Masih ada tawa, masih ada canda terdengar dari bibir mungil anak-anak Tanjung Sari, Kota “Berair” Luwuk. Bahkan ada yang saling kejar-kejaran diatas puing bangunan tempat mereka berteduh selama ini. Ada yang main sembunyi-sembunyi dalam lemari kayu yang pintunya lepas sebelah tertimpa material bangunan akibat digusur alat berat.
Keceriaan bahkan bertambah ketika sebuah sepeda motor membawa ratusan bungkus makanan, tiba menghampiri. Tak kurang dari 15 menit, nasi bungkus itupun ludes dibagi-bagi
“Kasiang, 120 bungkus te’ cukup,” begitu suara dari pembawa makanan dalam dialek Luwuk yang terekam video amatir, Selasa (20/03).
Ya,,, mungkin mereka belum paham, belum mengerti. Mereka memang belum pantas mengecap getirnya hidup ketika tempat bernaung sejak bayi kini sudah rata dengan tanah. Tanah berpijak itupun bukan lagi milik orang tua mereka, tetapi sudah menjadi milik orang yang dimenangkan oleh palu hakim pengadilan setempat.
Tidak ada lagi tawa disana. Tiada lagi keceriaan di Tanjung yang sebelumnya sempat menjadi akses ruang publik melepas penat di sore hari. Yang Nampak hanya puing bangunan yang digusur.
Tak tahu lagi kemana mengadu, tak ada lagi tempat berkeluh kesah. Istana kecil sederhana yang mereka tinggali berpuluh-puluh tahun bersama keluarga lenyap seketika menjadi serakan tak ternilai.
Sehari setelah eksekusi, warga mempertahankan hidup mereka dengan tenda seadanya. Menyambung hidup dari uluran tangan yang memiliki empati. Anak-anak yang sehari-hari ke sekolah, kini berbaur dengan orang dewasa berebut nasi. Tak ada lagi seragam mereka, tak dapat lagi uang jajan rutin meraka, yang ada hanya kelaparan dan rasa trauma.
Belum lagi mereka yang luka pasca bentrok dengan aparat. Ada pula yang harus mendekam di kantor polisi (sekarang sudah dilepas) karena dianggap melawan, bahkan membangkang.
Terik di langit Luwuk menjadi saksi bagi korban penggusuran itu. Wajah murung dan lusuh para kaum termarjinalkan terlihat meratapi nasib mereka. Sesekali menyantap sesuap nasi yang beralaskan bungkusan plastik. Pandangan kosong mereka seakan mempertanyakan nasib di hari depan. Pemerintah daerah yang menjadi satu-satunya harapan mereka tak kunjung bereaksi, meski sekadar menyapa.
Ciutan netizen yang simpati dengan tragedy itu cukuplah ramai, tapi sebenarnya bukan itu yang mereka butuh, tapi sentuhan langsung, baik bantuan social maupun penyemangat untuk membesarkan hati.
Yang terlihat, namun samar adalah reaksi beberapa warga yang bernaung dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Tenggara (KKST) Kabupaten Banggai. Tanpa membutuhkan ekspos media, mereka terpanggil melakukan penggalangan dana buat korban penggusuran.
Sekretaris KKST Kabupaten Banggai, Hj. Rampia Laamiri dihubungi via ponsel, membenarkan hal tersebut. Kata Rampia, aksi mereka adalah langkah konkret atas nama solidaritas untuk meringankan beban korban penggusuran.
Kata Rampia, penyaluran sumbangan itu sudah diatur prosedurnya, yakni dibuatkan kupon yang dilengkapi cap organisasi KKST. Hal itu dilakukan agar penyalurannya lebih efektif dan efesien alias tidak salah sasaran.
“Kami melakukan pendataan dulu di lapangan untuk mengetahui jumlahnya. Lalu dibuatkan kupon yang dilengkapi cap KKST agar lebih terarah,” jelasnya.
Untuk satu orang warga, masing-masing diberikan tiga kupon untuk tiga kali makan, kupon tersebut bisa ditukar pada warung makan di sekitar lokasi penggusuran yang sudah bekerjasama dengan KKST.
“Untuk sementara ini kami masih memprogramkan untuk bantuan makanan mulai hari ini sampai tanggal 22 Maret. Rencana kedepan, selain makanan kami juga akan memberdayakan bidang pendidikan di organisasi kami untuk melakukan bimbingan pada anak-anak disana,” terangnya.
Donasi terakhir yang terkumpul dari KKST hingga sore kemarin sebanyak Rp85 juta. Dana tersebut diperkirakan akan terus bergerak naik karena ada beberapa penyumbang ke rekening bendahara KKST Kabupaten Banggai. Dari daftar penyumbang terlihat satu diantaranya Plt KKST pusat, La Ode Polondu. (YAMIN/RIFAY)