetapkan untuk menekan angka penyebaran Covid-19.
Terkait itu, Anggota Bapemperda, Zainal Abidin Ishak, mengusulkan agar draft yang ada saat ini tinggal dilengkapi, jika memang masih memerlukan FGD sebagai ajang konsultasi publik. (RIFAY)