Perhelatan di panggung politik 2024 cukup menguras tenaga, pikiran dan juga duit, baik dari segi penyelenggaraan maupun para kontestan yang maju untuk duduk di kursi legislatif maupun eksekutif presiden.

Sudah 23 hari kita melewati voting day pada 14 Februari, namun nuansa Pemilu masih terasa, menyusul banyak pihak yang kemungkinan akan memperkarakan hasil Pemilu, terutama bagi yang perolehan suaranya menyusut karena soal teknis kepemiluhan. Itu soal lain.

Mari kita melihat lebih dekat bagaimana cara para kontestan yang berhasil melenggang meraih kursi yang mereka dambakan, untuk mewakili suara rakyat dalam pengambilan keputusan di parlemen.

Di Sulawesi Tengah, ada sosok yang belakangan banyak diperbincangkan orang. Di warung-warung kopi, di ruang interaksi sosial dunia maya, banyak yang tidak menyangka bahwa tokoh ini bisa meraup suara signifikan, sebab tidak punya modal kapital yang mumpuni.

Namanya familiar di tengah masyarakat Sulteng, terutama di Parigi Moutong dan Palu sebagai pendakwah.

Ya, orang-orang memanggilnya Ustadz Rafiq.

Rafiq Al Amri, keturunan Arab yang lahir di Parigi pada 9 Mei 1977. Anak dari pasangan Asma Al Amri dan Yusuf Al Amri (Alm).

Ia maju bertarung dalam Pemilu melalui jalur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2024-2029. Suaranya lumayan fantastis. Ia berhasil masuk dalam empat besar calon Anggota DPD RI dengan perolehan suara 145.326, hasil perhitungan Pleno KPU Provinsi pada Jumat 8 Maret 2024.

Total suara tersebut diperoleh dari 11 Kabupaten/kota di Sulteng yang tabulasinya sudah masuk di KPU provinsi dan diplenokan, berdasarkan pantauan saksi dari pihak Ustad Rafiq yang ada di KPU Provinsi.

Jika dilihat dari jumlah itu, Ustad Rafiq memperoleh suara terbanyak pada kantong basisnya di Parigi Moutong, yakni sebanyak 57.958 suara, disusul Kota Palu sebanyak 27.702 suara. Dengan perolehan suara sebanyak itu,

Ustadz Rafiq layak masuk parlemen. Dengan masuknya perolehan suara ini, Ustadz Rafiq menjadi orang Parigi pertama, yang lolos menjadi anggota DPD selama sejarah Pemilu.

Menarik untuk membahas Ustad Rafiq, sebab ia maju dengan keyakinan bahwa modal investasi sosial yang ia lakukan selama ini, masih relevan menjadi faktor penentu untuk ia terpilih menjadi seorang senator di DPR.

Dakwah dan Doa, itu yang selalu ia jalankan. Ia percaya bahwa suatu ketika harapan-harapannya akan menemukan momentum yang pas. Allah SWT akhirnya mengijabah doa-doanya.

Ia mengakui, dalam sistem Pemilu memang setiap calon harus punya modal kapital. Sebab urusan memperkenalkan diri kepada khalayak ramai, butuh alat peraga kampanye. Dan untuk itu, Ustad Rafiq merogok kocek sebanyak 15 juta rupiah, untuk mencetak baliho, membeli balok kayu, paku dan ongkos pasang yang relatif murah, serta administrasi dan operasional kampanye.

Jika dihubungkan dengan area pemilihannya, uang sejumlah itu mustahil. Sulteng terdiri dari 12 kabupaten dan satu kota yang membentang di jazirah khatulistiwa seluas 61.606 kilo meter per segi. Belum lagi, untuk jarak antar kabupaten pada beberapa wilayah harus ditempuh dalam belasan jam. Kalau dihitung secara teknis, bisa dibilang ini tidak masuk akal, sebab ia harus menghadapi kenyataan berjuang sendiri, tanpa menggunakan bantuan dari para pemodal atau partai.

Lantas, apa yang bisa dia andalkan dalam mewujudkan mimpinya itu? Inilah satu hal yang tidak banyak calon bisa menjalaninya.

Ustadz Rafiq adalah penceramah, pemuka agama dari kelompok muda yang konsisten. Jalan itulah yang ia rintis selama puluhan tahun sejak 2024. Ya, dia memang konsisten dalam jalurnya, di samping kemampuan bicara di depan umum yang ia asah sejak kecil hingga jalan ceramah menjadi hobinya.

Apakah Ustadz Rafiq pernah gagal bertarung di kancah politik lokal? Ya, ia punya pengalaman selama tiga periode pemilu berturut-turut sebelum 2024.

Pada Pilkada Parigi Moutong 2009, ia berpasangan dengan Ustad Asrin (Alm). Kemudian pada Pemilu 2014 Ia maju menjadi Caleg DPRD Kabupaten Parigi Moutong.

Pada 2019 ia maju menjadi Caleg DPRD Provinsi Sulawesi Tengah. Meskipun pada periode ini, Ustadz Rafiq mengaku ia nyaris meraih kursi DPRD Sulawesi Tengah dengan perolehan suara yang mumpuni, tapi takdir berkata lain.

Ada sedikit problem di internal partai yang membuat niatnya kandas. Sepertinya belum waktunya, kata Ustadz Rafiq dalam perbincangan telepon beberapa waktu lalu.

Tiga kali gagal bukan berarti ia mundur dari kancah politik. Banyak orang menyebut ia berani, bahkan dianggap nekat ketika memilih maju di kancah perpolitikan nasional melalui anggota DPD. Orang pesimis atas dinamika politik akhir-akhir ini karena ‘politik uang’ dan biaya kampanye besar, tak mungkin berani mengikuti jalan Ustad Rafiq.

Tiga kali gagal, dengan strategi yang sama (tampa modal kapital besar), tapi ia tetap konsisten di jalan dakwah, yang ia yakini sebagai cara untuk menaikkan popularitas. Ya, memang ada banyak cara untuk mencapai popularitas. Bisa pakai duit, modal besar, atau bisa dengan cara turun langsung ke masyarakat secara konsisten dari waktu ke waktu. Itulah cara Ustad Rafiq.

Pada November 2022 Ustad Rafiq kembali memutuskan maju pada pertarungan politik 2024. Niat ini sudah ia perhitungkan, seminggu sebelum pendahulunya wafat, Anggota DPD, Habib Saleh Bin Muhammad Al Jufri yang jelas-jelas adalah Abnaul (sebutan untuk kader Alkhairaat).

Yang membuat keputusan ini menjadi strategis, adalah tidak satu pun abnaul yang ikut dalam kontestasi DPD dari keturunan Arab. Tapi bukan berati ia bisa dengan mudah memenangkan suara pada basis pemilih dari kalangan Alkhairaat. Sebab untuk pencalonan anggota DPD, ada beberapa calon yang juga abnaul.

Memang tidak ada komando dari organisasi untuk mengarahkan pilihan kepada calon tertentu. Alkhairaat membebaskan masanya untuk memilih calon mana yang mereka kehendaki.

Mari kita mundur ke belakang untuk mengetahui apa resep Ustad Rafiq sehingga tetap konsisten di jalan dakwah, yang pada akhirnya bisa menjadikan dirinya perwakilan masyarakat Sulawesi Tengah di Senayan sebagai Senator. Syukur-syukur jalan yang ia pilih bisa menjadi satu pilihan strategi, yang bisa diikuti para kader politik kedepan, supaya tidak terjebak pada pusaran modal kapital dalam pesta demokrasi.

Bergerilya di Jakarta

Setelah menamatkan sekolah menengah di Madrasah Aliyah Alkhairaat Palu pada 1996, ia memutuskan merantau di Jakarta. Niat awalnya masuk ibukota pada masa itu untuk menjadi pedagang. Barangkali ini bisa menjadi profesi yang nantinya ia belajar banyak tentang kehidupan.

Namun niatnya berubah, ketika suatu hari, ia melihat ada gerombolan anak muda, remaja tepatnya, mengenakan sarung dan baju koko putih menaiki bus. Ia penasaran, dan tanpa disadarinya, hatinya tergerak dan kakinya melangkah mengikuti kelompok santri tersebut.

Rombongan ini menuju sebuah masjid milik Masjid Al Riyadh Kwitang, yang merupakan tempat persemayaman Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi atau yang akrab dikenal sebagai Habib Ali Kwitang.

Ustad Rafiq sempat shock karena takjub. Baru kali ini ia melihat jamaah majelis ta’lim menyemut, yang jika ditaksir jumlahnya bisa mencapai 2000an orang.

Ia ikut mendengarkan ceramah dan larut dalam forum majelis itu. Mulai dari situ, ia mulai memastikan bahwa jalan hidupnya akan dibaktikan di jalan Dakwah.

Ia punya dasar atas hal itu. Sejak usia SD, ia sudah mendapat didikan keras dalam disiplin yang diterapkan oleh adik ayahnya yang mereka sebut Bibi Nur.

Setiap hari kata Ustad Rafiq, ia harus ikut sekolah Diniah di waktu sore, sholat tak bisa putus dalam lima waktu, ikut menyimak ceramah kuliah subuh di TV, dan sesekali diminta tampil mengisi acara ceramah di lingkungannya.

Bibi Nur menggembleng dia melalui latihan-latihan kecil, bagaimana bisa tampil di hadapan umum untuk ceramah (Muhadharah).

Sempat sekali waktu, ia diminta ceramah sebagai Dai cilik di Masjid Nur Parigi. Banyak orang penasaran dan takjub atas penampilannya.

Ustadz Rauf, yang kemudian menjadi kawan dakwahnya di Parigi, sempat menyaksikan penampilannya itu dan kagum, semuda itu Rafiq sudah berani tampil di depan umum untuk ceramah.

Selama delapan tahun di Jakarta, ia menghabiskan banyak waktu untuk belajar. Tanpa disadarinya, ia mulai tenggelam dalam ilmu agama, menghadiri berbagai majelis, membeli buku jika punya uang dan mengambil kesempatan bertanya pada setiap acara ta’lim.

Salah satu majelis yang sering ia datangi adalah kajian Dr. Salim Al Jufri di Pasar Minggu. Ia sempat belajar bersama Ustad Muhammad Ali Lamo (Alm) selama dua tahun di Condet.

Di sanalah ia bertemu Habib Husein (Alm) yang punya pondok Pesantren Al Fahriah di daerah Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Dari perkenalan itu, ia diajak mondok dan menjadi murid pertama asal Sulawesi Tengah di sana.

Tak cukup sampai di situ, ia pun pergi ke Habib Sagaf bin Mahdi di Pasantren Nurul Iman di Parung-Bogor. Lama ia menjadi imam utama di pondok dengan jumlah ribuan santri itu.

Setelah merasa masa bergerilya menimba ilmu agamanya cukup, Ustad Rafiq pun kembali ke Palu pada 2003, ketika kampung halamannya -Parigi, sudah merdeka dari Kabupaten Donggala, menjadi daerah otonom baru dengan nama Kabupaten Parigi Moutong.

Merintis Jalan Dakwah sambil Kuliah

Di Palu, ia mulai menjalani hidup barunya sebagai pendakwah. Memenuhi undangan-undangan ceramah dari majelis ke majelis sampai pada acara takziah orang meninggal di kampung.

Namanya mulai dikenal di kalangan masyarakat, terutama para abnaul.

Empat tahun kemudian, ia menyampaikan niat kepada Bibinya untuk belajar di perguruan tinggi. Kebetulan, ia sempat ikut program mengajar di Ternate, di Madrasah Ibtidaiyah.

Melalui program itu, ia bisa masuk ke Universitas Alkhairaat (Unisa) Palu melalui program non reguler.

Ustad Rafiq memilih belajar ilmu Hukum Islam. Selama kuliah, aktifitas akademiknya kurang menonjol. Begitu pula dengan kegiatan keorganisasian mahasiswa.

Ustadz Rafiq lebih tertarik turun ke medan dakwah secara langsung bersama para da’i senior di Palu.

Cukup lama ia menjalani hidup berceramah dari satu kampung ke kampung dalam usaha dakwah. Hingga akhirnya tak terasa sudah delapan tahun ia menyandang status sebagai mahasiswa. Nyaris mengalami drop out, akhirnya ia bisa menyelesaikan study dengan gelas Sarjana Hukum Islam.

Tamat kuliah, ternyata dahaga atas ilmu pengetahuan agama tak bisa ia bendung. Seminggu setelah dinyatakan lulus, ia mendaftar di Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, mengambil program studi yang sama dalam gelar magister.

Selama kuliah, ia terus aktif berdakwah. Di kelas, ia banyak bertanya, bahkan tak takut mendebat para dosen tentang hal-hal yang berseberangan dengan pemikirannya, dengan apa yang ia baca dan temukan di lapangan.

Sempat terpikirkan pada saat itu, setelah kuliah S2 ia akan memilih menjadi dosen. Namun keinginan itu lemah dan akhirnya ia tetap konsisten di jalan dakwah.

Tetap Fokus Pada Visi Hidup

Banyak orang bertanya dan membuat dirinya juga heran. Ia bisa bertahan hidup, menafkahi isteri dan membesarkan serta menyekolahkan kedua anaknya tanpa pekerjaan tetap.

Ia menjalani rutinitas keseharian dalam ketenangan orang berilmu. Dakwah sudah menjadi jalan hidupnya.

Hingga pada suatu kesempatan pada 2019 ia diterima menjadi salah satu anggota Penyuluh Agama di Kementerian Agama Parigi Motong.

Dari situ, ia mulai melebarkan sayap karena legitimasi pemerintah melekat padanya. Ia juga diminta menjadi Ketua Dewan Dakwah di Dewan Masjid Indonesia (DMI) Parigi Moutong.

Ia terus menjalani aktivitas dakwah, hingga akhirnya ia mencoba memilih jalan politik. Alasannya, selama ia melakukan aktifitas dakwah, hanya masyarakat bawah yang mendengar ia bicara.

Topik yang selalu ia sampaikan seperti bagaimana melawan peredaran Narkoba yang cukup tinggi di wilayahnya, seakan tidak digubris karena angka kasus masih terus terjadi.

Seperti yang sudah disampaikan di awal, pada 2009 hingga 2019 ia ikut kontestasi politik. Tapi selalu kalah. Orang lain mungkin akan berfikir dua kali ketika mendapatkan realitas itu, sebelum memutuskan ikut pemilihan berikutnya. Tapi Ustad Rafiq berbeda.

Ia jadikan tiga peristiwa itu sebagai pengalaman berharga yang membuat dirinya semangat dalam mengejar mimpinya.

Lantas apa dasar Ustad Rafiq terus-terusan mau maju dalam perhelatan politik lima tahunan itu? Misinya sederhana, hanya untuk memastikan bahwa pendidikan agama, khususnya di level pendidikan dasar yang banyak diprakarsai Alkhairaat, masih terus berjalan sekalipun zaman sudah bergeser.

Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan Alkhairaat, ia mengaku terenyuh melihat banyak sekolah tutup.

Entah itu karena soal muridnya yang kurang, tidak adanya guru, atau anggaran operasional sekolah yang memang tidak ada. Ini menjadi PR besarnya.

Ustad Rafiq sadar PR sebesar itu tidak mudah dipecahkan sendiri. Tidak mungkin dirinya, hanya dengan modal terus berceramah di hadapan masyarakat kemudian persoalan itu tertangani.

Ia harus mempunyai posisi tawar yang kuat. Dan jalan politik adalah salah satunya.

Untuk memastikan langkahnya pada jalur yang benar dan sungguh-sungguh, sebelum masa kampanye Pileg dimulai ia turun ke masyarakat. Dengan sedikit rejeki yang ia punya, ia mendatangi para guru-guru madrasah yang dari segi kehidupan masih kurang mampu, mendengar cerita mereka dan memberikan sedekah berupa sembako.

Orang bisa saja mengatakan itu ada kaitannya dengan rencana dirinya mau ikut Pileg, tapi bagi dia, itulah bentuk komitmen pada misinya.

Pendidikan agama di wilayahnya harus bertahan dan maju. Ia telah banyak melihat daerah-daerah di luar Sulteng yang pendidikan agamanya maju, banyak pondok dan madrasah-madrasah di sana. Ustad Rafiq punya mimpi bisa menyekolahkan banyak anak di daerahnya sampai ke pulau Jawa bahkan Timur Tengah untuk belajar ilmu agama. Ia ingin banyak anak nantinya bisa mengikuti langkahnya.

Dengan terpilihnya dirinya sebagai anggota DPD Sulawesi Tengah, ia bisa mempunyai dua kekuatan sekaligus. Secara politik dia punya legitimasi, demikian pula dengan gerakan yang selama puluhan tahun ia jalani.

Setidaknya, jika dulu ia ceramah hanya didengarkan oleh masyarakat bawah, maka pada kesempatan ia diberi amanah sebagai perwakilan masyarakat Sulteng di Senayan nanti, ia akan memperjuangkan apa yang menjadi visinya lewat kebijakan.

Kedua kekuatan itu, Insya Allah bisa berjalan paralel dalam membangun kekuatan ummat. Meskipun secara aturan DPD punya banyak keterbatasan, tapi ia mengaku akan memaksimalkan apa yang ada untuk bicara lebih lantang lagi tentang pendidikan agama di daerahnya. Barangkali, dengan dirinya sebagai Da’i sekaligus Senator, bicaranya akan berdampak. Insya Allah.

Penulis : Mohamad Sahril