PALU – Pihak Badan Pemasyarakatan (Bapas) Kelas IIA Palu angkat bicara terkait pernyataan Kuasa Hukum Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buol, Andri Wawan, beberapa hari yang lalu.
Bapas Palu membantah telah menyampaikan kepada yang bersangkutan bahwa status hukum mantan Bupati Buol, Amran Batalipu adalah bebas bersyarat.
Kepala Bidang Bimbingan Klien Dewasa, Bapas Kelas II Palu, Surya Putra, menegaskan, apa yang disampaikan Kuasa Hukum Pemkab Buol, Andri Wawan, bahwa Amran Batalipu masih berstatus bebas bersyarat, tidaklah benar.
“Kami jelaskan disini, bahwa bebas bersyarat dan bebas murni itu berbeda. Kalau bebas bersyarat itu di bawah pengawasan Bapas, seperti asimilasi, Cuti Menjelang Bebas (CMB). Bapak Amran Batalipu itu sesuai konfirmasi kami ke Lapas Sukamiskin bahwa beliau ini bebas murni, bukan bebas bersyarat,” kata Surya Putra, Kepala Bidang Bimbingan Klien Dewasa, Bapas Kelas II Palu, saat konferensi pers, di Palu, Rabu (25/05).
Menurutnya, hal itu berdasarkan Surat Lepas Nomor: W11.PAS.PAS1.PK.01.01.02.2635 tanggal 28 Maret 2022 yang menyatakan bahwa Amran Batalipu sudah bebas murni. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa Amran Batalipu dibebaskan karena masa pidananya telah selesai dijalankan setelah mendapatkan SK pencabutan dan perbaikan beserta pemberian remisi Nomor: PAS-31.PK.05.04 Tahun 2022 Tanggal 28 Maret 2022.
Terkait pernyataan kuasa hukum Pemkab Buol tersebut, pihaknya berencana akan melakukan somasi kepada yang bersangkutan, karena institusinya ikut dibawah-bawah dalam perseteruan antara Amran Batalipu dengan pihak Pemkab Buol, dalam hal ini Wakil Bupati (Wabup) Buol, Abdullah Batalipu.
Di tempat yang sama, mantan Bupati Buol, Amran Batalipu, mengatakan, apa yang disampaikan kuasa hukum dan Wabup Buol adalah hal paling krusial yang menyentuh privasinya.
“Semua orang tahu bahwa saya mantan narapidana dari Lapas Sukamiskin. Mereka katakan bahwa saya belum bebas murni, masih berstatus bebas bersyarat. Ini pernyataan yang sangat konyol, bohong dan memprovokasi masyarakat Buol,” ujarnya.
Padahal, kata dia, dari Kementerian Hukum dan HAM sudah mengeluarkan Surat Lepas untuk dirinya yang ia ibaratkan sebuah SIM yang dipakai setiap ke mana-mana.
Ia menguraikan, pada saat itu, tanggal 29 Maret 2022, ia bebas murni karena masa pidananya telah selesai dijalankan, bukan bebas bersyarat.
“Kalau saya bebas bersyarat, saya tidak boleh datang di Palu apalagi ke Buol, apalagi mengumpulkan masyarakat dan menghadiri acara-acara yang dihadiri masyarakat banyak. Bisa datang ke Palu atau Buol, tapi harus ada persetujuan Menkum-HAM,” ungkapnya.
Ia mencontohkan kasus Angelina Sondakh yang saat itu sedang menjalani cuti menjelang bebas selama 3 bulan dalam pengawasan Bapas Jakarta. Ketika itu, kata dia, ada keluarga Angelina yang meninggal di Manado sehingga ia minta izin untuk pulang.
“Namun Bapas tidak izinkan sebelum bermohon ke Menkum-HAM. Setelah Menkum-HAM setujui baru dia diberi izin ke Manado, itupun dalam pengawalan Bapas. Itu namanya bebas bersyarat. Ini yang mereka tidak paham, asal ngomong,” tegasnya.
Ia juga menyinggung pernyataan dari pihak Kuasa Hukum Pemkab Buol bahwa dirinya baru bebas Tahun 2027. Menurutnya, itupun pernyataan bohong dan konyol.
Ia mengakui bahwa pada kasus yang pertama yang ditangani KPK, ia divonis 7,6 tahun penjara. Kemudian di kasus kedua, ia disidangkan di Pengadilan Tipikor Palu dan divonis bebas murni.
Tapi kemudian, JPU melakukan kasasi atas putusan bebas Pengadilan Tipikor Palu dan akhirnya ia divonis oleh Mahkamah Agung (MA) selama 8 tahun penjara.
“Tapi mereka lupa, saya masih menempuh lagi upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang saya lakukan di Pengadilan Tipikor Palu lalu berkasnya dikirim ke MA. Alhamdulillah dikabulkan dan hukuman saya dari 8 tahun itu dikurangi menjadi 4,6 tahun,” ungkapnya sambil memperlihatkan putusan PK dari MA Nomor: 106/PK/Pid.Sus Tahun 2019.
Olehnya, kata dia, putusan 4,6 tahun ini ditambah dengan 7,6 tahun di kasus pertama, totalnya 12 tahun. Ia pun menjalani hukuman badan selama 9,9 tahun sehingga masih ada sisa 2,3 tahun.
“Nah 2,3 tahun inilah saya mendapatkan remisi 3,6 tahun. Jadi malah lebih 1,5 tahun masa penahanan saya, karena seharusnya saya itu bebas murni tanggal 15 Agustus 2020, cuma karena saya tidak urus dan PP 99 yang kami gugat juga baru keluar putusannya, makanya baru bebas tahun 2022 ini,” tuturnya.
Ia menyatakan bahwa pihak Wabup dan kuasa hukumnyalah yang justru membuat kegaduhan dengan pernyataan-pernyataan tersebut, bahkan telah mencemarkan nama baiknya dengan membawa nama Bapas Kelas II A Palu.
“Dengan itu, maka saya tidak melihat Batalipu-nya, tapi saya ingin memberikan pelajaran hukum kepada Abdullah Batalipu dan kuasa hukumnya dengan melaporkan ke Polda Sulteng dengan dugaan tindak pidana pasal 310 dan pasal 311,” katanya.
Ia pun memperlihatkan bukti laporan Nomor: STTLP/89/V/2022SPKT/Polda Sulteng tanggal 24 Mei 2022. Ia mengaku sudah di-BAP oleh pihak Polda.
“Mudah-mudahan penegak hukum bisa melakukan tugas-tugasnya dengan baik,” harapnya.
Ia pun menyerukan kepada seluruh masyarakat Kabupaten Buol, keluarga besar Amran Batalipu agar tetap aman, damai, tidak terprovokasi atau terpancing, dan tidak saling menyerang di medsos.
“Mari kita serahkan kepada penegak hukum. Jagalah kebersamaan dan kedamaian di Kabupaten Buol,” tandasnya.
Irwanto Lubis selaku Kuasa Hukum Amran Batalipu, menambahkan, semua yang disampaikan Amran Batalipu adalah berdasarkan data.
“Data ini bukan abal-abal dan memiliki kepastian hukum. Semua persoalan hukum yang telah dijalani Pak Amran, semua sudah berkekuatan hukum tetap, tidak ada lagi yang diragukan,” tegasnya.
Atas legal opini dari Kuasa Hukum Pemkab Buol, Andri Wawan juga dinilainya sangat merugikan dan merupakan pencemaran nama baik. Apalagi, jika sudah masuk ke ranah UU ITE. Ia sendiri menyerahkan kepada Amran Batalipu jika ingin membawa persoalan tersebut ke ranah hukum.
“Terkait legal opini yang ditujukan kepada Gubernur Sulteng, Kajati Sulteng, Kapolda dan Kepala Bapas Kelas II A, saya ingatkan Andri Wawan agar update sehingga tidak menyesatkan dan membuat keruh suasana,” katanya.
Ia juga menyatakan bahwa Kuasa Hukum Pemkab Buol salah menginterpretasikan putusan yang dijatuhkan kepada Amran Batalipu.
“Dia menyatakan bahwa putusannya itu 7,6 tahun ditambah 8 tahun sehingga totalnya menjadi 15,6 tahun. Dia mengakumulasi putusan kasus pertama dan kedua, tetapi dia tidak tahu ada putusan PK, dan putusan PK ini hanya didapat dari MA, bukan di Mahkamah Konstitusi (MK). Kalau di MK lebih menyesatkan lagi,” imbuhnya.
Sebelumnya, Kuasa Hukum Pemkab Buol, Andri Wawan, mengaku telah melakukan koordinasi dengan pihak Bapas Kelas IIA Palu, guna mempertanyakan status hukum Amran Batalipu yang baru saja bebas dari penjara.
“Koordinasi saya dengan Kalapas Kelas II Palu, karena putusan untuk kasus keduanya itu ada di Palu, maka status Amran Batalipu adalah tahanan bersyarat, tidak seperti yang sering disampaikannya ke masyarakat bahwa dia sudah bebas murni. Jadi apabila melakukan tindak pidana lainnya, maka dia harus masuk penjara kembali,” ungkap Andri Wawan, di Palu, Senin (23/05).
Ternyata, kata dia, Amran Batalipu sendiri belum direkomendasikan oleh Lapas Bandung, dalam hal ini Rutan Sukamiskin ke Lapas Palu.
“Seharusnya, Amran Batalipu belum bisa keluar dari wilayah Kota Bandung. Inilah yang menjadi pertanyaan dari Kalapas Palu juga, mengapa mereka belum direkomendasikan untuk membina Amran Batalipu selama masa bebas bersyarat,” katanya. (RIFAY)