Balitbangda Palu Ubah Limbah Jadi Pakan Ternak

oleh -
Kepala Balitbangda Kota Palu, Syamsul Syaifudin memperlihatkan hasil pengolahan pakan hewan Ruminansia, di Aula Kantor Kecamatan Palu Barat, Selasa (21/11). (FOTO: MAL/HAMID)

PALU – Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbanda) Kota Palu mengembangkan teknologi pengolahan pakan ternak Ruminasia berbasis limbah pertanian. Hal ini sebagai upaya mengatasi masalah ketersediaan pakan bagi peternak.

“Kalau soal budaya beternak itu sudah ada sejak zaman dahulu, namun kendala yang ada adalah susah mengandangkan karena susah mencari pakan,” jelas Kepala Balitbangda Kota Palu, Syamsul Saifudin pada kegiatan pembekalan aplikasi tekhnologi pengolahan pakan ternak Ruminansia besar/kecil dan unggas serta pelaksanaan kegiatan manajemen usaha kelompok berbasis home industry, di aula Kantor Camat Palu Barat, Selasa (21/11).

Kata dia, dengan memanfaatkan limbah, maka masyarakat bisa mengandangkan ternak, karena pakannya juga lebih murah jika dijual.

“Tapi kalau bisa kita olah sendiri, maka kita coba melalui koordinasi dengan para kelompok peternak,” tambahnya.

Syamsul menjelaskan, limbah yang dimaksud adalah jerami batang jagung yang rata-rata dibakar karena dianggap tidak berguna. Namun kata dia, jika diolah, maka akan menjadi pakan ruminansia dan unggas dengan system fermentasi dan amoniasi.

Lebih lanjut dia mengatakan, sejauh ini pakan di Palu masih mendatangkan dari luar daerah dengan harga tinggi. Itulah sebabnya, anggaran yang dikeluarkan untuk pemeliharaan ternak itu, 60 persennya adalah untuk pakan.

“Nah kalau biaya pakan tinggi maka biaya produksinya tinggi. Hasil olahan ini kita harapkan menjadi salah satu ikon Kota Palu,” tambahnya.

Dia menambahkan, kelompok pengolahan pakan hewan ruminansia sudah ada di sejumlah kelurahan, yakni Petobo, Tanahmodindi, Layana, Mpanau dan Lasoani. Selain itu ada pula di Kelurahan Kabonena, Pengawu, Duyu dan Taipa.

Kata dia, pada tahun 2018 mendatang, akan ada pengembangan kelompok pengolahan pakan. Soal bahan baku dan biaya produksi, masih ditanggulangi pemerintah.

“Ini artinya, kalau nanti akan dijual, maka harus kita ambil harga dibawah dari pasaran dengan standar untuk pakan ayam petelur Rp5 ribu perkilogram dan ayam pedaging Rp5500. Kalau harga di pasaran bervariasi dengan nilai jual sampai Rp11 ribu perkilonya. Nanti kita akan hitung lagi berapa biaya produksinya sehingga kelompok ini mendapat keuntungan,” ujarnya.

Menurutnya, di masing-masing kelompok akan dipasang tenaga muda yang ahli membuat pakan, termasuk manajemennya. (HAMID)