Bajadikan Guru Tua, atau Habib Idrus bin Salim Aljufri jadi Pahlawan Nasional itu te muda le. So lebih sepuluh tahun diajukan, tapi belum juga lolos jadi Pahlawan Nasional, padahal kalau kita di Sulteng, so beliau Guru Tua ini yang paling tersohor sebagai pahlawan lokal, bahkan lebih kita kenal dari beberapa pahlawan nasional yang sudah resmi.
Kalau ditanya sebenarnya apa juga manfaatnya kalau so jadi pahlawan? Jadi begini, dengan jadi Pahlawan Nasional, itu bisa babangun identitas Nasional dari satu daerah. Sulawesi, atau Sulawesi Tengah, atau Palu bisa dikenal dengan adanya dorang pe pahlawan, tentu dengan bentuk perjuangannya sendiri. Nah, Guru Tua ini pahlawan di bidang pendidikan.
Kemudian juga, bisa jadi inspirasi untuk generasi muda. So banyak kan, pahlawan yang diangkat sejarahnya lewat felem. Dengan begitu bisa jadi inspirasi bagi anak-anak muda ke depan batimbulkan patriotisme dan kerja keras. Siapa tau ada yang bikin felem, judulnya “Cahaya dari Timur” baangkat cerita soal beliau Guru Tua. Cuma usulan nanti ini le, teserah sutradara mau bikin judul apa.
Dengan gelar pahlawan nasional ini, tokoh-tokoh yang berjasa untuk bangsa terdokumentasi secara resmi dan diakui dalam sejarah Indonesia. Akhirnya nanti, dampak pada pembangunan daerah. Ah, luar biasa kalau itu terjadi!
Cuma menurut Kaka Ibelo, memang kalau dibilang, so banyak skali pahlawan nasional, tapi hanya sedikit yang dikenal. Apalagi anak-anak Gen Z sekarang. Yang dorang tau mungkin cuma Yutuber, tiktoker sama gemers; Atta Halilintar, Sisca Cohl, Fuji dan lain-lain. Sampe siap dorang bakubanta akan babela jiwa raga dorang punya idola, pas memperjuangan nilai pahlawannya eh dorang tidak tau. Eranga!
Bukan cuma itu, ini juga, kadang juga pemerintah sudah ada pahlawannya, tapi nilainya tidak dikase masuk dalam nilai babangun daerah. Misalnya dalam melawan korupsi, membangun pendidikan yang merata, atau menjaga persatuan bangsa, nama pahlawannya tidak dijadikan simbol untuk melawan itu.
Misalnya nanti, kalau Guru Tua jadi pahlawan Nasional di bidang pendidikan. Maka beliau tidak lagi kita ingat hanya pengorbanannya di bidang Agama, tapi juga di bidang pendidikan. Foto-fotonya ada di sekolah-sekolah nasional, minimal sekolah negeri di daerah Sulteng. Anak-anak sekolah otomatis batanya, apa jasa beliau.
Jasa beliau itu mencerdaskan kehidupan bangsa! Beliau tidak menyerah walopun dilarang Belanda mendidik anak-anak. Belajar sembunyi-sembunyi untuk mencerdaskan anak-anak bangsa waktu itu. Beliau juga diajak menghianati Indonesia, dengan Alkhairaatnya yang sudah banyak murid untuk ikut masuk dalam barisan pemberontak, tapi beliau menolak. Demi negeri ini!
Jadi menurut Kaka Ibelo, jangan terjebak di seremonialisme, cuma di Peringatan Hari Pahlawan atau pemberian gelar. Tapi tidak ada dampak nyata dalam kehidupan masyarakat. Coba liat sekarang ini, banyak pahlawan yang punya pemikiran besar, kayak Mohammad Hatta tentang ekonomi kerakyatan, tapi gagasannya kurang diterapkan dalam kebijakan ekonomi atau sosial saat ini.
Memang efektivitas pahlawan nasional di Indonesia masih cuma di aspek simbolik dan inspiratif (luar biasa bahasaku ini le). Tapi ranga, dalam prakteknya, nilai-nilai perjuangan beliau-beliau itu belum sepenuhnya dikase maso dalam sistem pendidikan, kebijakan publik, maupun kehidupan sosial masyarakat (aih tambah cerdas Kaka Ibelo).
Mungkin itu juga hikmahnya, perjuangan bajadikan Guru Tua sebagai Pahlawan Nasional masih panjang. Barangkali kita orang Sulteng ini mesti betul-betul dikase pemahaman betul tentang nilai-nilai beliau. Masuk di semua aspek dulu, bahkan juga sudah jadi simbol perjuangan pendidikan agama lain di Sulteng. Kalau dia so menyatu betul, pas takdirnya beliau jadi Pahlawan Nasional, itu artinya kita tinggal menunjukkan ke semua daerah di Indonesia, begini caranya memperlakukan Pahlawan Nasional itu seperti ini. Tidak begitu? Berimba? Tabe!